Dari serangan teror bertubi-tubi, salah satu yang perlu diamati adalah tipe sasaran. Ada asumsi, korban serangan teror cenderung acak. Namun sebenarnya tidak juga, terutama serangan teror beberapa tahun terakhir.
Oleh
Sarie Febriane
·3 menit baca
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO
Tim penyidik Polri memeriksa lokasi ledakan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Jalan Ngagel Madya, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018).
Dari serangan teror bertubi-tubi sepekan ini, salah satu yang perlu diamati adalah tipe sasaran. Ada asumsi, korban serangan teror cenderung acak. Namun sebenarnya tidak juga, terutama dalam serangan teror beberapa tahun terakhir.
Serangan di Markas Komando Brigade Mobil Polri di Depok, Jawa Barat; Markas Polrestabes Surabaya, Jawa Timur; dan Markas Polda Riau di Pekanbaru, mewakili jenis target kombatan (hard target). Sementara, serangan yang menyasar tiga gereja di Surabaya tergolong target non-kombatan (soft target). Lewat pilihan target, maksud pelaku teror dapat terbaca.
Di Indonesia, tipe target serangan teror di era tahun 2000-an punya gambaran pola sendiri. Setelah era serangan 9/11 di New York, Amerika Serikat, serangkaian serangan teror di Indonesia menarget simbol-simbol asing (far enemy/musuh jauh). Mulai dari Bom Bali (2002 dan 2005) sampai hotel-hotel yang menyimbolkan entitas asing. Hal ini tak terlepas dari seruan pimpinan Al-Qaeda, Osama bin Laden, untuk menyerang apapun yang mewakili simbol AS dan sekutunya. Al-Qaeda saat itu patron organisasi teror global, yang berafiliasi dengan entitas teror di Indonesia, Jemaah Islamiyah (JI).
Dalam perjalanannya, serangan teror yang menelan banyak korban sipil dan dikecam luas publik itu memicu perdebatan di jejaring teror, terutama JI. Mereka menyadari aksi-aksi itu kurang mendapat legitimasi publik. Ditambah lagi peran Al-Qaeda pun menyusut, organisasi JI dipreteli polisi, serta berbagai infrastruktur dan kapasitas melakukan serangan besar kian berkurang seiring penangkapan oleh polisi yang makin gencar.
Di aspek lain, kegencaran aparat mengamputasi ruang gerak jejaring teror menumbuhkan dendam bagi para anggotanya. Artikel Kompas, 28 September 2009, berjudul "Bayang-bayang Siklus Vendetta" telah mengingatkan potensi balas dendam itu.
Bergeser
Gejala bergesernya tipe serangan dari menarget musuh jauh ke musuh dekat (near enemy,) mulai tampak sejak 2010. Dari berbagai pengungkapan rencana serangan dan serangan yang terlanjur terjadi, target teror menjadi menyasar simbol negara. Seperti aparat polisi dan presiden (rencana), rumah ibadah gereja dan masjid (Masjid Adz-Dzikro Polres Cirebon, 2011), tokoh, pesohor, hingga penganut syiah.
Pada tahun 2018, elemen jejaring teror seperti merangkum seluruh jenis target teror yang terjadi sejak awal 2000-an. Rangkaian serangan mereka menyasar baik soft target dan hard target hanya dalam kurun waktu sepekan. Meskipun terlihat kemampuan teknisnya belum sebesar pentolan-pentolan lama era JI, militansi dan ambisi teroris saat ini amat besar, lebih tidak sabaran, dan tak kalah letal.
Menyerang sasaran terukur seperti simbol negara, dalam hal ini polisi, juga memberi poin besar terhadap profil kelompok pelaku di kalangan ekstremis. Mereka juga berpretensi mendapat legitimasi publik atas serangan teror terhadap polisi sehingga aparat dan juga pemerintah bisa terdelegitimasi.
Kita bisa merasakan atmosfer legitimasi serangan ketika ada yang cenderung bersuara miring ketimbang bersimpati pada korban teror. Jangan sampai maksud jejaring teror mendelegitimasi negara ikut dimainkan pihak-pihak yang punya agenda politik untuk mengail di air keruh.