Ibadah Haji dan Politik
Bagi yang sudah melaksanakan ibadah haji, sejatinya tidak perlu lagi pergi untuk yang kedua, ketiga, dan seterusnya, Ibadah haji lebih dari sekali tidak dianjurkan karena akan mengurangi kuota bagi yang belum berhaji.
”Borok-borok kelakuan seseorang atau kelompok orang, betapa pun dibungkus rapi, pasti suatu saat akan ketahuan.”
Ahmad Syafii Maarif
(Kompas, 9/7/2011)
Haji adalah ibadah mulia menuju Allah. Wafat di Tanah Suci saat menunaikan ibadah haji dianggap sebagai ujung perjalanan yang mulia.
Ibadah haji, kata Ali Shariati (1978), mencerminkan kepulangan menuju Allah yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan, yang tidak diserupai oleh apa pun.
Pada musim haji tahun ini, banyak politisi beramai-ramai pergi menunaikan ibadah haji bersama 209.782 anggota jemaah yang lain, termasuk para bakal calon presiden dan calon wakil presiden.
Kita doakan ibadah haji mereka diterima Allah SWT dan dinyatakan lulus sebagai haji mabrur, yakni haji yang dianggap sah dari segi syarat dan rukunnya dan berdampak positif-konstruktif bagi kemanusiaan saat kembali ke Tanah Air.
Bagi yang sudah melaksanakan ibadah haji, sejatinya tidak perlu lagi pergi untuk yang kedua, ketiga, dan seterusnya, karena ibadah haji itu wajib hanya untuk satu kali seumur hidup. Menurut riwayat yang sahih, Nabi Muhammad SAW pun sepanjang hidupnya hanya sekali menunaikan ibadah haji.
Dalam konteks Indonesia, ibadah haji lebih dari sekali tidak dianjurkan karena akan mengurangi kuota bagi mereka yang belum melaksanakannya, yang harus antre hingga puluhan tahun lamanya.
Dalam konteks Indonesia, ibadah haji lebih dari sekali tidak dianjurkan karena akan mengurangi kuota bagi mereka yang belum melaksanakannya, yang harus antre hingga puluhan tahun lamanya. Menurut KH Ali Mustafa Yaqub, haji yang lebih dari satu kali haram hukumnya dan bahkan termasuk perbuatan zalim.
Sayang, pendapat Imam Besar Masjid Istiqlal yang wafat 28 April 2016 tersebut tak populer dan diabaikan mereka yang gemar menunaikan ibadah haji.
Dampak politis haji
Dalam masyarakat Indonesia, agama menjadi aspek yang sangat penting. Politisi yang taat beragama akan memiliki nilai plus, dianggap lebih baik ketimbang yang tidak taat beragama. Maka jangan heran jika ada orang yang pernah bersalah, untuk menghapus kesalahannya dengan bertobat (memohon ampun kepada Allah) alih-alih meminta maaf kepada sesama manusia yang telah dirugikan karena kesalahannya.
Haji (juga umrah) adalah ibadah yang kerap dianggap tepat untuk bertobat karena di dalam ibadah haji ada momen yang diyakini bisa meluruhkan semua dosa, di samping adanya keyakinan terkabulnya semua doa yang dipanjatkan di depan Kabah atau di Padang Arafah. Oleh karena itu, kita bisa memahami jika ada koruptor yang menunaikan ibadah haji dan umrah berkali-kali.
Padahal, seperti kata Buya Syafii, betapa pun dibungkus rapi (termasuk dibungkus dengan agama), borok itu suatu saat pasti akan ketahuan.
Politisi yang menunaikan ibadah haji memang tak bisa kita tuduh sebagai haji politis dalam pengertian negatif. Ibadah haji dilakukan untuk Tuhan dan hanya Tuhan yang bisa menilainya. Kita hanya bisa menduga-duga. Tetapi bahwa ibadah haji punya dampak politis adalah fakta tak bisa dibantah.
Dalam konteks sejarah Indonesia, dampak politis haji bisa dilacak sejak zaman kolonial Belanda. Di antara yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda dari penduduk pribumi adalah meningkatnya jumlah jemaah haji. Anggapan umum masyarakat Belanda, ibadah haji ke Mekkah hanya akan menyebabkan ”ribuan jemaah yang damai menjadi pemberontak yang fanatik” (Benda, 1972: 86).
Bahkan, menurut penelitian Aqib Suminto (1991), ada suara parlemen Belanda yang mengatakan bahwa ”melarang ibadah haji lebih baik dari menembak mati mereka”. Oleh karena itu, tidak heran kalau kemudian pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1872 membuka konsulat di Jeddah yang antara lain bertugas memantau segala gerak-gerik pribumi di Tanah Suci, terutama jemaah haji.
Penasihat politik kolonial Belanda, Snouck Hurgronje, pernah menyarankan pemerintah untuk melarang ibadah haji ke Mekkah yang disebutnya sebagai kota suci yang menjadi jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara yang ”setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh urat nadi masyarakat Islam Indonesia”.
Untuk memperkuat pendapatnya, ia ungkap beberapa fakta, seperti adanya Perang Padri (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), pemberontakan Banten (1888), dan Perang Aceh (1873-1903). Kata Snouck, semua itu karena banyak tokoh pribumi yang baru kembali dari Tanah Suci dan berkenalan dengan semangat Pan Islamisme.
Baca juga : Snouck Hurgronje dan Kisah Menjinakkan Hindia Belanda
Era Nabi Muhammad SAW
Di periode awal kemunculan Islam, tepatnya tahun ke-6 Hijrah, Nabi beserta sahabatnya bermaksud melaksanakan ibadah haji. Rombongan haji pertama ini berhenti di Hudaibiyah untuk memulai ihram, tapi gagal, tak dilanjutkan karena para musuh Nabi yang kala itu masih menguasai Mekkah menganggap haji Nabi bersifat politis.
Ketegangan pun terjadi dan berakhir dengan shulh al-Hudaibiyyah (perjanjian Hudaibiyah) yang di antaranya berisi Nabi boleh kembali melakukan ibadah haji tahun berikutnya.
Sesuai isi perjanjian, tahun berikutnya (ke-7 H) Nabi SAW beserta para sahabat kembali menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh menuju Mekkah membuat para sahabat kelelahan. Kondisi semacam itu kurang menguntungkan bagi ”harga politik” umat Islam di mata musuh-musuh Nabi dari suku Quraish Mekkah. Maka, ketika tawaf dan sai, Nabi menganjurkan para sahabat lari-lari kecil sebagai show of force bahwa meski usai perjalanan jauh, umat Islam masih cukup memiliki kekuatan dan daya tahan.
Politik konstruktif
Penulis sama sekali tak menaruh suuzan (buruk sangka) terhadap kemungkinan adanya unsur politis dalam ibadah haji para politisi. Kalaupun benar ada, semoga dalam arti positif konstruktif sebagaimana dicontohkan Nabi dan para sahabat.
Dalam sejarah umat Islam Indonesia kontemporer, ada saat umat Islam ragu-ragu menunaikan ibadah haji karena takut dituduh fanatik atau fundamentalis. Tetapi, setelah Soeharto dan Try Sutrisno (waktu itu presiden dan wapres) menunaikan ibadah haji, dampak politisnya besar sekali. Setiap tahun ada rombongan haji khusus dari Istana Negara dengan melibatkan para menteri.
Haji bagi umat Islam wajib hukumnya bagi yang mampu. Para pejabat, di mata masyarakat, adalah orang-orang yang mampu melaksanakan ibadah haji. Bagi yang mampu tetapi belum melaksanakan ibadah haji bisa dianggap aib, tak taat beragama. Maka gelar haji menjadi persyaratan ”tidak resmi” yang harus dicantumkan di depan nama para pejabat. Mungkin karena alasan inilah banyak politisi yang pergi ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji.
Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif Maarif Institute