Meskipun PkM punya makna filosofis mendalam dan telah menjadi instrumen strategis implementasi kebijakan pemerintah, prioritas pengembangan pendidikan tinggi selama ini bukanlah dharma PkM. Sebaliknya kian terpinggirkan.
Oleh
AGUS SUWIGNYO
·4 menit baca
Akhir-akhir ini beredar berita negatif tentang program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Di media sosial, mahasiswa dari dua perguruan tinggi (PT) negeri terbesar di negeri ini saling mengejek tentang kegunaan KKN.
Di Sumatera Barat, para mahasiswa diusir dari desa tempat mereka menjalankan KKN. Mereka membuat penduduk tersinggung karena sindiran mereka tentang minimnya fasilitas. Di Jawa Tengah, rektor sebuah PT menunda penerjunan mahasiswa KKN karena pemerintah kelurahan yang dituju meminta pihak kampus membayar.
Peristiwa-peristiwa itu memunculkan perdebatan lama tentang mengapa PT di Indonesia harus mengemban misi selain pengajaran dan penelitian, yaitu pengabdian kepada masyarakat (PkM). Keprihatinan tentang masa depan dharma ketiga PT menjadi penting untuk diangkat kembali.
Sejarah PkM sangat berkaitan dengan gagasan para pendiri bangsa untuk membangun pendidikan tinggi khas Indonesia yang merakyat, lepas dari bayang-bayang pendidikan kolonial yang elitis. PkM merupakan cara dekolonisasi. Ia sarana ”membayar utang kepada rakyat” dan wujud tanggung jawab sosial kaum terdidik (Suwignyo, 2023). Upaya mengontekstualkan kerja akademik itu telah dilakukan sejak awal Indonesia merdeka (Sardjito, 1951).
Program-program PkM, khususnya KKN, jadi mitra strategis pemerintah dalam pembangunan. Melalui PkM, Presiden Soekarno melakukan mobilisasi mahasiswa untuk pembebasan Irian Barat tahun 1963. Melalui PkM pula, Presiden Soeharto mewujudkan program satu juta hektar padi untuk swasembada pangan tahun 1980-an.
PkM menyeimbangkan karakter ”menara gading” PT, dan menegaskan bahwa PT di Indonesia bukan hadiah dari raja sebagaimana di Eropa, melainkan tumbuh dari jantung perjuangan rakyat. Sinergi dharma PkM, pengajaran dan penelitian menggambarkan trisula kemitraan (triple helix) dalam pengelolaan PT yang khas Indonesia.
Hal ini menyandingi konsep triple helix ala negara-negara industrialis Barat, yang meliputi unsur PT, pemerintah dan entitas bisnis (Leydesdorff, 2012).
Terpinggirkan
Meskipun PkM menggendong makna filosofis sangat mendalam dan telah menjadi instrumen strategis implementasi kebijakan pemerintah, prioritas pengembangan pendidikan tinggi selama ini bukanlah dharma PkM. Dalam praktik pengelolaan PT, dharma PkM justru terpinggirkan secara sistematis.
Telah lama para dosen mengeluhkan kebijakan yang menempatkan dharma PkM hanya sebagai tambahan dalam pengukuran indikator kinerja. Dalam proses kenaikan jabatan akademik, misalnya, kinerja bidang PkM hanya dihargai maksimal 10 persen dari total nilai yang dibutuhkan, sedangkan pengajaran dan penelitian masing- masing sekitar 40 persen.
Selama ini statuta dan rumusan misi PT selalu mencantumkan keinginan menjadi ”universitas riset berkelas dunia” (world-class research university) atau ”universitas kepengajaran berkelas dunia” (world-class teaching university). Namun, tak satu PT pun yang berani menyatakan misinya ”menjadi universitas pengabdian masyarakat”.
Keinginan untuk meraih status universitas berkelas dunia sering disandarkan hanya pada kinerja penelitian dan pengajaran. Padahal, tahun 1970-an dan 1980-an banyak ilmuwan Indonesia dikenal dan dihormati di panggung internasional justru karena program-program PkM yang mereka kembangkan.
Ketika itu, kita mengenal beberapa sebutan setengah canda, tetapi bermuatan rasa hormat mendalam. Misal, ’profesor kecap’, yang ahli budidaya kedelai hitam sebagai bahan dasar kecap. Juga ’profesor alas (hutan)’, ahli vegetasi yang bersama masyarakat menghutankan wilayah Gunung Kidul yang tandus.
Kegagalan menyikapi
Pementasan Sendratari Ramayana di pelataran Candi Prambanan jadi sangat dikenal di dunia internasional berkat pengabdian tiada henti sejumlah guru besar bidang kebudayaan Jawa. Salah satunya kemudian mendapatkan anugerah Fukuoka City Prize. Semua itu tanpa dilandasi embel-embel internasionalisasi atau ”world- class university”.
Terpinggirkannya PkM juga disebabkan oleh kegagalan menyikapi secara seimbang transformasi digital yang mendorong perubahan paradigma PT.
Prioritas pemeringkatan global menghabiskan banyak anggaran yang ironisnya justru kian meminggirkan PkM sebagai identitas pendidikan tinggi Indonesia.
Selama 20 tahun terakhir, banyak agensi konsultan pendidikan mengembangkan indikator kinerja PT yang distandardisasi secara global (Høstmark-Tarrou, 1999). Hasil pengukuran skema global itu kemudian dipakai untuk menetapkan peringkat PT di seluruh dunia (O’Leary, 2004).
Indikator-indikator global itu bersifat ambivalen (Soh Kaycheng, 2017) dan cenderung ”tidak ramah” terhadap PT di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia (Trinczek dan West, 1999). Tak satu pun skema global indikator kinerja PT itu memasukkan unsur PkM dalam penilaiannya.
Namun, celakanya, tanpa analisis mendalam tentang filosofi, tujuan dan fungsi pendidikan tinggi di negeri ini, Pemerintah Indonesia begitu saja terpancing untuk memacu peningkatan peringkat PT dengan mengikuti indikator agensi- agensi global itu (Suryasumirat, 2019).
Pada 2019, pemerintah bahkan mengalokasikan anggaran hingga Rp 10 triliun untuk mendorong PT Indonesia masuk jajaran 500 terbaik dunia. Prioritas pemeringkatan global menghabiskan banyak anggaran yang ironisnya justru kian meminggirkan PkM sebagai identitas pendidikan tinggi Indonesia. Sebagai sebuah keniscayaan kemajuan, transformasi digital seharusnya dimanfaatkan untuk menggaungkan program PkM di dunia internasional. Bukan malah mengabaikannya.
Agus SuwignyoPedagog cum Sejarawan, Universitas Gadjah Mada