Satria melengkapi sejarah besar telekomunikasi berbasis keantariksaan di Indonesia sejak era Palapa. Namun tantangan baru muncul dan menuntut wawasan astropolitik.
Oleh
DEDEN HABIBI ALI ALFATHIMY
·2 menit baca
Peluncuran Satria-1 (Nusantara-3) pada 19 Juni 2023 merupakan capaian istimewa karena berdekatan dengan peringatan ke-47 Hari Satelit Palapa. Diluncurkan pada 9 Juli 1976, Palapa A1 juga menjadi terobosan di zamannya. Palapa menjadi satelit domestik ke-4 di dunia dan pertama di antara negara berkembang. Sedangkan, Satria sebentar lagi berstatus satelit internet berkapasitas terbesar di Asia dan ke-5 di dunia.
Indonesia memang bak ditakdirkan bergantung kepada teknologi ini. Kabel bawah laut Palapa Ring dan ribuan menara stasiun pemancar (Base Transceiver Station/BTS) sulit menjangkau seluruh jengkal kepulauan. Sementara Tol Langit dan transformasi digital tak mengizinkan seorang pun tertinggal, Satria menjadi pelengkap kehadiran negara di wilayah-wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) (Kompas, 20/06/2023).
Kendati demikian, kini sistem satelit bernilai belasan triliun rupiah tersebut menghadapi banyak tantangan besar yang tidak dihadapi oleh Palapa A1. Wawasan astropolitik yang baik menjadi syarat untuk menghadapinya.
Dahulu Palapa untuk telepon juga siaran televisi, kini Satria untuk internet. Sayangnya, karena teknologi antariksa dan siber semakin padu, ancaman siber bisa segera menjadi ancaman terhadap aset antariksa dan sebaliknya.
Contohnya, Inggris menuduh Rusia menyerang sistem satelit ViaSat-1 secara siber di awal invasi terhadap Ukraina. Serangan ini melumpuhkan jejaring internet di Ukraina sebelum akhirnya ditanggulangi oleh Starlink milik SpaceX. Penyerang tidak perlu lagi mengganggu satelit secara langsung, cukup menembus jejaring internet yang terhubung dengannya.
Di ranah diplomasi global, persilangan antara antariksa dan siber memang sudah disadari tetapi belum tertangani dengan utuh. Tampak dalam negosiasi rumusan pedoman pemanfaatan antariksa yang berkelanjutan (Guidelines LTS) di PBB yang masih menyisakan beberapa isu siber yang belum disepakati.
Dari sisi ruang, dahulu Palapa leluasa, kini Satria berjejalan. Risiko tabrakan akibat penumpukan satelit dan puing-puing sampah semakin meningkat. Ledakan satelit Telkom-1 pada 2017 menunjukkan bahwa satelit-satelit kiat rentan, begitu pun ketergantungan kita terhadapnya.
Tidak hanya sampah, ancaman pertempuran di antariksa semakin tinggi seiring memanasnya geopolitik Indo-Pasifik. Di atas Indonesia, teruntai ratusan satelit milik negara-negara yang bersitegang di kawasan.
Dalam beberapa simulasi tempur, operasi kontra antariksa akan dilancarkan oleh China untuk melumpuhkan sistem satelit aliansi Amerika Serikat. Operasi ini berisiko menghasilkan jutaan puing yang membahayakan satelit-satelit Indonesia ataupun asing yang disewanya. Apalagi sifat multifungsi dari Satria-1 membuat berbagai hajat kehidupan Indonesia rentan terganggu sekaligus, termasuk keamanan-pertahanan.
Tidak hanya sampah, ancaman pertempuran di antariksa semakin tinggi seiring memanasnya geopolitik Indo-Pasifik.
Satu lagi, dahulu Palapa meniti, kini Satria berlari. Palapa merupakan bagian Repelita II Presiden Soeharto yang memeratakan pembangunan dalam keterbatasan sehingga rencana swasembada satelit dikesampingkan. Sekarang, Satria menjadi bagian visi “Indonesia Maju” Presiden Jokowi menyambut bonus demografi.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja menyatakan slot orbit satelit bukanlah aset nasional. Memang, aset persatelitan yang sejati adalah sumber daya manusia dan industri penopangnya. Kemandirian industri satelit akan menyerap bonus demografi. Satelit-satelit buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) hingga mahasiswa Surya-1 menunjukkan bahwa manusia Indonesia sudah mampu dan saatnya diberi kepercayaan.
Tiga tahun tambahan usia Satria-1 tidak bisa menjadi dalih untuk tidak mempercepat kemandirian satelit nasional dalam 15 tahun ke depan. Terhambatnya konstruksi Satria-1 akibat perang Rusia-Ukraina menjadi bukti buruknya ketergantungan kepada asing. Para pemimpin nasional harus punya wawasan ini.
Wawasan “keantariksaan” Nusantara
Semakin berguna suatu teknologi, semakin tidak disadari keberadaan dan kerumitannya. Pakar studi sains dan teknologi, Bruno Latour, menyebutnya "blackboxing". Barangkali untuk satelit perlu saya tambah "bluedomed" atau tertutup kubah biru karena langit biru Bumi menyembunyikan wujud Satria-1 dan ribuan satelit lainnya.
Mentalitas blackboxing ataupun bluedomed harus dihindari oleh para pemangku kepentingan di bidang satelit keantariksaan. Wawasan Nusantara dan serangkaian pemikiran geopolitik nasional sudah saatnya dibangkitkan dan diremajakan kembali mengikuti perkembangan astropolitik terkini. Kita pernah berikhtiar untuk itu pada 1998-2003 melalui Konsepsi Kedirgantaraan Nasional. Konsepsi yang diusung oleh Dewan Penerbangan dan Antariksa RI (Depanri) dan lainnya ini perlu dibahas kembali hingga tercermin dalam RPJPN 2025-2045.
Di tingkat operasional, teknologi Space Situational Awareness bisa dikembangkan untuk mengawasi lingkungan orbit Bumi di sekitar Satria-1 dan aset-aset lainnya. Keterlibatan TNI-AU, BRIN, dan lembaga-lembaga terkait lainnya menjadi kunci, terutama dalam pemanfaatan Observatorium Timau. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga penting mengawal aset antariksa sebagai bagian dari Infrastruktur Informasi Vital (IIV) nasional.
Tidak kalah penting, di tahun politik ini, para calon presiden RI yang ke-8 dituntut untuk memiliki cakupan wawasan keantariksaan dalam visi-misinya. Antariksa bukanlah hal baru bagi Indonesia, tetapi manfaat terbesarnya hanya bisa diraih oleh pemimpin yang melek astropolitik. Andai menang dua periode, di tahun 2034 kelak, sang presiden bakal mewariskan tata kelola nasional pemanfaatan orbit Bumi yang kompak demi 10 tahun setelahnya yang menentukan.
Kini dalam perjalanannya menuju slot GSO 146 BT, Satria-1 seakan memberi kesempatan bagi kita untuk berefleksi dan mempersiapkan semua itu. Habis era Palapa, terbit era Satria. Seberapa jauh mereka mengantarkan kita pada Indonesia Emas 2045 bergantung pada seberapa jauh upaya kita dalam menjaganya.
Deden Habibi Ali Alfathimy, Peneliti Kebijakan Antariksa di BRIN dan Mahasiswa Doktoral University of Leicester