Kekerasan atas nama agama tidak bisa dihadapi semata-mata dengan pendekatan keamanan. Perlu pendekatan yang bersifat ide dan gagasan. Moderasi beragama adalah model tafsir keagamaan yang dianggap tepat.
Oleh
ULIL ABSHAR ABDALLA
·3 menit baca
Gagasan dan inisiatif Kementerian Agama untuk mengampanyekan secara masif ide tentang “moderasiberagama” patut diacungi jempol. Bagi saya, ini adalah salah satu respons yang tepat atas gejala meruyaknya ekstremisme dan kekerasan atas nama agama yang muncul sejak awal reformasi kita pada tahun 2000-an.
Kekerasan atas nama agama tidak bisa dihadapi semata-mata dengan pendekatan keamanan. Perlu pendekatan yang bersifat ide dan gagasan. Moderasi beragama adalah model tafsir keagamaan yang dianggap tepat sebagai “narasi bandingan” terhadap narasi-narasi yang menjustifikasi penggunaan kekerasan atas nama agama.
Pada 2019, Kementerian Agama telah mengeluarkan dokumen resmi berjudul Moderasi Beragama untuk memberikan definisi dan batasan terhadap moderasi beragama. Saat ini, moderasi beragama sudah menjadi semacam politik keagamaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk menangkal ekstremisme dan radikalisme agama. Saya memandang politik “moderasi beragama” ini sebagai komponen penting dalam menjaga dan melakukan konsolidasi atas demokrasi.
Demokrasi jelas tidak bisa dirawat semata-mata melalui langkah-langkah prosedural seperti penyelenggaraan pemilu, penguatan lembaga-lembaga politik seperti partai, dan penegakan hukum. Ada aspek-aspek lain yang bersifat kultural yang harus juga diperkuat, misalnya penguatan narasi dan pemahaman keagamaan yang cocok dengan ide demokrasi. Moderasi beragama adalah salah satu cara merawat demokrasi dari sudut kultural itu.
Dalam esai pendek ini, saya akan mencoba menelusuri sumber-sumber gagasan yang membentuk moderasi beragama. Apa yang disebut “moderasi beragama” sebagai gagasan tidaklah lahir dari ruang sosial-kultural yang kosong. Ia memiliki “silsilah” dan genealogi. Dalam seluruh percakapan tentang moderasi beragama sejauh ini, aspek genealogi ini kurang banyak diungkap, padahal amat penting.
Dari mana “sanad gagasan” moderasi beragama ini?
Dari segi genealogi, ada tiga sumber gagasan bagi moderasi beragama. Pertama adalah gagasan-gagasan yang bersumber dari lingkungan Nahdlatul Ulama. Yang kedua, gagasan-gagasan yang bersumber dari Muhammadiyah. Dan terakhir, dan tak kalah penting, ialah gagasan-gagasan yang bersumber dari pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh reformis seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dll. Inilah tiga sumber gagasan yang membentuk wacana “moderasi beragama” sebagaimana dirumuskan oleh Kemenag.
Dalam buku Moderasi Beragama terbitan Kemenag, kredit ini tampaknya kurang ditonjolkan. Sumbangan penting dari Nahdlatul Ulama bisa diringkaskan dalam tiga gagasan penting: (1) penerimaan Pancasila dan negara nasional Indonesia (NKRI) sebagai bentuk kenegaraan final yang absah dan tidak bertentangan dengan akidah Islam; (2) tiadanya pertentangan antara komitmen keagamaan dan komitmen nasional; dan (3) pribumisasi Islam seperti digagas dulu oleh Gus Dur.
Tentu saja ada gagasan-gagasan lain dari kalangan NU yang memberikan sumbangan dalam formasi gagasan moderasi beragama. Tetapi, saya melihat, tiga gagasan itulah yang paling penting.
Dari kalangan Muhammadiyah, salah satu gagasan penting adalah aspirasi atas kemodernan dan kemajuan yang, pada gilirannya, mengharuskan adanya re-interpretasi atas ajaran-ajaran Islam begitu rupa sehingga cocok dengan perkembangan zaman. Gagasan-gagasan progresif kalangan anak-anak muda Muhammadiyah jelas ikut membentuk wacana moderasi beragama.
Sumber lain yang membentuk wacana moderasi beragama adalah gagasan-gagasan pembaharuan Islam yang pernah dikemukakan oleh Cak Nur dkk. Sebagian besar para intelektual yang merumuskan wacana moderasi beragama adalah sarjana-sarjana IAIN/UIN yang merupakan “murid-murid gagasan” dari sosok-sosok seperti Cak Nur dkk. Gagasan para intelektual Muslim reformis tentang Islam yang inklusif dan pluralis jelas sangat mempengaruhi rumusan moderasi beragama yang disusun oleh kawan-kawan di Kemenag.
Sementara itu, istilah “moderasi”, tak bisa ditutup-tutupi, berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama. Dalam salah satu rumusan Kembali ke Khittah yang dikeluarkan oleh NU pada 1984, kiai-kiai NU telah merumuskan pola keberagamaan yang dianggap ideal: yaitu keberagamaan yang tawassut (tengah-tengah), i’tidal (tegak di tengah), tawazun (berimbang), serta tasamuh (toleran).
Dengan mengetahui genealogi dan silsilah gagasan moderasi beragama ini, kita tentu bisa lebih baik dalam memahami wacana ini, baik kelebihan maupun kekurangannya.