Jenama musik ”seriosa” yang sekarang akan digeliatkan lagi dengan julukan ”tembang puitik”, patut disyukuri pencinta musik. Nama aslinya, ”seriosa”, sebenarnya sudah baik. Namun, ”tembang puitik juga pas.
Oleh
L WILARDJO
·3 menit baca
Laporan Ninok Leksono (”Musik Seriosa di Kanal Digital”, Kompas, 13/6/2023) mengingatkan kembali kegiatan seni di Yogyakarta akhir 1950-an sampai medio 1960-an.
Ada pementasan drama tragedi Oedipus Rex oleh bengkel teaternya Rendra, ada PBR (keroncong, hiburan, dan seriosa), ada POV-nya N Simanungkalit, ada pergelaran wayang kulit bulanan di Sasono Hinggil Dwi Abad, ada orkestra simfoni Sekolah Musik yang menampilkan gubahan ”Arti Radja”, dengan dirigen Rusia Nicolai Varmolomeiyeff, dan seterusnya.
Jenama (genre) musik yang masa itu disebut ”seriosa”, sekarang akan digeliatkan lagi dengan julukan ”tembang puitik”, patut disyukuri pencinta musik. Nama aslinya, ”seriosa”, sebenarnya sudah baik. Namun, ”tembang puitik” juga ”pas” kalau meliputi art song ”asing”, seperti karya Schubert, Beethoven, dan Schumann.
Namun, kalau dibatasi khusus karya-karya musisi Indonesia, misalnya Ismail Marzuki, Iskandar, dan lain-lain, nama ”seriosa” lebih khasnya barangkali adalah ”gita Indonesia”.
Sebagai pembaca harian Kompas sejak terbit 1965, saya memiliki kenangan panjang. Saat kecil, bapak saya berlangganan koran Kengpo dan mingguan Star Weekly. Mungkin ini menjadikan ruh Kompas mudah saya terima.
Awal abad ke-21 tebersit niat menulis di harian ini. Meski beberapa teman nyinyir dengan mengatakan ”penulis keranjang sampah”, saya tidak peduli. Terbukti, untuk
menjadi penulis keranjang sampah pun tidak mudah. Ocehan saya selama lima tahunan hanya sekali dimuat, saat mengeluhkan layanan telepon rumah.
Tanpa diduga lima tahun terakhir tulisan saya mulai dimuat. Saya belajar dari Kompas untuk mengkritik dengan santun. Juga memegang nasihat Buya Syafii Maarif dalam bahasa Minang: Jiko pandai bakato-kato umpamo santan jo tangguli. Artinya, kritik pun dapat disampaikan tanpa menyakiti. Ini adalah cerminan seorang yang cerdas, berakhlak mulia, berintegritas, tetapi juga tulus.
Saya sampaikan kepada pengasuh rubrik Surat Kepada Redaksi bahwa meskipun
Opini diisi para pakar, jangkauan pembacanya mungkin tidak seluas Surat Kepada Redaksi.
Sebuah surat di rubrik ini meyakinkan saya bahwa pandangan saya tidak keliru. Salah satunya tulisan Baharuddin Aritonang, orang yang pernah terlibat pelbagai kebijakan di negeri ini.
Dia menulis di rubrik yang sama, bahwa karena membaca surat saya ”Kemauan Politik” (Kompas, 11/4/2023), ia jadi tidak terlewat membaca artikel Yanuar Nugroho yang berjudul ”Urgensi Reformasi Birokrasi Jokowi” (Kompas, 3/4/2023).
Budiman Tanuredjo pun mau mencuplik ocehan saya. Menyemangati eyang ini untuk tetap nyinyir dengan niat sejalan misi Kompas: mencerdaskan bangsa, meningkatkan akhlak serta tata nilainya.
Lebih banyak lagi tanggapan positif dari berbagai lingkungan pergaulan saya. Kecintaan saya kepada bangsa saya tumpahkan dalam rubrik yang awalnya tidak dianggap teman-teman. Saya mencoba menulis dengan dukungan data sahih. Kata orang Jawa tidak waton njeplak, waton sulaya. Tidak boleh asal bicara, tidak boleh asal membantah.
Kalau Karl May bisa menulis petualangan di Amerika dan negara Balkan tanpa pernah ke sana, saya yakin saya yang lahir, tumbuh, dan menua di Indonesia bisa menulis tentang bangsa ini, asal didasari oleh pengalaman hidup sehari hari.
Jangan lupakan pula nama kedua pendiri Kompas: PK Ojong dan Jakob Oetama. Mereka telah menanamkan watak luhur serta tata nilai yang baik hingga kini.
Saya sekali berjumpa dengan Pak Ojong tahun 1955. Dengan Pak Jakob beberapa kali meskipun Pak Jakob tidak ingat saya. Maka saya senantiasa bersiasat membuka percakapan dengan memperkenalkan diri sebagai keponakan si Anu. Berhasil.
Saat tak terlupakan adalah pertemuan terakhir dengan Pak Jakob di rumah duka almarhum Rosihan Anwar. Pak Jakob duduk di sebelah saya.
Sambil memegang lutut saya, beliau bercerita tentang pengalaman pemilu pertama 1955. Selama 15 menit saya tekun mendengarkan pandangan politiknya, yang mungkin tidak banyak orang beruntung mendapatkan.
Terima kasih harian Kompas. Dirgahayu 58 tahun dan semoga tetap ajek menyuarakan kebenaran untuk membangun tata nilai dan akhlak luhur bangsa.
Hadisudjono SastrosatomoAnggota Tim PengarahEtika Bisnis dan Organisasi, SS-PEBOSS–STM PPM Menteng Raya, Jakarta 12970