Terorisme (Sekuler)
Terminologi terorisme dan fenomenanya di era modern semula terlahir dari rahim negara, bercorak sekuler, dan tidak mengandung anasir religiositas apa pun.
Di era setelah peristiwa serangan 9/11 di Amerika Serikat, publik dunia telanjur mencerna gagasan yang sempit tentang terminologi ”terorisme”. Istilah ini serta merta dimaknai sebagai kejahatan teror yang pasti terkait dengan faktor religius atau agama. Lebih sempit lagi, terorisme diidentikkan dengan Islam.
Pemahaman publik tersebut bisa dimaklumi mengingat pelaku serangan 9/11, yakni Al Qaeda, kerap melancarkan pembenaran dengan membajak doktrin agama, dalam hal ini ajaran Islam. Ditambah lagi, setelah era Al Qaeda, ISIS juga memanfaatkan ornamen religiositas serupa untuk menjustifikasi kejahatan terornya dan berhasil membetot perhatian dunia.
Di kalangan akademisi yang mendalami studi terorisme, pemahaman sempit publik awam itu tentu saja dianggap sebagai bentuk sesat pikir. Berbagai kajian terorisme yang terus berkembang telah lama memastikan pandangan tersebut terbukti keliru. Namun, memang diskursus mengenai terorisme secara keilmuan cenderung hanya berpusar di kalangan tertentu saja, yang luput dari radar pemahaman publik umum.
Paling tidak itu tecermin dari suatu pertanyaan yang masuk ke kotak pesan di akun Instagram dari seorang pembaca setelah membaca artikel saya berjudul ”Umar Patek”. Ia bertanya dengan heran, ”memangnya ada peristiwa terorisme yang tidak terkait agama?” Pertanyaan ini kembali menyadarkan saya. Ah, bisa jadi ia mewakili pemahaman sebagian publik yang masih juga menganggap terorisme melulu berurusan dengan agama.
Untuk itu, tulisan ini mencoba mengelaborasi kembali secara singkat tentang bagaimana transformasi fenomena terorisme di dunia serta percikan dinamika diskursus yang melingkupinya.
Revolusi Perancis
Jauh sebelum tragedi 9/11, sejarawan asal Jerman, Walter Liqueur (1921-2018), menulis buku berjudul Terrorism (1977) yang hingga kini masih menjadi salah satu referensi dalam studi terorisme. Dalam bab pertama di bukunya mengenai awal mula terorisme, ia menerangkan, istilah ”terorisme” dan ”teroris” sebenarnya terminologi yang relatif baru. Arti dari terorisme tertulis dalam catatan tambahan dari Dictionnarie of The Academie Francaise tahun 1798, yang maknanya dikaitkan dengan regime de la terreur atau Reign of Terror atau Pemerintahan Teror.
Reign of Terror merupakan periode berkuasanya pemerintah revolusioner Perancis tahun 1793-1794 setelah jatuhnya monarki (Raja Louis XVI). Tak hanya Walter Liqueur, banyak akademisi lain setelahnya dalam studi terorisme juga merujuk peristiwa Revolusi Perancis sebagai titik tolak fenomena terorisme di era modern. Ketika itu, Pemerintah Revolusioner membentuk Komite Keselamatan Publik yang dikendalikan oleh Maximilien Robespierre. Ia adalah tokoh revolusi dari kaum Jacobin, yakni kelompok politik berpengaruh yang juga terkenal radikal.
Komite Keselamatan Publik tersebut bertugas mengamankan Republik Perancis dari ancaman internal dan eksternal dalam mengamankan agenda revolusi. Komite ini menumpas pemberontakan kontrarevolusi dalam negeri dan menghadang invasi asing. Kewenangan politik dan militernya amat besar. Dalam menjalankan perannya itu, kebijakan keras dan otoriter untuk menumpas musuh-musuh revolusi terakumulasi menjadi kekerasan massal yang memakan korban jiwa ribuan orang. Siapa pun yang dianggap musuh revolusi atau dianggap tidak mendukung revolusi dihukum mati melalui cara pemenggalan kepala dengan guillotine.
Reign of Terror menciptakan atmosfer ketakutan dan paranoia di Perancis, siapa pun yang dianggap sebagai ancaman terhadap revolusi atau kekuasaan Republik dipenjarakan atau dieksekusi. Meskipun tujuannya awalnya adalah untuk melindungi revolusi dan memerangi musuh-musuhnya, Reign of Terror menciptakan kekejaman tak terperi. Teror menjadi kebijakan resmi pemerintahan revolusi.
Kala itu, kaum Jacobin sendiri menggunakan istilah terreur dalam retorika mengenai diri mereka dengan nada kebanggaan. Kata terreur dalam bahasa Perancis itu berasal dari bahasa Latin terrere yang berarti upaya membangkitkan rasa takut yang amat sangat (great fear). Dari kata terreur inilah kata terror dalam bahasa Inggris berasal, untuk menggambarkan ketakutan intens akibat dari penggunaan kekerasan yang ekstrem sebagai alat kontrol atau intimidasi.
Alex P Schmid, akademisi lainnya dalam studi terorisme, menyebutkan, pada masa Revolusi Perancis itu, teror merupakan instrumen legal dari perwujudan kekerasan-negara. Dalam bukunya, The Routledge Handbook of Terrorism Research (2011), Schmid menandai bermulanya istilah ”terrorisme” (bahasa Perancis). Pada akhir Juni 1794, beberapa delegasi dalam French National Convention atau majelis rakyat Perancis mendongkel Maximilien Robespierre dan Komite Keselamatan Publik karena akhirnya terteror klaim Roberpierre yang mengaku memiliki daftar pengkhianat untuk ditindak.
Dalam pendongkelan itu, pihak majelis tidak dapat menuduh Robespierre atas perbuatan teror mengingat cara teror memang secara resmi mereka setujui bersama-sama. Sebagai gantinya, majelis meramu istilah ”terrorisme” sebagai perbuatan penyalahgunaan kekuasaan secara kriminal, tidak sah, sewenang-wenang, lalim, dan menjijikkan. Era setelah Robespierre di Perancis itulah kemudian istilah dan makna ”terrorisme” merujuk pada instrumen pemerintahan yang lalim yang melawan rakyat.
Aktor negara
Berdasarkan uraian etimologis di atas, terminologi terorisme dan fenomena teror di era modern semula terlahir dari rahim (perangkat) negara dan tidak mengandung anasir religiositas apa pun. Dengan demikian, dapat dikatakan fenomena tersebut lahir dari peristiwa yang bercorak sekuler, untuk membedakannya dengan perbuatan yang berkaitan dengan faktor religius atau agama. Selain itu, secara historis etimologis juga, semula negara adalah aktor pelaku. Meski dalam pekembangan selanjutnya, fenomena terorisme kontemporer juga marak dilakukan oleh pelaku aktor non-negara.
Baca juga: Dinamika Target Serangan Teror
Dalam diskursus terorisme kontemporer, pembahasan fenomena terorisme dengan pelaku aktor negara atau state-terrorism atau terorisme-negara cenderung tidak sesemarak pembahasan terorisme oleh aktor non-negara. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengabaikan atau tidak mengakui unsur aktor-negara dalam rumusan definisi legal/resmi dari terminologi ”terorisme”. Dalam studi terorisme sendiri belum tercapai konsensus internasional di antara para akademisi mengenai definisi ilmiah dari terorisme. Soal ini lain waktu akan diuraikan dalam tulisan yang terpisah.
Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengabaikan atau tidak mengakui unsur aktor-negara dalam rumusan definisi legal/resmi dari terminologi ”terorisme”.
Meski demikian, beberapa akademisi terkemuka tak luput membahas diskursus mengenai terorisme-negara. Misalnya, Noam Chomsky, Gus Martin, juga Alex P Schmid. Schmid, misalnya, mengikutsertakan jenis terorisme-negara dalam tipologi terorisme yang ia rumuskan. Ia juga menguraikan beberapa indikasi dari tindakan yang dapat digolongkan sebagai terorisme-negara.
Merujuk pada rumusan Alex P Schmid dalam bukunya yang termutakhir Handbook of Terrorism Prevention and Prepraredness (2021), sejumlah tindakan pemerintah/negara dapat mengindikasikan bentuk state-terrorism (terorisme-negara). Mulai dari represi politik dan kekerasan pemerintah terhadap oposisi politik yang sistematis; kejahatan hak asasi manusia (HAM) oleh aparat keamanan dan militer dalam rangka menekan kelompok etnis, agama, atau politik tertentu; serangan dan penindasan oleh negara terhadap kelompok minoritas atau yang dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan negara; operasi rahasia dan pembunuhan politik yang dilakukan oleh agen intelijen atau kelompok paramiliter yang didukung oleh negara; hingga penggunaan kekerasan militer yang eksesif terhadap warga sipil dalam konflik bersenjata atau pendudukan wilayah.
Mengacu pada rumusan tersebut, beberapa contoh peristiwa di dunia yang dapat dikatakan sebagai bentuk terorisme-negara. Di Amerika Latin, misalnya, pembantaian di Argentina pada masa rezim militer (1976-1983); pembantaian di Chile di masa rezim Jenderal Auguste Pinochet (1973-1990); dan kejahatan HAM di Brazil (1964-1985). Contoh di Eropa, misalnya, operasi Gladio di Italia (1947-1990), sebuah operasi rahasia yang dilakukan oleh badan intelijen negara-negara NATO, termasuk Italia, yang melibatkan serangkaian serangan teror dan sabotase dengan tujuan melawan pengaruh komunisme.
Contoh lainnya lagi yaitu, genosida Bangladesh dalam Operation Searchlight (1971) selama Perang Kemerdekaan Bangladesh ketika pasukan militer Pakistan melakukan serangan terhadap warga sipil, termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pengusiran paksa; genosida Rwanda di (1994); hingga genosida etnis Rohingya di Myanmar sejak 2016. Tak lupa contoh bentuk monumental terorisme-negara yakni, invasi militer Amerika Serikat dan koalisi internasional di Irak (2003-2011) yang berimplikasi kompleks.
Noam Chomsky adalah salah satu cendekiawan yang sangat keras mengkritisi terorisme-negara yang dilancarkan AS. Ia banyak menulis soal terorisme Internasional sejak era Presiden Ronald Reagan mengobarkan ”war on terror”. Chomsky juga dengan lantang menyebut ”US is the leading terrorist state” terkait berbagai sepak terjang agresif dari negara adidaya tersebut di arena internasional.
Di Indonesia sendiri, contoh nyata dan telak dari bentuk terorisme-negara adalah genosida atau peristiwa Pembantaian 1965 yang dilakukan pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Jenderal Soeharto yang memakan korban tewas mendekati satu juta jiwa rakyat sipil. Fakta sejarah berdarah tersebut telah banyak diungkap berbagai peneliti/akademisi dunia. Beberapa buku yang mengungkapkannya, misalnya, The Killing Season karya Geoffrey B Robinson (2018), The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (2018) karya Jess Melvin, dan The Jakarta Method (2020) karya Vincent Bevins.
Contoh nyata dan telak dari bentuk terorisme-negara adalah genosida atau peristiwa Pembantaian 1965 yang dilakukan pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Jenderal Soeharto.
Bevins dalam bukunya mendedah bagaimana pembantaian tersebut disokong AS melalui badan intelijen CIA. Hal itu pun sebenarnya bukan lagi rahasia yang baru terungkap. Bevins mengurai metode pemberangusan komunisme di Indonesia tahun 1965 tersebut menjadi model operasi yang digunakan oleh AS selama era Perang Dingin untuk diterapkan di negara lain, seperti Brasil dan Chile, yang juga berujung pertumpahan darah rakyat sipil.
Corak sekuler
Dalam perkembangannya, fenomena penggunaan taktik teror dalam kekerasan politik juga dilakukan oleh aktor non-negara. Jauh sebelum publik dunia disuguhi kejahatan maraknya aksi teror berdimensi religius, fenomena terorisme dengan aktor non-negara yang bercorak sekuler telah banyak terjadi di dunia.
Beberapa contoh di antaranya, mulai dari gerakan yang dilakukan oleh Euskadi Ta Askatasuna Basque (ETA) di Spanyol, IRA (Irish Republican Army) di Inggris, juga RAF (Rote Armee Fraktion) di Jerman, EOKA (Ethniki Organosis Kyprion Agoniston) di Siprus, Lehi (Stern Gang) yakni kelompok militan zionis di Israel tahun 1940an, yang semuanya itu kental bersemangat nasionalis.
Contoh lainnya, di tahun 1970-an muncul Japanese Red Army, organisasi teroris berhaluan komunis yang hendak meruntuhkan monarki Jepang dan memulai revolusi dunia untuk menciptakan keadilan yang selaras dengan agenda Marxist. Yang juga cukup fenomenal adalah Ku Klux Klan atau KKK (sejak 1865), kelompok teroris supremasi kulit putih di AS yang bertekad memberantas kaum kulit hitam dan minoritas lainnya.
Baca juga: Matangnya Ekosistem Teror
Peristiwa serangan terorisme besar sebelum 9/11 di AS yang tak boleh dilupakan adalah pengeboman gedung federal di Oklahoma tahun 1995. Ini merupakan serangan teror terbesar di AS sebelum terjadinya 9/11 dalam hal jumlah korban tewas 168 jiwa. Pelakunya adalah dua orang yang berhaluan white supremacist, Timothy McVeigh (veteran Perang Teluk) dan Terry Nichols (mantan tentara). Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada seorang wartawan The Observer, McVeigh mengungkapkan alasannya mengebom, yang tampak jelas tak terkait urusan religius/agama.
Selain itu, teknik serangan bunuh diri dalam taktik teror, yang kerap kita duga serampangan melulu lekat dengan ideologi agama, nyatanya keliru. Robert A Pape dalam bukunya, Dying to Win (2005), menyoroti soal bom bunuh diri bukanlah jenis serangan yang dimonopoli fenomena religius. Ia meneliti fenomena bom bunuh diri yang terjadi tahun 1980-2003 di beberapa negara. Sebanyak 43 persen pelaku bom bunuh diri dapat dikatakan tergolong religius, sementara 57 persen sisanya tergolong sekuler.
Asumsi umum awam soal profil sosial-ekonomi dari pelaku bom bunuh diri juga gugur dalam penelitian Pape tersebut. Dari temuannya, baik dari kalangan religius maupun sekuler, pelaku secara ekonomi berkecukupan dan berpendidikan baik. Ciri lainnya, mereka umumnya punya kesadaran politik yang cukup tinggi.
Meskipun berbagai peristiwa teror, yang berciri membangkitkan ketakutan intens dan massif, telah terentang dalam sejarah panjang dunia, pada akhirnya makna terorisme memang kerap terjebak dalam pemaknaan yang sempit, pendek, dan tereduksi. Terkait reduksi makna itu, George Orwell pernah memperkenalkan konsep ”newspeak” dalam novelnya yang berjudul 1984. "Newspeak" yaitu bahasa artifisial yang diciptakan penguasa totaliter sebagai alat kontrol pemikiran dan perubahan sosial.
Noam Chomsky meminjam istilah ”newspeak” tersebut untuk menjelaskan bagaimana sistem kognitif kita dalam mencerna realitas dunia masa kini kerap dimanipulasi atau disabotase penguasa lewat berbagai kata (artifisial). Kata tersebut maknanya terus menerus diciutkan. Chomsky yang juga pakar linguistik ini menjelaskan manipulasi lewat kata-kata itu efektif untuk mempersempit pemahaman dan ekspresi pikiran. Termasuk tentang muslihat makna di balik labelisasi ”terorisme” atau ”teroris” di panggung politik global.
Ada suatu ungkapan yang kerap diberdebatkan dan dianggap misleading yang setidaknya cukup mewakili peliknya memaknai terorisme, yakni ”one’s man terrorist is another’s freedom fighter”. Seseorang yang dituding sebagai teroris oleh suatu pihak, pada saat yang bersamaan juga dianggap pejuang oleh pihak lainnya. Runyam, namun demikianlah adanya.
Baca juga: Terorisme yang Bermain di Dua Kaki