Masih banyak sorotan tentang lemahnya OJK dalam menjalankan berbagai fungsi, mulai dari pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, hingga perlindungan konsumen, sehingga muncul berbagai kasus yang merugikan investor.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Komisi IX DPR akhirnya memilih Agusman dan Hasan Fawzi sebagai anggota baru Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (Kompas, 10/7/2022).
Mereka mengisi dua posisi yang menjadi amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dengan tambahan dua komisioner ini, berarti kini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki 11 komisioner.
Keduanya terpilih lewat uji kelayakan dan kepatutan di DPR, dari empat calon yang diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR. Dua komisioner baru yang terpilih ini langsung dihadapkan pada sejumlah tantangan dan pekerjaan rumah berat, terutama di sektor jasa keuangan digital.
Hal ini sejalan dengan peran OJK yang juga kian strategis di era UU P2SK sehingga tersemat istilah ”supremasi baru OJK”. Seperti kita tahu, dengan adanya UU P2SK, terdapat pula penambahan fungsi-fungsi baru di OJK.
Termasuk di dalamnya pengawasan untuk industri yang relatif baru, seperti tekfin, dan aktivitas transaksi aset keuangan digital, seperti kripto. Ini penting agar kehadiran dan perkembangan industri tersebut benar-benar bermanfaat dan tidak memunculkan risiko-risiko baru bagi perekonomian.
Selain itu, ada amanat baru terkait perizinan, pengaturan, dan pengawasan koperasi, serta implementasi bursa karbon. Dua komisioner baru ini tampaknya akan lebih banyak berurusan dengan sektor jasa keuangan digital.
Sangat pesatnya perkembangan teknologi keuangan digital harus diakui sering membuat otoritas, termasuk OJK, gagap.
Selama ini masih banyak sorotan tentang lemahnya OJK dalam menjalankan berbagai fungsi, mulai dari pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, hingga perlindungan konsumen sehingga muncul berbagai kasus yang merugikan investor serta mengancam stabilitas sektor keuangan dan bisa berdampak sistemik pada perekonomian itu sendiri.
Munculnya kasus-kasus di perusahaan keuangan, seperti Jiwasraya, AJB Bumiputera, Bank Muamalat, Arjuna Finance, dan SNP Finance, di antaranya juga karena lemahnya pengawasan OJK. Sebab, beberapa di antaranya sebenarnya masalahnya sudah diketahui sejak OJK beroperasi pada awal 2013.
Belum lagi maraknya kasus investasi bodong berkedok jual beli aset kripto dan non-fungible token (NFT) serta menjamurnya pinjaman daring yang sudah memakan banyak korban. Tingginya kredit macet di tekfin pinjaman antarpihak (peer to peer/P2P lending) yang terjadi selama ini juga bisa mengancam kredibilitas industri ini.
Di sisi industri pembiayaan, problem yang diungkapkan pengamat, di antaranya, sulitnya permodalan perusahaan pembiayaan. Karena itu, perusahaan dijual kepada investor asing dan dominasi asing yang terlalu kuat berpotensi menciptakan risiko keuangan yang lebih besar bagi perekonomian.
Tambahan tugas baru OJK dan berbagai kritik terhadap OJK selama ini juga menyoroti pentingnya memperkuat kualitas SDM dan koordinasi dengan berbagai lembaga terkait, termasuk BI, Bappebti, Kepolisian Negara RI, dan kementerian.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO