"Human Capital Index", Perlukah?
Apabila Indonesia ingin meningkatkan Human Capital Index, perhatian masyarakat dan bangsa Indonesia harus diutamakan buat kelangsungan hidup anak sampai usia lima tahun. Meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan.
Pembangunan sumber daya manusia merujuk pada usaha-usaha peningkatan kesehatan dan gizi masyarakat, pengetahuan, keterampilan, kemampuan, akhlak, dan karakter untuk meningkatkan produktivitas buat kesejahteraan bangsa.
Human Capital Index atau HCI adalah pengukuran kualitas sumber daya manusia yang diperkenalkan Bank Dunia tahun 2018.
Indeks ini mengukur ”the amount of human capital that a child born today can expect to acquire by age 18, given the risks of poor health and poor education that prevail in the country where she lives” (modal manusia yang bisa diakumulasi seorang anak yang lahir pada hari ini, pada saat dia berusia 18 tahun nanti, mengingat risiko kondisi kesehatan dan pendidikan yang buruk yang ada di negara tempat dia hidup).
Indeks ini menghitung kontribusi kesehatan dan pendidikan bagi produktivitas individu dan negara.
Indikator-indikator yang digunakan ialah survival (kemampuan bertahan hidup masyarakat sampai umur lima tahun), pendidikan (diukur dari harapan pencapaian lama bersekolah) dan kualitas pendidikan (skor tes), serta kesehatan (diukur dari kelangsungan hidup usia 15-60 tahun dan persentase balita tidak tengkes/stunting).
Baca juga : Pemimpin, Modal Manusia, dan Indonesia Raya
Skor indeks ini terdiri dari angka nol sampai 1. Skor indeks di angka 1 berarti anak mencapai kondisi ideal dari semua komponen indikator, sedangkan angka nol jika mencapai skor terendah dari semua komponen indikator.
Skor HCI Indonesia tahun 2020 adalah 0,54. Artinya, produktivitas dari setiap anak yang lahir hanya mencapai 54 persen dari kapasitas idealnya. Angka ini jauh dari negara seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan China sehingga menempatkan Indonesia di peringkat ke-96 dari 173 negara.
Dampak kurang gizi
Kelangsungan hidup anak sampai usia lima tahun amat ditentukan oleh keberhasilan kita merawat anak pada masa 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), meliputi 270 hari selama kehamilan dan 730 hari dari kelahiran.
Masa 1.000 hari pertama kehidupan berpengaruh besar terhadap kemampuan anak untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, perkembangan anak pada masa ini memiliki hubungan erat dengan derajat kesehatan, kecerdasan, dan kesejahteraan suatu bangsa.
Secara khusus pengaruh kekurangan gizi, terutama tengkes, pada masa kehidupan awal anak, akan memiliki dampak jangka panjang karena menyebabkan kerusakan permanen pada pertumbuhan otak dan fisik anak.
Akibatnya, anak rentan sakit, mengalami gangguan belajar, berprestasi rendah, bahkan bisa putus sekolah. Lebih lanjut, mereka akan rentan terhadap penyakit tak menular, seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, dan kanker.
infografik Angka Tengkes Anak Balita Indonesia Berdasarkan SSGI 2022
Pada kaum wanita yang mengalami kurang gizi dan melahirkan anak perempuan yang kurang gizi pula, jika menjadi ibu, ia nanti juga akan melahirkan anak kurang gizi. Jadi, hal ini menyebabkan terjadinya pewarisan kemiskinan antargenerasi.
Pada tahun 2018, Bank Dunia memperkirakan akibat dampak kekurangan gizi (stunting) Indonesia kehilangan 2 persen hingga 3 persen dari produk domestik bruto (PDB), 20 miliar dollar AS-30 miliar dollar AS untuk biaya kesehatan, dan menurunnya 20 persen-30 persen produktivitas kerja bagi karyawan yang mengalami tengkes.
Salah satu tantangan di abad ke-21 adalah meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Programme for International Student Assessment (PISA) mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa usia lima belas tahun di bidang matematika, sains, dan literasi membaca.
Skor PISA
Skor tes PISA siswa Indonesia tahun 2018 hanya mencapai 371 untuk membaca, 379 untuk matematika, dan 396 untuk sains, menurun dibandingkan dengan hasil tes tahun 2015, yaitu 397 untuk membaca, 386 untuk matematika, dan 403 untuk sains.
Dibandingkan dengan rerata Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yakni 487 untuk membaca, 489 untuk matematika, dan 489 untuk sains, hasil ini jauh lebih rendah.
Anak yang mencapai kemampuan Level 2 atau lebih tinggi akan mampu bersaing di ekonomi modern. Sebaliknya, anak yang mencapai kemampuan di bawah Level 2 akan kesulitan bersaing di ekonomi modern.
Dari skor membaca siswa Indonesia, 30 persen mencapai Level 2 (rerata OECD adalah 77 persen). Minimal, siswa mampu mengidentifikasi ide utama dari sebuah teks yang cukup panjang, mampu menemukan informasi tersurat, walaupun sering kali dari teks yang lebih kompleks, dan mampu memikirkan tujuan dan bentuk teks ketika diminta untuk melakukannya.
Salah satu faktor yang mengurangi produktivitas penduduk usia kerja adalah beban penyakit.
Sejumlah sangat kecil siswa Indonesia mencapai skor Level 5 dan 6 (top performer). Rerata OECD adalah 9 persen. Pada level ini, para siswa mampu memahami teks panjang, berurusan dengan konsep-konsep abstrak berbeda, dan mampu membedakan antara fakta dan opini merujuk pada isi atau sumber informasi.
Dari 20 sistem pendidikan, termasuk 15 negara OECD, lebih dari 10 persen siswa usia 15 tahun adalah top performer.
Skor matematika siswa Indonesia yang mencapai Level 2 atau lebih tinggi 28 persen (rerata OECD 76 persen).
Pada level ini, siswa mampu menafsirkan dan mengenali permasalahan matematika tanpa instruksi, mampu menjelaskan situasi sederhana secara matematika (seperti menjelaskan total jarak dari dua tempat atau konversi harga dari mata uang berbeda).
Di Indonesia, hanya 1 persen siswa mencapai Level 5 dan 6 (rerata OECD 11 persen). Bandingkan dengan siswa di enam negara Asia yang mencapai Level 5 dan 6, yaitu China (44 persen), Singapura (37 persen), Hong Kong (29 persen), Makau (28 persen), Taiwan (23 persen), dan Korea Selatan (21 persen).
Skor sains siswa Indonesia mencapai Level 2 atau lebih tinggi 40 persen (rerata OECD 78 persen). Pada level ini siswa mampu mengenali dan memperbaiki penjelasan untuk fenomena sains sehari-hari dan mampu menggunakan pengetahuan mereka untuk mengenali, apakah kesimpulan kejadian itu valid berdasarkan data yang tersedia.
Sejumlah sangat kecil siswa mencapai Level 5 atau 6 (rerata OECD 7 persen). Para siswa ini mampu secara mandiri dan kreatif menerapkan pengetahuan mereka mengenai sains dalam berbagai situasi, termasuk yang tidak familier bagi banyak orang.
Produktivitas penduduk usia kerja
Salah satu faktor yang mengurangi produktivitas penduduk usia kerja adalah beban penyakit. Untuk melihat bagaimana penyakit memengaruhi produktivitas penduduk usia kerja, dikembangkan indikator yang disebut disability-adjusted life years atau DALYs.
Pada pengukuran ini, semakin banyak individu atau populasi yang menderita beban DALYs, semakin rendah derajat kesehatan dan tingkat produktivitasnya.
Oleh karena itu, DALYs memperlihatkan kesenjangan ukuran kesehatan ideal (umur harapan hidup) dengan aktual (yang sudah dirampas oleh penyakit, disabilitas, dan kematian prematur). Pada tahun 2019, lima penyakit utama yang berkontribusi pada peningkatan DALYs di Indonesia adalah penyakit stroke, penyakit jantung iskemik, kelainan neonatal, diabetes, dan sirosis.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2019, dari 71,3 tahun rerata umur harapan hidup bangsa Indonesia, healthy life expectancy (Hale) Indonesia adalah 62,8 tahun sehingga DALYs menjadi 8,5 tahun, yang tidak produktif karena berbagai penyakit, disabilitas, dan kematian prematur.
Dari uraian di atas, apabila Indonesia ingin meningkatkan Human Capital Index, perhatian masyarakat dan bangsa Indonesia harus diutamakan buat kelangsungan hidup anak sampai usia lima tahun—ditentukan oleh kualitas 1.000 HPK—hasil belajar siswa yang ditunjukkan oleh skor PISA yang semakin baik, percepatan penurunan tengkes dan pencegahannya, serta mengurangi penyakit-penyakit yang memengaruhi produktivitas angkatan kerja.
Fasli Jalal Rektor Universitas Yarsi