Jika agama yang mewarnai Pemilu 2024 mewujud dalam gerakan perlawanan rakyat, justru kemungkinan besar ada krisis yang dihadapi. Krisis ini adalah penanda populisme.
Oleh
HASNAN BACHTIAR
·3 menit baca
Tidak dapat dimungkiri bahwa hubungan antara populisme dan agama sangatlah kompleks. Agama misalnya, sering kali muncul dalam fenomena populisme, dalam berbagai bentuk dan fungsinya. Terlebih, fenomena populisme ini terjadi di suatu wilayah yang dihuni oleh penduduk yang menganut berbagai agama tertentu, termasuk Indonesia.
Sudut pandang relasi populisme dan agama ini sangat penting untuk mengapresiasi ide segar mengenai ”politik identitas” yang diajukan oleh pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah: Prof Haedar Nashir dan KH Yahya Cholil Staquf. Mereka menolak primordialisme yang berpotensi menyebabkan perpecahan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Populisme secara sederhana merupakan fenomena perlawanan rakyat. Cas Mudde dalam The Populist Zeitgeist (2004), menjelaskan, populisme sebagai gerakan perlawanan rakyat murni yang homogen dan antagonis melawan penguasa yang korup atas nama moralitas kerakyatan.
Mudde menganggap rakyat secara moral sebagai sekumpulan orang biasa yang murni dan memiliki hak serta kedaulatan atas wilayah tertentu di mana mereka tinggal. Ketika wilayah itu berdasarkan mandat politis yang disepakati (yang bersandar kepada undang-undang yang dibuat) diserahkan kepada wakil mereka, pemerintah, harus dikelola dengan baik dan benar.
Kekeliruan dalam mengelola pemerintahan menyebabkan timbulnya keluhan, ketidakpercayaan, tuntutan, dan bahkan kehendak untuk mengoreksi, mengkritik, dan bahkan memakzulkan kekuasaan politik yang diwakili oleh pemerintah. Rakyat dalam konteks populisme adalah sesuatu yang luhur dan mengklaim dirinya memiliki kedaulatan yang lebih tinggi dari kursi kekuasaan yang dimiliki oleh ”elite penguasa”. Bahkan, para elite tersebut dalam sudut pandang populis dianggap sebagai sekadar ”pembantu rakyat untuk mengelola pemerintahan”.
Kesalahan dalam pengelolaan menimbulkan operasi penindakan politik populis, yang menempatkan elite penguasa sebagai sosok musuh yang korup, tidak kompeten, dan singkat cerita, tidak mendukung kebajikan. Jadi, populisme adalah perlawanan rakyat ”murni” yang membawa serta misi kebajikan moral terhadap elite penguasa yang korup. Dalam konteks ini, rakyat dibayangkan sebagai suatu kesatuan perlawanan yang secara diametral tidak mungkin menjadi pihak yang didakwa atas kesalahan pengelolaan pemerintahan.
Populisme dan agama
Dalam menggalang aksi perlawanannya terhadap elite, kelompok populis menggalang kekuatan politik dari individu-individu atas nama ”kemurnian” moral rakyat. Penggalangan ini terkadang menggunakan agama baik sebagai simbol, argumentasi, narasi, maupun retorika untuk memengaruhi massa agar percaya bahwa mereka sedang menghadapi masalah besar yang disebabkan oleh para elite yang korup. Di saat yang sama, kelompok populis juga menjanjikan bahwa dukungan terhadap gerakan perlawanan rakyat akan menyelesaikan krisis yang mereka hadapi.
Definisi agama dalam hal ini, secara umum, meminjam dari Emile Durkheim (1915), bisa dipandang sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik dalam masyarakat yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat sakral dan keagamaan.
Penggunaan agama ini di satu sisi bisa sebagai alat mobilisasi, atau secara lebih umum, instrumen politik. Sebaliknya, ada pula ”moralitas perlawanan rakyat” yang justru bermula dari doktrin-doktrin keagamaan. Artinya, agama di sisi lain sebagai inspirasi untuk menggalang kekuatan perlawanan terhadap elite yang zalim. Cara yang pertama disebut instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik, sementara yang kedua adalah agamisasi politik.
Memang sulit untuk menebak hati para politikus ataupun aktor populisme, apakah mereka secara tulus memperjuangkan agama, atau memanfaatkannya untuk pragmatisme politik.
Apa yang disebutkan terakhir memiliki setidaknya dua mekanisme. Pertama, agama yang memberikan pengaruh yang begitu kuat terhadap proses politik (dengan tujuan murni bersifat religius). Kedua, sakralisasi atau spiritualisasi politik, di mana perbuatan baik dalam politik harus diupayakan tanpa secara simbolik memainkan peran identitas keagamaan tertentu. Masalah sakralisasi politik ini adalah melayani kepentingan masyarakat religius yang biasanya hidup di tengah iklim politik demokratis yang cenderung sekular.
Menurut José Pedro Zúquete (2017), mekanisme instrumentalisasi agama dan agamisasi politik dalam populisme berlaku secara tidak jelas, tidak sepenuhnya terpisah, dan kadang tumpang tindih satu sama lain. Memang sulit untuk menebak hati para politikus ataupun aktor populisme, apakah mereka secara tulus memperjuangkan agama, atau memanfaatkannya untuk pragmatisme politik.
Memperalat agama
Dalam konteks Pemilu 2024, kedua tokoh terpenting Islam moderat di Tanah Air menyarankan untuk menghindari ”politik identitas”. Artinya, jangan sampai memperalat agama, juga terlampau menekankan tafsir keagamaan tertentu dengan menganggap bahwa urusan politik adalah urusan akhirat yang setara dengan masalah akidah.
”Memperalat agama” dapat dipersoalkan sebagai hal yang imoral. Akan tetapi, tafsir keagamaan dalam memandang politik, termasuk pemilu, adalah hal yang terbuka untuk didiskusikan. Sepanjang hal itu bukan pemaksaan, represi, peliyanan, dan bahkan pengafiran, adalah wilayah ijtihad politik yang cair. Terlebih bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis, terutama secara sosial dan kultural.
Dengan demikian, politik identitas, meskipun dianggap sebagai hal yang kontroversial, tampaknya akan tetap menjadi warna yang dipertahankan. Karena itu, akan tetap ada partai-partai bernuansa Islam, seperti PKS, PKB, PAN, PBB, dan PPP, akan tetap ada partisipasi politik adiluhung dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Jam’iyyatul Washliyah, dan seterusnya, dan para kandidat presiden yang menganggap penting nilai keagamaan seperti Anies Baswedan (lebih ke santri), Prabowo Subianto (yang priayi), dan Ganjar Pranowo (yang abangan).
Namun, jika agama yang mewarnai Pemilu 2024 mewujud dalam gerakan perlawanan rakyat, justru kemungkinan besar ada krisis yang dihadapi. Krisis ini adalah penanda populisme. Ia simbol ketidakpuasan pemilik kedaulatan demokrasi yang otentik, rakyat. Meskipun demikian, hal ini tidak selalu dipicu oleh kinerja pemerintah. Walau pemerintah telah bekerja dengan baik, kompleksitas praktik demokrasi kita mengondisikan semua itu terjadi.
Politik identitas dan agamaisasi politik adalah wilayah ijtihad yang justru harus diperjuangkan untuk kepentingan pembangunan bangsa dan negara dengan napas keagamaan yang luhur dan berkemajuan.