Dari 423 lembaga pendidikan guru dan tenaga kependidikan, 324 LPTK tidak terakreditasi atau terakreditasi rendah. Mutu pendidikan guru harus diselamatkan untuk menghasilkan guru bermutu.
Oleh
HAFID ABBAS
·4 menit baca
Menarik dikenang ketika Tony Blair terpilih untuk kedua kalinya sebagai Perdana Menteri Inggris, pada 22 Mei 2001 di University of Southampton, ia menyampaikan tiga prioritas utamanya, yakn: pendidikan, pendidikan, dan pendidikan. Sekiranya, Blair ditanya apa masalah utama pendidikan itu, mungkin ia akan menjawabnya: guru, guru, dan guru.
Di Indonesia, persoalan pokok guru kelihatannya terkait dengan aneka paradoks: kelebihan atau kekurangan jumlahnya, pengangkatan atau distribusinya, peningkatan kesejahteraan atau perbaikan mutunya, dan pembatasan atau tanpa pembatasan penerimaan mahasiswa calon guru di lembaga pendidikan guru dan tenaga kependidikan (LPTK). Meski terlihat amat nyata di depan mata, negara kelihatannya belum hadir menangani berbagai paradoks itu secara menyeluruh.
Diakui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah melakukan banyak hal, tetapi induk masalahnya kelihatannya belum tersentuh. Bahkan, melalui kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM) yang tengah digalakkan, beragam kenyataan berikut ini tampaknya belum teratasi.
Pertama, paradoks antara kelebihan atau kekurangan guru dan tenaga kependidikan (GTK). Saat ini secara statistik, data menunjukkan bahwa jumlah guru pendidikan dasar dan menengah sudah mencapai empat juta yang melayani sekitar 50 juta siswa (Kemendikbud, 20/12/2020).
Ini berarti setiap guru hanya mengajar 12-13 siswa. Sementara rata-rata standar rasio internasional 20-21 siswa per guru. Di Jepang rasionya 27-28 siswa per guru, dan Korea Selatan sebagai salah negara terbaik pendidikannya di dunia rasionya rata-rata 34.7 atau 34-35 siswa per guru (UNESCO, 2017). Jika digunakan standar internasional, Indonesia terlihat sudah kelebihan sekitar 1,6 juta guru.
Data Mendibudristek Nadiem Makarim yang mengutip data Dapodik (2020) memperlihatkan jumlah guru berstatus aparatur sipil negara saat ini hanya 60 persen dari jumlah kebutuhan. Ini berarti sudah terdapat 2,4 juta guru ASN bagi 50 juta siswa sehingga rasionya terlihat amat ideal, sesuai dengan standar internasional, 20-21 siswa per guru.
Jika negara hadir mengatur penempatan dan pendistribusian guru ASN secara merata dengan baik ke seluruh Tanah Air, tentu tidak diperlukan lagi pengangkatan guru baru.
Jika pemerintah mengangkat lagi 1 juta GTK menjadi ASN pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dengan alasan mengisi kebutuhan GTK di seluruh Indonesia, tentu kebijakan sudah tidak rasional lagi.
Masalahnya bukan pada kekurangan jumlah guru, melainkan pendistribusiannya. Jika negara hadir mengatur penempatan dan pendistribusian guru ASN secara merata dengan baik ke seluruh Tanah Air, tentu tidak diperlukan lagi pengangkatan guru baru.
Kedua, paradoks antara peningkatan kesejahteraan dan pembinaan profesi guru. Hingga kini, harapan peningkatan mutu guru kelihatannya belum terwujud. Banyak pandangan yang menyatakan bahwa rendahnya mutu itu karena rendahnya tingkat kesejahteraan para guru.
Lagi-lagi, ternyata pandangan itu terbantahkan lewat penelitian Bank Dunia. Dalam publikasinya, ”Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia (2013)”, Bank Dunia menunjukkan, para guru yang telah memperoleh tunjangan sertifikasi dan yang belum ternyata memperlihatkan prestasi yang relatif sama. Program sertifikasi guru yang diselenggarakan selama ini, yang menghabiskan dana ratusan triliun rupiah, ternyata tidak memberi manfaat apa-apa terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional (hal 68).
Kesimpulan Bank Dunia itu diperoleh setelah meneliti sejak 2009 di 240 SD negeri dan 120 SMP di Indonesia dengan melibatkan 39.531 siswa. Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP.
Data lain yang memperkuat temuan Bank Dunia adalah prestasi anak-anak Indonesia di ajang Programme for International Student Assessment (PISA, 2018) begitu rendah. Terdapat sekitar 600.000 siswa yang berpartisipasi di gelanggang kompetisi internasional itu. Hasilnya, skor membaca siswa Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara; skor matematika di peringkat ke-72 dari 78 negara, dan skor sains di peringkat ke-70 dari 78 negara (Kemendikbud, 4/12/2019). Bahkan, di lingkup ASEAN, Indonesia berada di urutan kedua terendah dari 10 negara anggota ASEAN, hanya melampaui Filipina.
Nadiem juga menyampaikan jika mutu tidak akan membaik, skor PISA Indonesia 2023 sangat memungkinkan tidak akan naik akibat pandemi Covid-19 (medcom.id, 25/1/2021).
Untuk mengatasi keterpurukan mutu ini, Kemendikbudristek dan semua pihak terkait perlu secepatnya mengambil satu terobosan darurat (emergency exist) untuk menyelaraskan antara peningkatan kesejahteraan guru dan dampaknya secara nyata pada peningkatan mutu pendidikan.
Ketiga, paradoks antara pembatasan atau tanpa pembatasan penerimaan mahasiswa calon guru di LPTK. Sebagai penghasil guru dan tenaga kependidikan, LPTK saat ini berjumlah 423, terdiri dari 12 eks IKIP, 34 FKIP universitas, dan 377 LPTK swasta (Kemenristekdikti, 2019). Dari jumlah itu yang sudah terakreditasi A hanya 18 dan 81 terakreditasi B, selebihnya tidak terakreditasi atau terakreditasi rendah.
LPTK swasta terlihat terus-menerus merekrut dan meluluskan mahasiswa calon guru tanpa kendali sehingga setiap tahun terdapat sekitar 300.000 lulusan. Secara kumulatif, lulusan LPTK selama lima tahun (2012-2017) sebanyak 1,94 juta, sementara pada waktu yang sama, rekrutmen guru ASN hanya 142.232 orang (Antara, 27/1/2021), atau hanya terserap 7,33 persen dari seluruh jumlah lulusannya.
Data ini memberi kesan bahwa negara tidak hadir, tidak berkeinginan (unwilling), atau tidak mampu (unable) membenahi LPTK tersebut.
LPTK swasta terlihat terus-menerus merekrut dan meluluskan mahasiswa calon guru tanpa kendali sehingga setiap tahun terdapat sekitar 300.000 lulusan.
Terakhir, sebagai solusi dari berbagai paradoks itu, Kemendikbudristek dapat mengadopsi prinsip-prinsip Bologna Process (1999) dengan menerapkan satu sistem dan satu standar mutu yang sama bagi semua LPTK dalam melaksanakan pendidikan pra-jabatan atau dalam jabatan guru (preservice, and inservice). Disebutkan: Bologna Process is key to building necessary trust for successful learning mobility, cross border academic cooperation and the mutual recognition of study periods and qualification earned abroad (education.ec.europa.eu).
Mulanya penerapan model Bologna Process hanya di perguruan tinggi di 29 negara Eropa, tetapi kemudian menyebar ke 46 negara lainnya pada 2010 dengan satu sistem pengelolaan, satu standar pengakuan mutu lulusan sehingga memudahkan mobilitas dosen dan mahasiswanya berinteraksi dalam melaksanakan seluruh kegiatan tridharmanya dengan saling memperkuat untuk mencapai standar mutu yang sama.
Model ini kelihatannya dapat pula diberlakukan di 12 LPTK eks IKIP dan secara bertahap ke semua LPTK yang berakreditasi ”unggul” (A). Model Bologna Process ini terlihat telah berhasil diadopsi oleh Laureate Education yang berpusat di Amerika Serikat dengan membangun satu jaringan universitas yang terbesar di dunia dengan sistem tata kelola dan standar mutu yang sama untuk semua bidang keilmuan dan profesi. Misalnya untuk pendidikan kedokteran, Laureate telah mengembangkan jaringan pendidikan profesi kedokteran dan ilmu kesehatan dengan lebih 250.000 mahasiswanya, tersebar di lebih 40 program gelar dan keahlian atau spesialisasi, tersebar di 18 negara, di 37 universitas, dan di 158 kampus (www.laureate.net).
Semoga, di balik keterpurukan mutu pendidikan kita, masih ada optimisme di dada kita untuk menyelamatkan mutu pendidikan guru. Jika anggaran 20 persen dari APBN dan APBD setiap tahun habis tanpa ada hasil terhadap perbaikan mutu pendidikan, tentu ini adalah satu bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi yang tentu amat mendesak (emergency) diatasi.
Hafid Abbas, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ)