Memaknai fenomena Starshield dan hubungannya dengan wawasan Nusantara sangat relevan dengan upaya bela negara. Upaya bela negara melalui pemanfaatan antariksa perlu kemandirian sistem satelit nasional.
Oleh
DEDEN HABIBI ALI ALFATHIMY
·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Sekitar awal Desember 2022, SpaceX mengumumkan rencana untuk membangun sistem Starshield yang mirip dengan Starlink tetapi khusus untuk keperluan militer. Konstelasi satelit ini akan melebarkan dominasi SpaceX sebagai perusahaan penyedia konektivitas berbasis satelit orbit rendah yang menjamah urusan keamanan nasional.
Kecenderungan ini sebenarnya sudah terlihat sejak SpaceX mengirimkan banyak parabola Starlink untuk Ukraina setelah serangan Rusia. Ini menjadi pertanda bahwa antariksa, khususnya orbit Bumi, semakin berdampak kepada upaya negara dalam menjaga keberlangsungannya. Bagaimana dengan Indonesia?
Pada 13 Desember lalu, Indonesia memperingati Hari Nusantara. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan bahwa Deklarasi Djuanda 1957 merupakan fondasi bagi ”takdir” kejayaan maritim nasional. Di kesempatan yang sama, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia pun menekankan ekonomi berbasis maritim sebagai orientasi pembangunan nasional ke depan.
Bahwa betul negara kita adalah negara kepulauan yang berkarakter maritim, tetapi keistimewaan Nusantara tidak berhenti di situ. Wawasan Nusantara pernah ditafsirkan ke dalam cara pandang Indonesia terhadap antariksa. Wawasan Nusantara bahkan pernah turut dibentuk oleh pemanfaatan antariksa.
Tanggal 19 Desember 2022 menjadi peringatan ke-16 Hari Bela Negara. Hari tersebut diperingati untuk mengenang pembelaan para pejuang Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang tidak hanya ditopang oleh kerelaan, tetapi juga penguasaan teknologi. Memaknai fenomena Starshield dan hubungannya dengan wawasan Nusantara akan sangat relevan dengan upaya bela negara saat ini.
SPACEX/SPACE.SKYROCKET.DE
Satelit Starlink yang akan menjadi satelit penyedia internet di seluruh penjuru Bumi. Starlink adalah perusahaan satelit milik SpaceX yang berambisi untuk membentuk megakonstelasi satelit yang terdiri atas 42.000 satelit Starlink. Saat ini, sudah ada 1.800-an satelit Starlink yang mengorbit di ketinggian 550 kilometer dari Bumi.
SpaceX bela siapa
Sebelum Starshield diumumkan, Indonesia telah mengadopsi teknologi Starlink sejak PT Telkomsat mendapatkan hak labuh satelit eksklusif dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam setahun terakhir. Telkomsat kemudian memanfaatkan jaringan Starlink, salah satunya, dalam Latihan Bersama (Latma) Garuda Shield-16 tahun 2022 yang melibatkan 14 negara, termasuk Amerika Serikat. Peserta latihan mengakui efektivitas sinyal Starlink di daerah latihan Amborawang yang selama ini dianggap sebagai blankspot jaringan telekomunikasi.
Kasus pemanfaatan Starlink oleh Ukraina dan Indonesia menjadi wujud kekuatan antariksa yang tidak hanya diperagakan oleh aktor negara, tetapi juga swasta. Meskipun demikian, keberpihakan SpaceX terhadap salah satu kubu dalam konflik antarnegara juga menunjukkan bahwa muatan politis dari kegiatan keantariksaan swasta sekalipun masih ada, bahkan menguat.
Pemilahan peruntukan antara Starlink dan Starshield bisa saja menjadi kabar baik bagi Indonesia yang hendak memanfaatkan teknologi Starlink untuk berbagai urusan.
Belum ada penjelasan rinci mengenai siapa saja yang bisa menikmati jasa Starshield, tetapi angkatan perang AS kemungkinan besar akan menjadi pelanggan utama. Starshield tidak hanya menyediakan layanan telekomunikasi, tetapi juga observasi Bumi dan muatan khusus. Pemanfaatan teknologi satelit militer yang sangat strategis dan sensitif ini tidak akan begitu saja dibiarkan tersebar ke negara lain.
Pemilahan peruntukan antara Starlink dan Starshield bisa saja menjadi kabar baik bagi Indonesia yang hendak memanfaatkan teknologi Starlink untuk berbagai urusan. Namun, ketergantungan kepada SpaceX sebagai perusahaan swasta asing perlu diwaspadai. Sangat mungkin bagi SpaceX untuk lebih membela negaranya saat berhadapan dengan negara lain.
TANGKAPAN LAYAR/STARLINK
Antena penangkap sinyal satelit Starlink. Pemasangan antena ini dirancang mudah dan bisa dilakukan siapa pun hingga mengurangi biaya pemasangan alat. Untuk menempatkan antena pun ada aplikasi yang bisa diunduh guna menentukan tempat terbaik memasang antena hingga bisa menerima sinyal dengan baik.
Siapa bela Indonesia
Pembelaan Sjafruddin Prawiranegara dan para pejuang di tanah Minangkabau terhadap Republik Indonesia adalah perjuangan berteknologi tinggi. PDRI sulit bertahan tanpa kemahiran mereka menggunakan radio di tengah belantara untuk menjaga keberadaan Republik di udara. Ini menunjukkan pentingnya penguasaan teknologi telekomunikasi di masa-masa pembentukan Indonesia sebagai negara.
Gagasan wawasan Nusantara pun pernah begitu pesat tersebar melalui antariksa sejak Satelit Palapa pertama kali diluncurkan pada 1976. Saat itu, Indonesia menjadi negara ketiga di dunia yang memiliki satelit domestik. Keberadaan dan pemanfaatan satelit ini menjadi penggambaran bahwa gugusan kepulauan Nusantara dapat dipersatukan.
Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (ORPA) BRIN tengah mengembangkan satelit konstelasi dengan armada sembilan satelit.
Wajar jika pentingnya telekomunikasi via udara dan antariksa menjadi salah satu esensi Konsepsi Kedirgantaraan Nasional yang disahkan dalam Kongres Pertama Kedirgantaraan Nasional pada 1998. Diprakarsai oleh Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional RI (Depanri) dan sejumlah lembaga lainnya, konsepsi ini disusun sebagai terjemahan langsung dari wawasan Nusantara untuk melihat lingkungan dirgantara dalam kerangka ketahanan nasional. Antariksa masuk sebagai wilayah kepentingan, sementara ruang udara menjadi wilayah kedaulatan.
Meski sudah berusia lebih dari dua dekade, asas-asas dalam konsepsi tersebut setidaknya memberikan tiga petunjuk dalam upaya bela negara melalui pemanfaatan antariksa yang akan datang.
Pertama, kemandirian sistem satelit nasional. Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (ORPA) BRIN tengah mengembangkan satelit konstelasi dengan armada sembilan satelit. Meski terbilang kecil apabila dibandingkan dengan armada Starlink yang mencapai ribuan, satelit konstelasi ini dirancang secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan Indonesia yang berada di khatulistiwa. Pengalaman sukses dalam pengembangan Lapan-A2/ORARI menjadi modal dasar sehingga secara teknis proyek ini sangat dapat dituntaskan.
Kedua, kebersamaan pihak pemerintah dan non-pemerintah dalam industri keantariksaan. Hampir semua negara telah melibatkan pihak-pihak swasta untuk menghidupkan industri antariksa masing-masing. Misalkan, India pada 2020 melakukan reformasi keantariksaan untuk menggencarkan tumbuhnya pemain swasta. Ini bisa menjadi contoh perubahan paradigma seiring momentum transformasi keantariksaan Indonesia yang tengah berlangsung.
Ketiga, kelembagaan keantariksaan yang kuat. Sejak pembubaran Depanri dan, kemudian, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), BRIN menjadi titik kunci koordinasi keantariksaan nasional. Namun, mekanisme koordinasi seperti Depanri sebaiknya diwujudkan kembali untuk mempercepat pembangunan dan mencegah penyelewengan. Kita patut mengapresiasi upaya Kejagung yang baru-baru ini menetapkan warga negara asing sebagai tersangka dalam kasus korupsi satelit di slot orbit 123 derajat, tetapi kelembagaan keantariksaan yang kuatlah yang dibutuhkan untuk mencegah kasus seperti ini terulang.
Perjuangan PDRI yang rela menjaga Republik ini menjadi pelajaran bahwa siapa pun di mana pun dapat turut andil dalam upaya bela negara. Tantangan kemajemukan dan kondisi geografis Nusantara tidak akan menjadi hambatan, malah menjadi peluang, jika dihadapi dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Pemanfaatan antariksa adalah salah satu sarananya dan kita semua berhak membela Indonesia dengannya.
Deden Habibi Ali Alfathimy, Mahasiswa Doktoral Politics and International Relations (Outer Space Policy), University of Leicester; Alumni Lemhannas-IUN, Ketahanan Nasional SKSG UI; Peneliti di BRIN