Salah satu masalah krusial akreditasi di jenjang PAUD adalah tidak ada sanksi bagi PAUD yang tidak melakukan akreditasi. Akibatnya, mutu PAUD tidak diketahui.
Oleh
AGUNG PRIHANTORO
·4 menit baca
Salah satu masalah pokok yang dihadapi Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal (BAN PAUD dan PNF)—kini Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (BAN PAUD Dasmen)—adalah keengganan sebagian satuan PAUD dan PNF untuk melakukan akreditasi. Satuan PAUD dan PNF enggan untuk melakukan akreditasi karena akreditasi belum menjadi kebutuhan dan kesadaran.
Akreditasi belum menjadi kebutuhan dan kesadaran bagi sebagian satuan PAUD dan PNF—bahkan bagi sebagian satuan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Bagi mereka, akreditasi sebagai penjaminan mutu (quality assurance) eksternal merupakan keterpaksaan. Penjaminan mutu internal pun belum menjadi kebutuhan dan kesadaran bagi banyak satuan pendidikan di Indonesia dan negara-negara berkembang lain.
Lagi pula, tidak ada sanksi bagi satuan PAUD yang tidak melakukan akreditasi. Inilah salah satu masalah krusial akreditasi di jenjang PAUD.
Masalah krusial tersebut mempunyai dua implikasi. Pertama, mutu atau kelayakan PAUD dan PNF tidak diketahui. Mutu PAUD dan PNF diketahui secara komprehensif setelah satuan PAUD dan PNF diakreditasi.
Implikasi kedua adalah BAN PAUD dan PNF di tingkat provinsi tidak hanya mengakreditasi satuan pendidikan, tetapi juga turut mendorong satuan PAUD dan PNF untuk melakukan akreditasi. BAN PAUD dan PNF provinsi berperan ganda. Dalam mendorong satuan PAUD dan PNF ini, BAN PAUD dan PNF provinsi bekerja sama dengan dinas pendidikan, kepemudaan, dan olahraga kabupaten/kota dan organisasi-organisasi mitra.
Mengapa BAN PAUD dan PNF provinsi berperan ganda? Karena, BAN PAUD dan PNF provinsi diberi target untuk melakukan akreditasi terhadap satuan PAUD dan PNF dalam jumlah tertentu per tahun. Target jumlah satuan PAUD dan PNF yang diakreditasi per tahun di setiap BAN PAUD dan PNF provinsi itu berbeda-beda. Kalau tidak mencapai target yang telah ditetapkan itu, BAN PAUD dan PNF provinsi mendapatkan sanksi.
BAN PAUD dan PNF provinsi wajib mengakreditasi satuan pendidikan, sementara satuan pendidikannya tidak wajib melakukan akreditasi.
Dengan begitu, BAN PAUD dan PNF provinsi yang seharusnya berperan pokok sebagai evaluator/akreditor juga berperan sebagai pendorong akreditasi satuan PAUD dan PNF. Peran ganda evaluatordan pendorong ini dikhawatirkan menimbulkan bias akreditasi.
Ini cukup aneh. BAN PAUD dan PNF provinsi wajib mengakreditasi satuan pendidikan, sementara satuan pendidikannya tidak wajib melakukan akreditasi.
Kewajiban minus sanksi
Selama ini, pemerintah sudah membuat kebijakan-kebijakan sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah keengganan sebagian satuan PAUD dan PNF dalam melakukan akreditasi, tetapi kebijakan itu tidak cukup berhasil. Kebijakan itu mewajibkan sejumlah satuan PAUD (tanpa satuan PNF) untuk melakukan akreditasi dengan istilah-istilah compulsory, sampel acak, dan sebagainya.
Namun, tidak semua satuan PAUD yang diwajibkan melakukan akreditasi benar-benar melakukan akreditasi, dan mereka tidak mendapatkan sanksi. Karena itu, lagi-lagi BAN PAUD dan PNF provinsi bekerja keras untuk mendorong satuan-satuan PAUD melakukan akreditasi supaya target kuantitas BAN PAUD dan PNF provinsi tercapai.
Kebijakan terbaru tentang kewajiban akreditasi bagi satuan-satuan PAUD, pendidikan dasar, dan menengah (dasmen) adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2023 tentang Akreditasi PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah. Permendikbudristek No 38/2023 ini juga mewajibkan satuan PAUD, sekolah dan madrasah, serta program pendidikan kesetaraan untuk melakukan akreditasi, tetapi tetap minus pasal tentang sanksi bagi satuan dan program pendidikan yang tidak melakukan akreditasi.
Permendikbud No 84/2014 tentang Pendirian Satuan PAUD dan Permendikbud No 36/2014 tentang Pedoman Pendirian, Perubahan, dan Penutupan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah juga tidak mencantumkan sanksi bagi satuan PAUD, pendidikan dasar, dan menengah yang tidak melakukan akreditasi.
Kebijakan akreditasi terutama kepada PAUD dan PNF itu berbeda dengan kebijakan akreditasi pada pendidikan tinggi. Kenyataannya, satuan PAUD dan PNF ”boleh melakukan akreditasi dan boleh tidak melakukannya”. Sebaliknya, satuan dan program pendidikan tinggi yang tidak melakukan akreditasi diancam dengan sanksi. Permendikbud No 7/2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri dan Pendirian, Perubahan, dan Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta mengatur kewajiban akreditasi dan sanksinya.
Menimbang sanksi
Kita ketahui bersama bahwa kondisi pendidikan tinggi berbeda dengan kondisi PAUD, PNF, dan dasmen. Dalam kaitannya dengan akreditasi, kondisi sumber daya manusia (SDM) di satuan pendidikan sangat penting. Kecukupan kuantitas dan kualitas SDM amat mendukung akreditasi dan penjaminan mutu internal dan eksternal karena, tulis Lee Harvey (2022), editor jurnal Quality in Higher Education, penjaminan mutu memerlukan SDM yang mencukupi.
Sumber daya manusia di perguruan tinggi relatif lebih mencukupi daripada di satuan PAUD, PNF, dan dasmen. Tidak sedikit kelompok bermain (KB), tempat penitipan anak (TPA), satuan PAUD sejenis (SPS), dan pos PAUD yang dikelola oleh satu atau dua pendidik secara sukarela.
Maka, ide pemberian sanksi terutama bagi satuan PAUD perlu mempertimbangkan kuantitas dan kualitas SDM pengelolanya. Satuan PAUD membutuhkan dukungan kuantitas dan kualitas SDM dari instansi-instansi pemerintah terkait untuk melakukan penjaminan mutu internal dan menyiapkan akreditasi. Karena itu, jika ada sanksi untuk satuan PAUD yang tidak terakreditasi, sanksi itu berikan bukan hanya untuk satuan PAUD itu sendiri, melainkan juga untuk instansi-instansi terkait tersebut.
Pertimbangan lain tentang sanksi ialah apakah sanksi merupakan cara efektif dan efisien untuk meningkatkan mutu PAUD melalui akreditasi? Di jenjang pendidikan tinggi, sanksi tersebut efektif dan efisien. Berdasarkan pengalaman kebijakan kewajiban akreditasi PAUD minus sanksi selama ini, pada hemat penulis, sanksi itu juga akan efektif dan efisien di jenjang PAUD. Jadi, kewajiban akreditasi satuan PAUD plus sanksi harus diberlakukan.
Terakhir, gagasan kewajiban akreditasi satuan PAUD plus sanksi mesti dibarengi dengan penyempurnaan konsep dan pelaksanaan akreditasi PAUD secara terus-menerus. Beban akreditasi yang dinilai menambah kesibukan pendidik dan tenaga kependidikan PAUD sudah dikurangi dengan pemanfaatan profil dan rapor satuan pendidikan dalam akreditasi dan otomasi sebagai akreditasi ulang (Permendikbudristek No 38/2023 Pasal 9 dan 15). Kuantitas dan kualitas butir instrumen akreditasi, kualitas asesor, dan mekanisme akreditasi perlu dibenahi. Juga, yang tidak kalah penting adalah pembenahan sistem penjaminan mutu internal PAUD.
Agung Prihantoro, Dosen Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta; Anggota Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal (BAN PAUD dan PNF) Daerah Istimewa Yogyakarta 2022-2024