Snouck Hurgronje dan Kisah Menjinakkan Hindia Belanda
Menjinakkan Hindia Belanda menjadi salah tantangan Snouck Hrugronje. Pengalamannya hidup di Mekkah dan mengamati jemaah haji Jawa (Hindia Belanda) memberi pengayaan untuk mencermati dinamika di Hindia Belanda.
Judul: Snouck, Biografi Ilmuwan Christiaan Snouck Hurgronje
Penulis: Wim van den Doel
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia–Universitas Leiden–KITLV Jakarta
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Tebal: xv+553 hlm
ISBN: 978-623-321-217-5
Christiaan Snouck Hurgronje menjadi pengkaji Indonesia yang menonjol. Pengaruhnya sampai sekarang masih terasakan. Ia dikenal sebagai pakar kajian Islam dan etnografer. Karya adiluhungnya, De Atjehhers, merupakan studi komprehensif bukan hanya dari sudut pandang etnografi tentang Aceh, melainkan juga melintas hingga sisi lain soal Aceh dan relasinya.
Otoritas pribadi Snouck Hurgronje dalam kajian Islam diakui melalui kekhidmatannya mengkaji Islam menggunakan pendekatan kritis historisnya. Dari jalan sejarah bisa mengungkap aspek-aspek terkait perkembangan Islam pada dimensi hukum Islam, politik, dan sosial. Upaya itu ia lakukan saat menulis disertasi mengenai ritual ibadah haji, Het Mekkaansche feest (Perayaan Mekkah) yang diselesaikan ketika Snouck berusia 23 tahun.
Dari pembacaan kritis sejarah, Snouck berkesimpulan bahwa ritual ibadah haji dibuat oleh Ibrahim (Abraham) dan dalam berjalannya waktu mengalami perubahan (hlm 22). Sumber-sumber yang diungkapkan selain Al Quran juga penulis-penulis Arab di abad-abad pertama munculnya Nabi Muhammad.
Tak banyak diketahui secara menyeluruh kehidupan Snouck, kecuali soal karya-karyanya yang memperoleh banyak tanggapan. Sebut saja tulisan Harry J Benda yang menelaah kontribusi pemikiran Snouck dalam kebijakan Islam oleh Belanda di Hindia Belanda (lihat Christiaan Snouck Hrugronje and the Foundation of Dutch Islamic Policy in Indonesia, 1972) atau kajian Kevin W Fogg yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (Mencari Arab, Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck Hugronye tentang Hindia Belanda, 2017). Namun, banyak hal yang bersifat personal tentangnya yang belum diketahui publik. Sebab, sebagaimana dikatakan dalam pengantar buku ini, sejarawan Taufik Abdullah mengingatkan soal kehidupan Snouck dengan sisi terang dan gelapnya (hlm xv).
Buku biografi pemikiran yang ditulis guru besar sejarah pada beberapa Universitas di Belanda, seperti Universitas Leiden, Universitas Rotterdam, dan Technische Hogeschool Delft, ini mengungkapkan genealogi pemikiran, jejaring intelektual, serta para mentor yang memengaruhi jalan akademisnya kelak. Kecintaannya kepada sang Ibu serta deskripsi soal Snouck hidup di tanah Hijaz sekaligus menyaru sebagai Muslim bernama Abdul Ghaffar sampai akhir kehidupannya pun diungkap.
Menghidupkan kembali jejak kehidupan Snouck tidak hanya menelusuri bibliografi karya-karyanya. Namun, juga dari sumber-sumber arsip kolonial serta korespondensi Snouck dengan rekan sejawatnya. Maka, tidak mengherankan karya Wim ini menjadi publikasi yang ditulis dengan pendekatan sejarah.
Wim van den Doel memfokuskan periodisasi kehidupan Snouck melalui babakan tahun kehidupan yang dikaitkan dengan dinamika perkembangan pemikirannya.
Dari Leiden
Wim van den Doel memfokuskan periodisasi kehidupan Snouck melalui babakan tahun kehidupan yang dikaitkan dengan dinamika perkembangan pemikirannya.
Christiaan Snouck Hurgronje, demikian nama lengkapnya, dilahirkan dari pasangan Jacob Julianus dan Anna Maria De Visser. Snouck lahir pada Minggu, 8 Februari 1857, di kota Oosterhout, Provinsi Noord Brabant. Keluarga dari garis keturunan ayahnya seorang terpelajar dan dikenal sebagai teolog serta pendeta (hlm 1).
Studi setingkat SMA ditempuh Snouck di lembaga Rijks Hoger Burger School (RHBS) di Breda. Lulus dari RHBS, ia mempersiapkan jenjang pendidikan di Universitas Leiden. Untuk persiapan ke Leiden, Snouck berkonsultasi dengan Abraham Kuenen, teolog dan peneliti Alkitab. Snouck menjadi salah satu dari 62 orang yang dinyatakan lulus untuk studi di Universiutas Leiden.
Di Leiden inilah jaring-jaring intelektual Snouck berkembang. Bersama dengan teman kuliahnya, Herman Bavinck, Snouck mereguk dunia akademisi. Kala itu, Leiden dikenal sebagai pusat studi teologi modern di bawah pengaruh Jan Hendrik Scholten, teolog yang merumuskan dasar kajian teologi modern yang mengeliminasi pandangan adikodrati, analisis metode kritik historis, menerima pandangan ilmu Alkitab dan kajian pengetahuan alam. Pada pusat studi Leiden ini pula Snouck menemukan mentor yang makin mengasah kemampuannya mengkaji Islam dan kebudayaan Semit. Ia bernama Michael De Goeje. Kuliah yang disampaikan De Goeje menjadi inspirasi bagi Snouck memantapkan pilihan sebagai intelektual (hlm 15).
Atas saran De Goeje, Snouck mengikuti ujian kandidat doktor dalam kesusastraan Semit dan lulus pada 21 September 1878. Hubungan dengan De Goeje berlanjut saat meneruskan studi. De Goeje pun menyodorkan usulan melanjutkan tema kajian disertasi Reinhart Dozy, Guru Besar Sejarah Umum di Universitas Leiden, De Israelieten to Mekka yang dipublikasi pada 1864. Snouck pun menyelesaikan disertasi doktoralnya yang mengetengahkan ritual ibadah haji di Mekkah, Het Mekkaansche feest pada usia 23 tahun!
Nama Snouck Hurgronje memikat Konsul Jenderal Belanda di Jeddah Johannes Adrianus Kruijt untuk membantunya. Kruijt menyampaikan bahwa pelaksanaan ibadah haji oleh jemaah haji Hindia Belanda dengan jemaah lainnya berdampak pada dinamika perkembangan politik di Hindia Belanda (hlm 44-45).
Hikayat Snouck Hrugronje saat melawat tanah Hijaz dari 1884 hingga 1885 inilah yang disebut sebagai prestasi terbesar dalam akademiknya. Setiba di Jeddah, 24 Agustus 1884, Snouck meneruskan risetnya tentang dunia Islam sekaligus membantu pekerjaan Kruijt di Konsul Jenderal Jeddah.
Melalui Raden Aboe Bakar Djajadiningrat, saudara Bupati Pandeglang yang sudah bermukim di Mekkah selama lima tahun, Snouck membuka jaringan di Mekkah. Ada nama Habib Abdurrahman al Zahir, veteran Perang Aceh dari Yaman yang beroleh pengampunan dan memperoleh pensiun 10.000 mata uang Spanyol setahun (hlm 51). Patut pula disebut Sayid Jaffar, Sayid Salim al Qadri serta mufti mazhab Syafii, Ahmad ibn Zayn Dahlan.
Layaknya seorang Muslim, Snouck melalukan ritual haji, seperti tawaf pembukaan, setiba di Mekkah.
Snouck menyaru sebagai Muslim dengan identitas sebagai Abdul Gaffar. Wim tidak mengungkapkan soal ini. Namun, dari data Kevin W Fogg yang mengutip Von Koenigswald, Snouck menyatakan sebagai mualaf dengan mengucap dua kalimat syahadat pada 16 Januari 1885 di Jeddah, sekaligus mengenakan simbol atribut pakaian jubah ala Arab.
Tudingan keterlibatan pembunuhan yang menimpa orientalis Perancis, Charles Huber, menjadikan Snouck meninggalkan Hijaz pada 19 September 1855 (hlm 66-69). Ia kembali ke Leiden dan mengajar di Institut Pendidikan Pegawai Pemerintahan di Hindia Belanda, sebelum ia memutuskan ke Hindia Belanda yang memikatnya lewat kabar di media massa.
Baca juga : Christiaan Snouck Hurgronje, Sosok yang Dikagumi Sekaligus Dibenci
Hindia Belanda
Snouck tiba di Hindia Belanda kala Perang Aceh masih bergolak. Umat Islam juga tengah bergerak dinamis. Pada 28 Maret 1889, Snouck berangkat dari Leiden berlayar menuju Hindia Belanda, koloni Belanda yang kelak mengantarkannya menjadi Penasihat Urusan Bumiputera dan Arab.
Menjinakkan Hindia Belanda menjadi salah tantangan Snouck Hrugronje. Pengalamannya hidup di Mekkah dan mengamati jemaah haji Jawa (Hindia Belanda) memberi pengayaan untuk mencermati dinamika di Hindia Belanda.
Snouck pergi ke Aceh sebanyak tujuh kali dalam total waktu 44 bulan (Von Koenigswald, 1989). Kajiannya mengenai Aceh adalah bukti keseriusan Snouck. Tidak hanya di Aceh, di Jawa pun Snouck juga menjalin relasi. Salah satunya dengan ulama Sayid Usman. Di Jawa, Snouck melakukan perjalanan keliling Jawa dari Batavia-Weltevreden ke Buitenzorg (Bogor) lalu Sukabumi, Garut menuju Galuh (Ciamis), Cirebon, Tegal, Pekalongan, Purbalingga, Kebumen, Purworejo, Banyumas, dan Wonosobo (hlm 108).
Terkait strategi soal menjinakkan Hindia Belanda, Snouck menyarankan penerapan politik asosiasi bagi elite Indonesia, menghidupkan kembali pengaruh kelompok tradisional dan hukum adat setempat bersanding dengan hukum Islam dan pemisahan kaum ulama, meniadakan ruang politik dalam domain kehidupan beragama (Islam).
Membaca karya Wim tentang Snouck Hurgronje tidak hanya membaca kisah cemerlang seorang intelektual yang memengaruhi narasi sejarah di Indonesia, tetapi juga kisah anak manusia yang memiliki kelemahan. Hal itu ditunjukkan Wim di bagian akhir soal Snouck yang dikutip dari pakar sosiologi WF Wertheim yang menyebut Snouck sebagai tinggi hati, tidak memiliki simpati terhadap rakyat biasa, dan menyebut tugas Snouck pada pemerintah kolonial menghasilkan penindasan terhadap rakyat Aceh (hlm 522).
Menjangkau pribadi Snouck pada akhirnya ungkapan pidato Johannes Peddersen merefleksikan sentuhan: It appears from his conversation that Islam could not be his ideal. But his human sympathy included the Moslem peoples and respected the religion, which gave their lives meaning (hlm 520).
WIJANARTO, Penulis; Bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Brebes