Publik harus dididik bahwa pemilu adalah kegiatan politik rutin yang mengubah kepemimpinan dalam masyarakat. Pemilu dan pilihan politik bukan untuk membelah bangsa.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Setidaknya 56 persen responden jajak pendapat merasa khawatir akan adanya polarisasi pada masa Pemilu 2024. Angka itu lebih kecil dibandingkan jelang Pemilu 2019.
Laporan Litbang Kompas itu tergambar dalam analisis dengan judul ”Tantangan Menepis Polarisasi Pemilu 2024”, yang dimuat di harian ini, Senin (10/7/2023). Bersyukur, tak kurang dari 63,5 persen responden dalam jajak pendapat itu berpendapat masyarakat Indonesia bisa tetap bersatu pada masa Pemilu 2024. Penyebab keterbelahan warga itu mayoritas mengkhawatirkan justru datang dari cara kampanye calon.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hasil jajak pendapat Kompas menjelang Pemilu 2024 itu tidak banyak berbeda dengan potensi polarisasi politik yang kian menguat saat menyongsong Pemilu Presiden 2019. Riset opini Kompas, pada 23-24 Agustus 2018, mengungkap 57,6 persen responden mengakui terjadi polarisasi di masyarakat. Namun, mayoritas responden (63,9 persen) menganggap hal itu sebagai hal biasa saja saat pemilu.
Sedikit menggembirakan dari hasil jajak pendapat itu adalah hanya sedikit (4,5 persen) responden yang menganggap isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) akan digunakan untuk menyebabkan polarisasi dalam masyarakat. Menurut mayoritas responden, keterbelahan dalam warga mungkin terjadi karena sikap saling tak menghargai antarcalon atau antarpendukung calon (27,1 persen), penggunaan hoaks/kabar bohong (22,5 persen), dan politisi yang memecah belah masyarakat (18 persen).
Sejak Pemilu 2014, yang diikuti dengan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, dan Pemilu 2019, dalam masyarakat selalu muncul kekhawatiran terjadinya polarisasi, yang disebabkan oleh pilihan politik. Apalagi, kalau hanya ada dua pasangan calon presiden/wakil presiden atau calon kepala daerah yang berhadapan.
Kedua pasangan calon, diikuti pendukung dan partai politik pengusungnya, langsung membelah masyarakat dalam dua kutub pilihan. Tak ada alternatif lain. Karena itu, laporan Litbang Kompas dua tahun lalu menyebutkan separuh responden (51,6 persen) lebih menginginkan pada Pemilu Presiden 2024 tidak hanya ada dua pasangan calon.
Langkah Presiden Joko Widodo merangkul kompetitornya pada pemilu yang lalu ternyata belum bisa menepis kekhawatiran warga akan adanya polarisasi politik. Apalagi, meskipun kini ada tiga nama calon presiden yang mengemuka, kemungkinan hanya dua pasangan calon yang berlaga pada pemilu mendatang masih tetap terbuka. Jika itu terjadi, besar kemungkinan polarisasi dalam masyarakat terjadi kembali.
Kini menjadi tugas pemerintah, penyelenggara pemilu, elite politik, media massa, dan siapa pun yang peduli pada persatuan di negeri ini bergandengan tangan supaya kekhawatiran akan terjadinya polarisasi politik itu tak mewujud. Dibutuhkan komitmen yang serius untuk mewujudkan pemilu nan damai, dan mencegah keterbelahan dalam masyarakat.
Publik harus dididik, bahwa pemilu adalah kegiatan politik rutin, yang mengubah kepemimpinan dalam masyarakat. Pemilu dan pilihan politik bukanlah untuk membelah bangsa.