Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam upaya penanggulangan perubahan iklim, Indonesia dapat menjadi rujukan dalam menangani isu perubahan iklim secara holistik dan berkelanjutan.
Oleh
NAJAMUDDIN KHAIRUR RIJAL
·3 menit baca
Isu perubahan iklim global menjadi perhatian utama di dunia. Perubahan iklim mengancam keberlanjutan lingkungan, eksistensi kehidupan manusia, serta ekonomi dan politik global. Karena itu, hal ini menjadi tantangan yang mendesak bagi umat manusia.
Dalam menghadapi tantangan ini, Pancasila dapat menjadi spirit yang melandasi berbagai upaya untuk menangani perubahan iklim secara holistik dan berkelanjutan. Tulisan ini selanjutnya berusaha mengurai keterkaitan antara Pancasila dengan upaya menangani isu perubahan iklim global.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajarkan pentingnya hubungan manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Sila ini mengingatkan tanggung jawab kita sebagai makhluk Tuhan untuk menjaga dan melindungi alam. Sila ini mengajarkan untuk memelihara keharmonisan dan menjalin “silaturahmi” dengan alam, sebagai wujud penghormatan terhadap Sang Pencipta.
Melalui internalisasi nilai yang terkandung dalam sila pertama ini, kita diingatkan untuk memperlakukan alam sebagai tanda kebesaran Tuhan dan menjaga keseimbangan ekosistem. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, pelindungan hutan, dan pengurangan emisi gas rumah kaca adalah beberapa langkah nyata dalam upaya menjaga hubungan yang seimbang antara manusia, alam, dan Tuhan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menekankan pentingnya menghargai hak dan martabat manusia. Dalam konteks perubahan iklim, sila ini mengingatkan tentang dampak yang tidak merata dari perubahan iklim. Hal ini berarti perlu memberikan perhatian kepada masyarakat yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Lebih dari itu, pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan dengan bijaksana untuk menjamin keadilan antar generasi. Karena itu, sila kedua ini berkaitan erat dengan penanganan kesenjangan sosial dan ekonomi yang menjadi faktor pendukung terjadinya perubahan iklim. Namun, penting untuk memastikan bahwa langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang diambil tidak hanya memperhatikan kepentingan ekonomi, tetapi juga mengutamakan keadilan dan keadaban.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menekankan pentingnya kesatuan dan solidaritas di tengah keragaman. Masyarakat Indonesia, dengan beragam suku dan budaya, perlu bersatu dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Pemahaman dan pendekatan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam perlu diintegrasikan dalam kebijakan nasional.
Tidak hanya persatuan nasional, persatuan di sini juga berarti bekerja sama dengan masyarakat internasional untuk menghadapi tantangan yang ada. Peningkatan suhu global, cuaca ekstrem, dan krisis lingkungan adalah masalah yang tidak mengenal batas negara. Karena itu, kerja sama internasional dan kolaborasi multiaktor menjadi kunci dalam menangani isu ini. Kerja sama dan kolaborasi itu seperti berbagi pengetahuan, teknologi hijau, dan sumber daya untuk mencapai tujuan bersama, khususnya untuk membantu negara-negara berkembang yang lebih rentan terdampak.
Masyarakat Indonesia, dengan beragam suku dan budaya, perlu bersatu dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sila ini, menegaskan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada isu perubahan iklim. Sila ini memperkuat perlunya melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam merumuskan kebijakan dan agenda aksi perubahan iklim. Partisipasi publik yang kuat akan menciptakan legitimasi dalam upaya penanggulangan perubahan iklim dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil mewakili kepentingan seluruh elemen rakyat.
Selain itu, keterlibatan masyarakat juga perlu didorong melalui kampanye kesadaran publik. Misalnya, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, mengutamakan daur ulang, dan aktif dalam usaha menghijaukan lingkungan. Sementara itu, sektor swasta dapat berperan dalam investasi pada teknologi hijau dan pengurangan emisi di sektor industri.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, perlu menjadi acuan dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengambil tindakan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Ini mencakup keadilan dalam akses terhadap teknologi ramah lingkungan, pendidikan lingkungan, dan dukungan ekonomi bagi masyarakat yang terdampak.
Dalam konteks perubahan iklim, kelompok-kelompok rentan, seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat akan menjadi korban utama. Implementasi sila kelima berarti memastikan akses yang adil terhadap sumberdaya, pelindungan terhadap hak-hak mereka, dan penguatan kapasitas kelompok rentan dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Pemerintah perlu mengedepankan program bantuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kerentanan terhadap bencana alam bagi kelompok rentan. Dengan demikian, nilai keadilan sosial Pancasila dapat memastikan bahwa tidak ada yang ditinggalkan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Hal ini sejalan dengan prinsip no one left behind dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Pada akhirnya, dengan mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam upaya penanggulangan perubahan iklim, Indonesia dapat menjadi rujukan dalam menangani isu perubahan iklim secara holistik dan berkelanjutan. Kolaborasi antaraktor, kebijakan publik yang adil, kerja sama internasional, serta pelindungan terhadap keseimbangan alam menjadi kata kunci. Dalam semangat itu, kita perlu terus bergandeng tangan menjaga dan melindungi bumi untuk masa depan generasi mendatang dan keberlangsungan kehidupan universal.