Kontroversi Megakonstelasi Satelit Starlink
Kehadiran megakonstelasi satelit Starlink memang memberi harapan baru atas akses internet cepat dan murah di seluruh muka Bumi. Namun, banyaknya jumlah satelit yang ada juga mengancam manusia dan Bumi.
Gagalnya 40 satelit Starlink mencapai orbit awal Februari lalu memunculkan kembali pro-kontra atas megakonstelasi satelit tersebut. Ancaman keamanan operasional satelit lain, pengamatan astronomi, hingga perubahan iklim ada di depan mata. Namun, solusi yang menguntungkan semua pihak belum dicapai.
Starlink adalah nama satelit dan perusahaan penyedia layanan internet berbasis satelit di Amerika Serikat. Perusahaan ini jadi bagian dari SpaceX, korporasi teknologi luar angkasa milik miliarder Elon Musk. Di Indonesia, produk usaha Musk yang sudah masuk dan dikenal publik adalah mobil Tesla.
Pada 3 Februari 2022, roket Falcon 9 milik SpaceX meluncurkan 49 satelit Starlink ke luar angkasa. Sehari kemudian, seperti dikutip dari Space, 9 Februari 2022, terjadi badai geomagnetik yang membuat 40 satelit gagal mencapai orbit di ketinggian 550 kilometer (km). Sepekan kemudian, sebagian satelit sudah masuk kembali ke atmosfer Bumi dan menimbulkan bola api di angkasa yang teramati di Puerto Riko, Kepulauan Karibia (Kompas, 12 Februari 2022).
Starlink didirikan dengan misi membangun jaringan internet berkecepatan tinggi dan murah yang bisa diakses dari mana pun di muka Bumi, khususnya wilayah terpencil, termasuk di tengah lautan sekalipun. Untuk mewujudkan mimpi itu, Starlink berharap mampu membangun megakonstelasi 42.000 satelit di orbit rendah Bumi.
Baca juga : Badai Magnetik Menghancurkan 40 Satelit Starlink
Sistem layanan internet berbasis satelit dipilih karena prosesnya lebih mudah, murah, dan cepat dibandingkan membangun kabel fiber optik. Selain itu, satelit bisa dibuat sendiri oleh perekayasa Starlink sehingga makin efisien dan tingkat kegagalannya rendah.
Starlink juga dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan SpaceX sehingga perusahaan tak perlu pusing mencari perusahaan peluncur dan roket yang akan digunakan. Peluncurannya bisa dilakukan sendiri atau ditumpangkan pada satelit pihak ketiga yang diluncurkan SpaceX.
Sejak diluncurkan pertama pada 23 Mei 2019 hingga awal Februari 2022, sudah ada 1.800-an satelit yang mengangkasa. Layanan internet pun sudah berjalan di 14 negara yang mengizinkan pengoperasian Starlink, seperti AS, Kanada, Belanda, Irlandia, Denmark, Australia, dan Selandia Baru.
Animo masyarakat pun tinggi meski layanan ini masih berupa versi beta. Dikutip dari CNET, 4 Februari 2022, Starlink mengklaim sudah ada 100.000 pelanggan yang memiliki antena untuk menangkap sinyal satelit Starlink. Mereka bisa menikmati layanan internet berkecepatan 50-150 megabit per detik dan latensi atau jeda waktu antara sinyal dikirim dan diterima mencapai 0,02-0,04 detik.
Besarnya antrean pengguna Starlink membuat khawatir industri penyedia layanan internet lain, baik yang berbasis satelit geostasioner di ketinggian 36.000 km maupun kabel fiber optik. Jarak yang lebih dekat ke Bumi membuat latensi layanan Starlink jauh lebih singkat dibandingkan internet dari satelit geostasioner. Sementara kemudahan pemasangan dan biaya yang relatif murah membuat perusahaan lain waswas dengan ekspansi Starlink.
Baca juga : Proyek Starlink dan Akhir Era Pembatasan Internet
Selain itu, seperti dikutip dari Forbes, 23 Februari 2021, Starlink juga dikembangkan Musk untuk mendukung mimpi besarnya mengolonisasi Mars. Starlink akan membantu SpaceX mendanai misi pembangunan pangkalan manusia di Mars. Megakonstelasi satelit yang sedang dibangun di Bumi diharapkan bisa pula dibangun di Mars nantinya saat makin banyak manusia menghuni planet merah tersebut.
Sandungan
Ambisi besar Starlink itu nyatanya langsung menemui sandungan. Beberapa hari setelah 60 satelit pertama diluncurkan, protes langsung muncul dari astronom. Starlink tertangkap oleh sejumlah teleskop astronomi dan menjadi obyek yang sangat terang, di luar dugaan astronom.
Persatuan Astronomi Internasional (IAU) pada Juni 2019 sudah menyatakan keprihatinannya. Rancangan megakonstelasi Starlink dikhawatirkan merusak infrastruktur astronomi, baik yang ada sekarang maupun di masa datang.
Himpunan Astronomi Amerika (ASS) pun sudah mengingatkan bahwa Starlink memicu polusi cahaya masif yang mengancam eksistensi langit gelap. Pantulan sinar Matahari yang dihasilkan Starlink mencapai 2-3 kali lebih besar dibandingkan yang dipantulkan wahana antariksa lain.
Tak hanya pengamatan visual astronomi, pengamatan astronomi pada gelombang radio juga terdampak oleh keberadaan Starlink. Interferensi alias tumpang tindihnya sinyal dari antena Starlink membuat pengamatan radio astronomi terganggu.
Keberadaan Starlink juga mengancam pengoperasin satelit lain yang ada di ketinggian orbit hampir sama. Badan Antariksa Eropa (ESA) pada September 2019 terpaksa harus memanuver satelit Aeolus miliknya guna menghindari tabrakan dengan satelit Starlink 44, satu dari 60 satelit pertama Starlink. Manuver dilakukan setelah militer AS mengingatkan adanya potensi tabrakan seperseribu sampai 10 kali lebih besar dari ambang aman.
Baca juga : Industri Satelit, Industri Masa Depan
Satelit Starlink menjadi sumber utama risiko tabrakan antarsatelit di orbit rendah. Pemodelan komputer yang dilakukan Kelompok Riset Astronautika Universitas Southhampton, Inggirs pada Agustus 2021 menunjukkan, setiap minggu, satelit Starlink bertemu dengan wahana antariksa lain dalam jarak kurang dari 1 km sebanyak 1.600 kali.
Alumina bisa menipiskan lapisan ozon hingga mengubah kemampuan atmosfer memantulkan panas Matahari.
Jumlah itu sekitar 50 persen dari seluruh kejadian pertemuan dua obyek dalam jarak dekat. Kondisi itu akan meningkatkan risiko tabrakan antarsatelit. Risiko itu dipastikan akan semakin besar seiring meningkatnya jumlah satelit Starlink di orbit. Kehadiran Starlink sebagai operator satelit baru di orbit rendah nyatanya harus membuat operator satelit lain lebih memperhatikan keselamatan satelitnya.
Kehadiran Starlink juga dikhawatirkan memengaruhi keseimbangan iklim Bumi. Salah satu keunggulan satelit orbit rendah adalah dia akan mudah masuk kembali dan terbakar di atmosfer Bumi saat masa operasionalnya selesai, tidak menambah jumlah puing atau sampah antariksa.
Namun, banyaknya satelit yang terbakar di atmosfer atas Bumi adalah persoalan baru karena bisa mengubah komposisi kimia atmosfer. Terlebih, SpaceX sudah berencana untuk terus memperbaharui satelitnya setiap lima tahun sekali.
Terbakarnya satelit akan mengubah alumunium, bahan utama satelit, menjadi alumunium oksida atau alumina. Repotnya, senyawa ini bisa bertahan di atmosfer selamanya. Alumina bisa menipiskan lapisan ozon hingga mengubah kemampuan atmosfer memantulkan panas Matahari.
Aaron Boley dalam Scientific Reports, Mei 2021 mengatakan jumlah satelit yang terbakar di atmsofer atas saat ini sebenarnya lebih sedikit dibanding jumlah meteoroid (batuan bahan meteor) yang terbakar. Namun, meteoroid yang terbekar adalah batuan alami yang tersusun atas oksigen, magnesium, dan silikon, sedang kandungan alumuniumnya hanya 1 persen.
Jika pembakaran satelit itu terus berlangsung, maka konsentrasi senyawa alumina akan semakin meningkat. Kondisi ini akan terjadi tak terkendali hingga akhirnya bisa mengubah iklim Bumi dan memicu perubahan iklim.
Meski SpaceX sudah menyatakan komitmennya untuk bekerja sama dengan organisasi dan badan antariksa dunia tentang dampak satelit Starlink miliknya, namun proses pengiriman satelit baru Starlink terus berlangsung. Pembenahan yang dilakukan Starlink, misal dengan memberi pelindung khusus hingga satelit tidak memantulkan sinar Matahari terlalu banyak, belum membuahkan hasil dan masih dianggap astronom terlalu terang.
Kini saatnya pempimpin dunia segera mengambil tindakan. Menjamin akses internet yang adil bagi semua penduduk Bumi memang penting. Namun, menjaga langit gelap yang telah menjadi sumber inspirasi bagi peradaban manusia juga penting. Penduduk Bumi yang akan datang tetap berhak menikmati indahnya langit malam yang bertabur bintang gemintang.