Ketika guru salah mendiagnosis perilaku anak didiknya, guru akan keliru memberi perlakuan belajar kepada si murid. Karena itu, guru harus mengenali karakter murid-muridnya sehingga kasus perundungan dapat dicegah.
Oleh
KURNIAWAN ADI SANTOSO
·3 menit baca
Ruang kelas di SMPN 2 Pringsurat, Temanggung, Jawa Tengah, dibakar oleh salah satu murid di sekolah itu. Murid tersebut nekat membakar sekolahnya lantaran sakit hati akibat sering dirundung teman-temannya bahkan juga oleh oknum guru. Miris.
Yang perlu dicermati dari peristiwa itu pernyataan Kepala SMPN 2 Pringsurat. Ia mengatakan bahwa R adalah anak yang suka caper (cari perhatian) di sekolahnya (Kompas.com, 2/7/2023). Padahal, anak tersebut korban perundungan. Bahkan, R dirundung oleh gurunya dengan menyobek karya yang dibuat R. Menurut saya, ini adalah kesalahan fatal dari pihak sekolah dalam mendiagnosis perilaku anak didiknya.
Ketika guru salah mendiagnosis perilaku anak didiknya, guru akan keliru memberi perlakuan belajar kepada si murid. Ini yang sering terjadi dan tidak disadari oleh sang guru. Alhasil, marak fenomena anak diremehkan, tak dihargai, bahkan malah menjadi bahan ejekan teman-temannya.
Maka, tak ayal apabila kemudian anak korban perundungan justru nekat melakukan aksi seperti di Temanggung, membakar sekolahnya. Sangat disayangkan pula pihak sekolah tidak memahami kondisi psikologis korban. Malah anak itu dianggap cari perhatian. Padahal, apabila sekolah mengambil tindakan yang cepat dan tepat, kasus tersebut dapat dicegah, misalnya dengan memberi sanksi kepada pengeroyok R dan memulihkan kondisi korban. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan sekolah.
Dalam kasus anak bakar sekolah di Temanggung, kita sebagai guru mestilah cakap mengenali karakter masing-masing anak didik. Guru harus mampu mengenali keunikan tiap anak. Mempelajari tabiat dan perilaku anak, terutama anak yang punya perilaku ”khusus”, menjadi penting agar guru tak keliru mengambil kebijakan yang justru malah merugikan anak dalam proses belajarnya.
Kalau menurut teori cognitivism bahwasanya anak dikatakan belajar saat dia mengalami perubahan dan penambahan pengetahuan. Ternyata berbeda menurut teori behaviorism, anak dikatakan belajar sesuatu ketika dia menunjukkan perubahan perilaku. Soal konsep teori-teori belajar inilah yang harus diterapkan guru secara komprehensif di kelas sehingga guru dapat menjalankan perannya dan memfasilitasi anak sesuai dengan tujuan belajar yang ingin dicapai, yakni perubahan pengetahuan dan juga tingkah laku.
Berdasarkan penelitian, kunci keberhasilan belajar anak terletak pada kualitas hubungan antarguru dan siswa (Marzano and Marzano, 2003). Yang membuat hubungan itu berkualitas ialah perilaku/tingkah laku guru itu sendiri terhadap anak didiknya. Bagaimana guru memperlakukan anak saat mereka berhubungan, berinteraksi, bergaul di dalam kelas dan di luar kelas.
Yang membuat hubungan itu berkualitas ialah perilaku/tingkah laku guru itu sendiri terhadap anak didiknya.
Pun cara guru bersama anak membangun harapan dan konsekuensi yang jelas. Membangun tujuan belajar dan menciptakan perilaku positif kelas demi kenyamanan bersama. Hal-hal inilah yang menjadikan belajar menjadi efektif.
Saat guru berperan menjadi seorang manajer yang efektif dari sebuah kelas, ia sebaiknya memahami setiap ketertarikan siswanya. Ini bisa dilakukan dengan melakukan tes diagnostik (diagnostic test) atau pretest sebagai bentuk asesmen awal untuk mengidentifikasi kemampuan anak dalam suatu bidang.
Kegiatan tersebut efektif untuk mengenal perbedaan anak, karakter anak, menentukan strategi belajar yang tepat terutama untuk siswa-siswa yang berperilaku ”khusus”. Kemampuan guru dalam mengenal perbedaan karakter anak didiknya merupakan kunci keberhasilannya dalam mengajar.
Guru harus tahu anak yang pasif. Pun anak yang agresif. Dengan mengenal lebih dalam watak dan karakter setiap anak, dan mengidentifikasi serta menganalisis masalah yang ditimbulkan, guru akan mampu memberi perlakuan dengan cepat dan tepat.
Kebanyakan guru mengeluhkan kelakuan anak-anak yang agresif. Tipe anak agresif, Marzano and Marzano (2003) mengategorikan mereka ke dalam tiga kategori. Pertama, hostile, anak yang susah mengontrol amarah, kurang empati, dan tidak bisa melihat/mengerti konsekuensi terhadap setiap tingkahnya. Kedua, oppositional, anak yang hampir tidak pernah bermasalah dengan perilaku, tetapi dia selalu melawan aturan, membantah orangtua, bicara kasar, dan cenderung mengganggu orang lain. Ketiga, covert, anak tipe ini terkadang agak diam, tetapi dia akan beraksi saat ada masalah.
Salah satu strategi yang paling ampuh untuk menghadapi anak-anak agresif dengan membuat kontrak perilaku terhadap setiap masalah yang dimunculkan. Juga menyiapkan hadiah dan konsekuensi setiap respons dan perubahan dari anak agresif ini.
Selain itu, ada juga tipe anak yang dikategorikan hyperactice dan inattentive. Yang anak hyper cirinya memiliki ”semangat 45” saat belajar, sangat aktif, sering bertanya/merespons, sulit mengontrol motoriknya, dan bahkan terkadang agak terkesan overacting di depan teman-temannya. Sedangkan yang inattentive adalah anak yang gagal fokus, susah konsentrasi, dan bosan di dalam kelas. Mereka ini juga butuh perhatian/perlakuan khusus.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk membantu si anak, di antaranya memberlakukan kontrak perilaku bagi siswa yang hiperaktif, ajari cara berkonsentrasi/fokus, cara belajar, dan berpikir benar bagi anak yang sulit fokus. Dalam beberapa kasus anak dengan tingkat kesulitan konsentrasi yang parah, pisahkan dia dari keramaian, bantu dia mengidentifikasi penyebab masalahnya, dan terapkan strategi belajar dengan tutor sebaya.
Saat para guru telah mampu mengenali sikap/perilaku anak dengan segala keunikan watak dan karakternya, itu menunjukkan guru telah menjalankan perannya sebagai manajer andal di kelas yang dikelolanya. Ia semakin berwibawa di hadapan anak didiknya.
Sebab, guru cakap dalam mengatur kelas, mengatur anak, mengarahkan, menciptakan aturan secara bersama, menciptakan hubungan dengan attachment yang baik, dan peka serta peduli dengan masalah-masalah yang timbul pada anak dengan segala perbedaannya. Keberhasilan dalam belajar pun akan tercapai, motivasi akan tumbuh, perilaku anak pun dapat terkontrol dengan baik, dan perundungan tak akan pernak terjadi di kelas tersebut.