Bak Panji memimpikan kekasihnya, Made dan Gabriel mencita-citakan terbangunnya jembatan kultural antara budaya Barat dan budaya Indonesia.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Apakah karya besar atau mitos suatu budaya tertentu dapat diresapi dan dikembangkan oleh ”pendatang kultural”, yaitu oleh orang yang pada galibnya tidak mengenal atau tidak sepenuhnya mengilhami kode-kode kebudayaan yang berangkutan?
Konon, di sana, di Amerika Serikat dan Eropa, terdapat kritikan pedas di kalangan tertentu terhadap apa yang disebut sebagai ”apropriasi kultural” yang dilakukan oleh orang Barat terhadap karya atau mitos tersebut.
Di dalam batasan tertentu sikap ini bisa dipahami, sejauh mana universalisme yang hadir secara tersirat di dalam apropriasi itu kerap diartikan sebagai asimilasi post-imperialis ke dalam kerangka kultural Barat. Direduksi menjadi ikon yang diperdagangkan. Namun, ini pendapat pribadi saya, intervensi sang ”pendatang kultural” dapat juga berarti perluasan makna karya besar atas mitos yang bersangkutan. Bukankah sejarah memang juga mengenal fenomena transmisi kultural yang tidak reduktif.
Maka jangan kita kaget bila mendengar bahwa karya besar seperti Mahabharata pernah diinterpretasi dengan pisau tafsir analitis seorang Peter Brook dan dipentaskan di seluruh dunia. Lebih-lebih bisa para pembaca mengingat pementasan La Galigo versi Robert Wilson dan Yayasan Purnati pada tahuh 2019 di Ciputra Artpreneur. Lengkap dengan pengelanaan musafir laut tokoh-tokoh yang diliputi oleh ambiguitas suasana seksual inses.
Kini, yang dijadikan topik tafsir ulang dengan intervensi ”pendatang budaya” adalah kisah Panji di dalam adegan Candra Kirana. Pementasannya akan diselenggarakan di Taman Budaya Denpasar pada tanggal 12 Juli 2023.
Menariknya, pertunjukan ini merupakan hasil kolaborasi jangka panjang antara seorang musikus Bali, I Made Wardana, dan seorang musikus Belgia-Perancis, Gabriel Laufer, yang memulai kolaborasinya 20 tahun yang lalu. Ketika itu Made menjadi pemimpin gamelan Kedutaan RI di Brussels. Gabriel menjadi ”murid” gamelannya.
Bermula dari kedua seniman ini menyutradarai karya La Princesse de Babylone (Putri Babilonia) karangan Voltaire (1768). Tafsir mereka, yang sarat pengaruh Bali itu, mendapatkan penghargaan ”Karya pentas terbaik tahun 2003” di Belgia.
Kini, duo Made-Gabriel berkolaborasi kembali dalam menyutradarai tari/opera yang baru. Namun, kali ini bukan karya tulis pengarang besar masa Pencerahan Perancis yang ditafsir kembali, melainkan mitos sang pengelana Panji, sebagaimana hadir di dalam cerita Panji Semirang.
Cerita Panji adalah suatu siklus cerita yang bertempat di wilayah Jawa Timur pada zaman Majapahit. Seperti halnya La Galigo, cerita ini berkisar di seputar tema ”pengelanaan” hidup, dengan cita-cita ideal yang tak pernah tergapai, tetapi terus diperjuangkan. Cita-cita itu diibaratkan sebagai sang kekasih.
Raden Panji Kertapati adalah pewaris Kerajaan Jenggala, sedangkah Candra Kirana adalah bunga Kerajaan Daha. Keduanya telah jatuh hati sejak kecil dan rencananya dinikahkan, tetapi Candra Kirana difitnah, dan akibatnya terusir dari Daha.
Menyusul adegan saling mencari kedua kekasih, di mana Candra Kirana tampil berpakaian sebagai pria, Panji Semirang, dan berkali-kali bertemu dengan kekasih tanpa mengenalinya. Di dalam adegan perjumpaan yang ”gagal” antara kedua tokoh ini, kerap tersirat ambiguitas konstruksi jender di dalam tradisi Jawa lama.
Tantangan yang dihadapi duo Made-Gabriel ini tidaklah kecil. Dibantu oleh grup pemusik dan penari yang sebagian besar dari Pegok, Denpasar, mereka diharapkan mampu mengombinasikan dan menyelaraskan, di bawah bimbingan Made, unsur-unsur musikal-teatrikal Bali—Gambuh, Arja, Janger, serta Genggong, dll—dengan berbagai sisipan komposisi baru ciptaan Gabriel.
Apakah akan berhasil? Buah ciptanya pastilah tidak sepenuhnya sesuai dengan tradisi Panji sebagaimana hadir di opera Arja Bali. Tetapi tidak apa-apa: Made sudah paham dengan logika estetis-tematis Barat sebagaimana diterapkan oleh Gabriel, sedangkan Gabriel mafhum dengan logika estetis-tematis Bali sebagai diterapkan oleh Made.
Bak Panji memimpikan kekasihnya, mereka mencita-citakan terbangunnya jembatan kultural antara budaya Barat dan budaya Indonesia. Maka, siapa duga, dari cita-cita mereka bakal terlahir perpaduan harmonis dengan pesan yang universal. Cukup untuk menambah nuansa pada pendapat umum khalayak bahwa Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat, yang keduanya konon tak pernah bertemu.
Selaras ajaran cerita Panji dan upaya Made dan Gabriel, mari kita terus membangun jembatan antarbudaya, meski lintasan ini tidak akan pernah selesai.