Mengamankan Anggaran Kesehatan
Isu krusial yang masih jadi perdebatan publik adalah soal penghapusan persyaratan anggaran minimal di UU Kesehatan. Sejumlah pihak menolak lantaran dinilai bertentangan dengan upaya penguatan sistem kesehatan nasional.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesehatan oleh DPR menuai ragam kritik dari masyarakat. Salah satu poin krusial yang masih jadi perdebatan publik adalah soal penghapusan persyaratan anggaran minimal (mandatory spending) di UU Kesehatan Omnibus Law.
Sejumlah pihak tetap menolak lantaran dinilai bertentangan dengan upaya penguatan sistem kesehatan nasional. Pihak lain menyetujui dengan dalih perlunya mengubah fokus (refocusing) dari penganggaran ke berbasis program agar dana yang digunakan tepat sasaran.
Mandatory spending mengacu pada pengeluaran pemerintah yang diatur UU dan dilakukan secara otomatis tanpa persetujuan khusus setiap tahun (Azzimonti, 2020). Sebelumnya, Pasal 171 UU No 36/ 2009 tentang Kesehatan mengatur pemerintah pusat dan pemerintah daerah masing-masing wajib mengalokasikan anggaran kesehatan setidaknya 5 persen dan 10 persen dari total anggaran di luar gaji pegawai.
Setelah RUU disahkan, poin mandatory spending tak lagi berlaku dalam mekanisme otomatis sistem anggaran kesehatan sehingga menyebabkan perubahan dalam siklikalitas anggaran kesehatan kita. Anggaran belanja kesehatan kembali beradaptasi dengan perubahan administrasi, ekonomi, dan politik anggaran. Efek penghapusan tersebut akan sangat bergantung pada bagaimana sistem pengganti baru diatur dan bagaimana mekanisme pengeluaran yang baru dijalankan.
Baca juga : Arsitektur Kesehatan Nasional
Beban kepada pasien
Konsekuensi potensialnya akan berdampak langsung pada meningkatnya biaya yang ditanggung pasien secara mandiri (out-of-pocket/OOP), karena pada dasarnya belanja wajib itu merupakan bagian dari program JKN yang digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan esensial. Jika belanja wajib dihilangkan, pembiayaan layanan esensial juga akan terdampak.
Menurut Bank Dunia, pengeluaran OOP di Indonesia mencapai 31,79 persen dari total pengeluaran kesehatan pada 2020. BPJS Kesehatan menyebut biaya OOP 2021 mulai membaik, menjadi 25 persen dari total biaya kesehatan pasien. Namun, ini lebih tinggi daripada rekomendasi maksimal WHO yang 20 persen. OOP kita hanya sedikit di atas standar WHO, tetapi masih jauh dari rata-rata negara maju, 13,26 persen.
Penyebab utama tingginya pengeluaran OOP untuk obat-obatan dan pelayanan kesehatan adalah rendahnya angka Indonesia Case Base Groups (INACBG). Dalam sistem JKN, rumah sakit menerima pembayaran berdasarkan jumlah rata-rata yang dikeluarkan (tarif INACBG) untuk diagnosis atau tindakan medis.
Berbagai penelitian empiris menemukan bahwa biaya prosedur medis biasanya lebih tinggi daripada kapitasi (pembayaran tetap kepada dokter berdasarkan jumlah pasien) dan tarif INACBG. Masalahnya, tarif INACBG tak kunjung berubah sejak tahun 2016.
Ini berarti penyedia layanan kesehatan memiliki sumber daya dan persediaan medis yang terbatas dan tenaga kesehatan menerima gaji relatif rendah.
Pemerintah saat ini juga sedang memperdebatkan kenaikan tarif INACBG untuk mengatasi masalah kekurangan dana yang berkepanjangan. Namun, kenaikan tarif INACBG juga akan menaikkan tarif kapitasi dan pada akhirnya memperparah defisit BPJS Kesehatan. Untuk memastikan kenaikan tarif INACBG tanpa menaikkan biaya OOP bagi pasien, pemerintah tetap harus menaikkan belanja kesehatan meski poin mandatory spending resmi dihapus.
Disebabkan sifat ketidakpastian, eksternalitas, dan informasi asimetris yang tinggi, pendanaan kesehatan sama sekali tidak bisa diserahkan ke rumah tangga masing-masing.
Meski tak lagi dipagari anggaran wajib minimum, pengeluaran kesehatan masyarakat tetap perlu ditingkatkan hingga memenuhi target WHO sebesar 5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Menurut Bank Dunia, persentase pengeluaran kesehatan masyarakat Indonesia terhadap PDB meningkat dari 2,6 persen (2014) menjadi 3,2 persen (2022), tetapi tetap masih lebih rendah daripada rata-rata negara berpenghasilan rendah yang sebesar 4,9 persen.
Idealnya, anggaran kesehatan memang disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan rumah tangga per kapita. Sebab, biaya kesehatan oleh rumah tangga (OOP) merupakan pendanaan yang paling regresif, paling memberatkan penduduk berpenghasilan rendah.
Bahkan penduduk berpenghasilan menengah dengan mudah jatuh miskin apabila ia terkena penyakit berat. Jika tanpa bantuan, biaya berobat di atas Rp 50 juta hingga Rp 100 juta sudah pasti memiskinkan penduduk yang bergaji Rp 20 juta sekalipun.
Jika belanja wajib dihilangkan, pembiayaan layanan esensial juga akan terdampak.
Itulah sebabnya, tidak ada negara maju dan menengah yang membiarkan rakyatnya membayar sendiri biaya berobat. Sebagai langkah antisipasi, umumnya anggaran kesehatan di negara maju cenderung kontrasiklikal atau berlawanan dengan siklus bisnis, sedangkan di negara berkembang, seperti Indonesia, cenderung prosiklikal atau sejalan siklus bisnis.
Namun, terlepas dari sifat anggaran tersebut, pendanaan kesehatan haruslah bersumber dari publik dan dibelanjakan untuk tujuan sederhana agar terwujud ekuitas egaliter, yaitu akses layanan kesehatan yang berkualitas memadai sesuai kebutuhan medis seseorang, terlepas dari kondisi ekonomi orang tersebut.
Inilah pentingnya mengamankan anggaran kesehatan, untuk mewujudkan universal health coverage (UHC).
Stabilisator otomatis
Sembari menanti sistem anggaran kesehatan baru pengganti mandatory spending dijalankan, pada masa transisi, pemerintah perlu memperkuat kebijakan stabilisator otomatis (automatic stabilizers) anggaran sektor kesehatan melalui mekanisme indeksasi formula (formula indexation mechanisms).
Dalam mekanisme ini, anggaran kesehatan dirancang tetap beradaptasi secara otomatis mengaitkan dengan faktor tertentu, seperti inflasi atau pertumbuhan biaya kesehatan, untuk menjaga keberlanjutan dan keadilan dalam pengeluaran kesehatan (Geleano, 2021).
Mekanisme indeksasi formula dapat digunakan untuk menyesuaikan harga atau tarif pelayanan kesehatan, pembayaran kepada penyedia layanan, atau alokasi anggaran kesehatan secara keseluruhan.
anggaran kesehatan 2010-2021 infografik
Meskipun Indonesia belum memiliki peraturan kebijakan fiskal stabilisasi otomatis secara definitif di sektor kesehatan, Indonesia sudah memiliki instrumen kebijakan ini, khususnya untuk perlindungan sosial.
Maka, negara juga membutuhkan penyesuaian dalam pengelolaan anggaran kesehatan dengan membuat seperangkat aturan yang mengatur bagaimana kebijakan stabilisasi otomatis dijalankan. Implementasinya bisa melalui escape clause dalam UU APBN, kemudian dirinci dalam peraturan pemerintah. Tujuannya untuk mengakomodasi perubahan biaya dan faktor ekonomi lain yang dapat memengaruhi pengeluaran kesehatan seiring waktu, dan tak hanya di saat-saat darurat.
Misalnya, dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), stabilisasi otomatis melalui mekanisme indeksasi formula dapat digunakan untuk menyesuaikan tarif pembayaran kepada rumah sakit atau penyedia layanan kesehatan berdasarkan inflasi medis atau pertumbuhan biaya kesehatan rata-rata pasien.
Dengan cara ini, pembayaran pelayanan kesehatan akan tetap relevan dan mencerminkan biaya aktual yang terkait dengan pelayanan itu, baik sektoral maupun agregatif. Melalui mekanisme indeksasi formula dalam sistem kesehatan, pengeluaran kesehatan dapat lebih responsif terhadap perubahan biaya dan faktor ekonomi lainnya. Ini membantu menjaga keadilan, keberlanjutan, dan stabilitas dalam pengeluaran kesehatan serta meminimalkan dampak fluktuasi yang tak diinginkan.
Irvan Maulana Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)