Istilah ”aspirasi masyarakat” sering dijadikan dasar sebagai klaim sebuah kelompok ketika menuntut sesuatu. Pertanyaannya, aspirarasi masyarakat yang mana?
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
”Aspirasi masyarakat”. Kalian semua pasti mengenal istilah ini. Istilah ini menarik karena artinya tak jelas, kecuali dari sudut fungsinya: bisa dipakai untuk menuntut apa saja atas nama rakyat.
Aspirasi berarti angan-angan, tetapi bila digandeng dengan kata masyarakat, artinya disulap menjadi ”tuntutan” dengan nada ancaman, dan lalu arti masyarakat disulap juga menjadi ”seluruh masyarakat”. Ujung-ujungnya berbicara tentang ”aspirasi masyarakat” adalah sama dengan berbicara tentang kemauan seluruh rakyat, sedangkan nyatanya hanya segelintir orang mempunyai aspirasi yang bersangkutan.
Kenapa penting membongkar permainan kata ini. Karena tak jarang dipakai oleh kelompok garis tertentu untuk memajukan agendanya. Misalnya, kini istilah itu kembali dipakai untuk membenarkan ”pembongkaran” patung dengan dalih demi memenuhi ”aspirasi masyarakat”.
Hal ini terjadi baru-baru ini di Sentul, dekat Jakarta. Tiba-tiba muncul sekelompok orang, lengkap dengan kebenaran tafsirnya, untuk menuntut pembongkaran patung yang terinspirasi oleh karya maestro Hendra Gunawan. Rumus yang sama pernah dipakai untuk menuntut pembongkaran patung maestro Nyoman Nuarta di Pengandaran. Contoh lain juga banyak.
Hasrat ikonoklas
Melampaui perang tafsir, yang menarik di dalam peristiwa-peristiwa ini adalah segi historisnya. Indonesia kini berada di pengunjung hasrat ”ikonoklas”, yaitu kencenderungan penghancuran patung dan pelarangan atas representasi manusia. Pada umumnya tindakan ikonoklas dibenarkan atas nama ”keyakinan”. Sejarahnya panjang dan tidak selalu jelas juntrungnya. Siapa tahu, misalnya, bahwa kota Geneva yang indah ini mempunyai katedral yang kurang menarik? Karena pada waktu Reformasi Protestan, tak sedikit pengikut Calvin merasa wajib menghancurkan semua representasi kisah Yesus di tempat-tempat ibadah.
Dalihnya? Tidak sesuai dengan ayat Al Kitab. Tetapi, ikonoklas Protestan ada pendahulunya. Yang paling terkenal adalah gerakan ikonoklas yang dipelopori gereja Kristen Timur (Ortodoks) pada abad ke-8, di zaman kaisar Leo III di Byzantium–kini Turki. Pada waktu itu, semua ikon hendak dimusnahkan. Hampir berhasil. Bila kita sekarang mengunjungi gereja-gereja bahwa tanah di Kapadosia, di Anatolia-Turki, ada saja yang kepala tokoh Al-Kitab-nya dihapus atau dihancurkan.
Hal ini tidak dilakukan oleh penguasa Islam Seljuk yang kemudian menaklukan daerah itu, tetapi oleh orang Kristen sendiri. Menariknya, di manakah para ikonoklas Kristen Timur sekarang? Menghilang, tak ada lagi orang Kristen Timur yang menafsir Al-Kitab secara ikonoklas. Bahkan, bila kita mengunjungi Yunani, gambar ”ikon” kini dijual bebas di mana-mana. Tafsir Al-Kitab kini sudah menjadi lunak.
Kini terdapat sejarawan yang mempertanyakan hubungan gerakan ikonoklas Kristen Timur Byzantium di atas dengan Islam. Zaman dulu, wilayah hunian Kristen Timur dan wilayah hunian Islam sering tak dibedakan secara geografis, baik di Anatolia maupun di Timur Tengah. Penganut-penganut agama berbeda hidup berdampingan satu sama lainnya. Maka, terdapat sirkulasi ide-ide di antara kedua kelompok.
Menurut sejarawan, tafsir ikonoklas Kristen Timur terlihat muncul lebih dulu, lalu meluas sedemikian rupa hingga turut memengaruhi juru tafsir Islam. Alhasil, lahirlah aliran Islam yang juga turut melarang representasi manusia. Kronologi historis membuktikan hal ini. Kita kini tahu pada fenomena pelarangan imej di Islam tidak terjadi pada periode awal Islam, yaitu akhir abad ke-6 dan abad ke-7, tetapi terjadi belakangan, setelah abad ke-8 dan ke-9. Misalnya, penelitian arkeologis yang dilakukan di situs awal Islam di Jordania tak menunjukkan adanya tanda-tanda apa pun atas pelarangan itu.
Jadi, pelarangan tiada lain adalah fenomena historis, yang telah berlaku sebentar di kalangan Kristen, lalu menghilang, untuk muncul kembali entah kapan, baik di kalangan Islam, dan kemudian, seperti di Geneva di atas, di kalangan Kristen Calvinis tertentu. Jadi, tafsir ini bukanlah timbul dari kebenaran kitab suci, tetapi dari kenisbian sejarah.
Kitab-kitab suci selalu terlahir sebagai seruan. Seruan untuk menyatu di dalam kebersamaan di hadapan Tuhan. Itulah fungsi utamanya. Bila ditafsir kembali sebagai ajakan untuk membangun tembok terhadap sesama manusia, itulah tingkah sejarah yang cukup didengar tanpa dihiraukan.