Insentif Kendaraan Listrik
Sejumlah pihak mengkritik pemberian insentif bagi kendaraan listrik ini karena dinilai hanya menguntungkan orang kaya dan hanya menambah kerusakan lingkungan hidup. Apa sebenarnya urgensi insentif kendaraan listrik?
Untuk mendorong konversi kendaraan berbasis fosil menuju kendaraan listrik berbasis baterai, pemerintah memberikan insentif berupa bantuan dan pengurangan pajak.
Pada Maret 2023, pemerintah memberikan program bantuan sebesar Rp 7 juta untuk motor listrik baru dan motor konversi yang memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 40 persen. Bantuan ditujukan kepada siapa pun warga negara yang ingin mengonversi kendaraan motor berbasis fosil menuju motor berbasis baterai. Intensinya, ingin mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM).
Bukan hanya motor, pemerintah juga memberikan insentif bagi kendaraan roda empat atau mobil, berupa pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen dari yang seharusnya 11 persen untuk kendaraan mobil listrik pribadi dan kendaraan listrik umum, seperti bus. Dengan pemotongan itu, masyarakat pengguna mobil listrik hanya membayar PPN sebesar 1 persen.
Apabila ingin membeli mobil listrik seharga Rp 800 juta, masyarakat hanya perlu membayar PPN Rp 8 juta, dari yang seharusnya Rp 88 juta. Untuk bus listrik, pemerintah memberikan insentif PPN 5 persen dari harga jual.
Sejumlah pihak, terutama lawan politik pemerintah, mengkritik pemberian insentif bagi kendaraan listrik ini karena dinilai hanya menguntungkan orang kaya, tak menguntungkan rakyat, dan hanya menambah kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam. Benarkah demikian? Apa sebenar-nya urgensi insentif kendaraan listrik?
Baca juga : Indonesia Inisiasi Bangun Ekosistem Kendaraan Listrik ASEAN
Gairah rendah
Filosofi insentif berbeda dengan subsidi. Subsidi adalah pemberian bantuan kepada masyarakat tak mampu, sedangkan insentif diberikan untuk memberi stimulus/dorongan agar masyarakat memiliki keinginan berpindah dari kendaraan berbasis fosil ke kendaraan listrik.
Kebijakan pemberian bantuan Rp 7 juta untuk kendaraan motor listrik juga bukan dialamatkan bagi orang kaya, melainkan untuk rakyat tak mampu karena mayoritas pemilik motor adalah warga negara kelas menengah ke bawah.
Mereka ini perlu dibantu dan diberi insentif agar beralih dari motor berbasis fosil menuju motor listrik. Begitu pun insentif PPN untuk kendaraan mobil listrik bukan ditujukan untuk memberikan subsidi kepada orang kaya, melainkan upaya pemerintah mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik.
Kebijakan ini bukan tanpa alasan. Gairah masyarakat Indonesia beralih ke kendaraan listrik masih sangat rendah. Menurut data Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli), angka penjualan motor listrik tahun 2019-2022 masih sangat rendah, 30.000-an unit. Padahal, pada periode yang sama, angka penjualan motor bensin mencapai 29 juta unit. Perbedaannya sangat jauh.
Mobil listrik juga sama nasibnya. Data Gaikindo menunjukkan, penjualan mobil listrik Januari-Juli 2022 hanya 4.800 unit atau 0,9 persen dari penjualan mobil berbasis fosil yang mencapai 561.287 unit. Mengutip Asosiasi Mobil Indonesia, penjualan mobil berbasis fosil tahun 2019 mencapai 1,03 juta unit. Penjualan tahun 2020-2021 memang turun menjadi 600.000 unit karena Covid-19, tetapi setelah tahun 2022 kembali normal.
Padahal, di negara-negara maju, seperti AS dan China, penjualan kendaraan listrik melonjak tinggi. China Association of Automobile Manufactures mengungkapkan, sejak 2019 kendaraan listrik di China 1,7 juta unit, dari 1,6 juta unit tahun 2018. Sementara penjualan mobil berbasis fosil mulai menurun. Penurunannya mencapai 13 persen atau 4,82 juta unit per tahun. Adapun penjualan kendaraan listrik meningkat 118 persen menjadi 254.000 unit.
Daya saing kendaraan listrik di pasar domestik Indonesia rendah akibat mahalnya harga mobil listrik. Di sini pentingnya kebijakan insentif. Kebijakan ini tak hanya diberlakukan Indonesia. China, Thailand, dan Jepang juga memberlakukan dan ini membuat harga kendaraan listrik mereka lebih murah.
Di China, insentif perpajakan mampu membuat harga mobil listrik yang sebelumnya 3,4 kali harga mobil konvensional turun menjadi 1,9 kali dari mobil konvensional. Insentif ini sukses mendorong kendaraan listrik tumbuh lebih cepat. Pangsa pasar mobil listrik China tumbuh 24 persen, jauh dibandingkan Indonesia yang masih 1 persen. Thailand juga memberikan insentif setara Rp 63 juta untuk mobil listrik dan Rp 7,6 juta untuk motor listrik.
Berkat topangan politik, sudah banyak investor tertarik berinvestasi mengembangkan pabrik dan ekosistem mobil listrik, seperti baterai dari nikel sulfat.
Itu artinya, negara-negara lain sedang gencar mendorong pembangunan kendaraan listrik. Kampanye kendaraan listrik di Indonesia mulai intens dilakukan sejak 2017. Berbagai aturan dikeluarkan agar investasi kendaraan listrik tumbuh. Berkat topangan politik, sudah banyak investor tertarik berinvestasi mengembangkan pabrik dan ekosistem mobil listrik, seperti baterai dari nikel sulfat.
Produsen kendaraan terbesar Toyota berjanji akan memproduksi sekitar 3,5 juta mobil listrik tahun 2030. Toyota telah memproduksi kendaraan listrik bermerek Plug-In Hybrid Electric Vehicle (PHEV), Mirai (mobil listrik), dan C-HR (Hybrid Electric Vehicle).
Astra juga berjanji memproduksi kendaraan listrik. Anak usaha PT Indika Energi, PT Mitra Motor Group, bermitra dengan Foxtec Singapura, PT Foxcon Indika Motor, mulai berinvestasi di pabrik baterai mobil listrik dengan investasi 700 juta dollar AS. Perusahaan patungan PT GOTO, Gojek Tokopedia, dan PT TBS Energi Utama (TOBA) menargetkan suplai motor listrik dua juta unit di dalam negeri. Gaikindo mengungkapkan, kendaraan listrik akan diproduksi secara berangsur di Indonesia.
Dari hulu hingga hilir
Pemerintah menetapkan target ambisius, penetrasi kendaraan listrik akan meningkat dari 2 juta unit tahun 2025 menjadi 13 juta unit tahun 2030.
Untuk merealisasikan pengembangan mobil listrik, beberapa kantor pemerintah telah menggunakan mobil listrik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan akan mengoperasikan 100 mobil listrik untuk bus Transjakarta. Angkutan umum juga telah mulai menggunakan kendaraan listrik.
Operator taksi Blue Bird mulai mengoperasikan mobil listrik di Jakarta dan Bali. Tahun 2021, Blue Bird mengoperasikan 200 mobil listrik dan tahun 2022 mengalokasikan anggaran Rp 32 miliar untuk membeli mobil listrik.
Tren global yang mengarah ke mobil listrik ini sangat masuk akal karena dunia sedang gencar mengampanyekan transisi energi guna menekan emisi karbon. AS, Eropa, dan China mulai beralih dari energi tinggi karbon menuju energi bersih. Di sektor otomotif, mereka mulai meninggalkan kendaraan berbasis fosil menuju kendaraan listrik yang ramah lingkungan.
Sektor transportasi selama ini menjadi salah satu penghasil emisi karbon terbesar. Termasuk di Indonesia. Tahun 2020, emisi kita 280 juta ton CO2e. Bandingkan emisi antara kendaraan listrik dan kendaraan BBM. Hitungannya: 1 liter BBM sama dengan 1,2 kWh listrik. Emisi karbon 1 liter BBM adalah 2,4 kg CO2e. Sementara emisi karbon 1,2 kWh listrik adalah 1,3 kg CO2e. Menggunakan kendaraan listrik sama dengan mengurangi hampir 50 persen emisi karbon.
Jika kita tak berbuat sesuatu, pada 2060 emisinya akan mencapai 860 juta ton CO2e per tahun. Satu-satunya cara menurunkan adalah mendorong peralihan kendaraan BBM ke listrik.
Yang lebih penting dari itu tentu posisi Indonesia. Hampir setiap tahun kita meributkan kebijakan kenaikan harga BBM akibat impor minyak terlalu tinggi. Produksi minyak bumi Indonesia sampai 2023 hanya tersisa 700.000 barel per hari (bph), sementara kebutuhan minyak untuk BBM, rumah tangga, dan industri mencapai 1,4 juta bph. Laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat juga meningkatkan kebutuhan konsumsi minyak setiap tahun.
Pemerintah menetapkan target ambisius, penetrasi kendaraan listrik akan meningkat dari 2 juta unit tahun 2025 menjadi 13 juta unit tahun 2030.
APBN dalam tekanan defisit setiap tahun karena impor minyak yang nilainya Rp 500 triliun lebih per tahun. Dana sebesar itu sudah sangat cukup untuk membangun Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur, membiayai pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi di seluruh pelosok negeri.
Indonesia harus bisa menangkap peluang kendaraan listrik karena kita memiliki bahan bakunya. Indonesia produsen nikel terbesar dunia, menyumbang 27 persen produksi nikel global.
Menurut Booklet Nickle (2021), Indonesia punya 72 juta ton cadangan nikel atau 52 persen dari 139 juta ton nikel dunia. Jauh di atas Australia (15 persen), Brasil (8 persen), dan Rusia (5 persen). Artinya, Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku nikel dunia dan memiliki posisi tawar dalam pengembangan kendaraan listrik global.
Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah yang bisa memenuhi kebutuhan manufaktur kendaraan listrik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Selain nikel, Indonesia memiliki cadangan timah terbesar kedua, cadangan bauksit terbesar keenam, dan cadangan tembaga terbesar ketujuh di dunia.
Di samping itu, Indonesia juga memiliki skala pasar otomotif yang besar; 30 persen pangsa penjualan mobil dan 50 persen penjualan motor di ASEAN. Rata-rata terjual 6,5 juta motor dan satu juta mobil setiap tahun. Ini sangat menarik untuk investor. Sebelum insentif kendaraan listrik keluar, investor masih wait and see untuk menanamkan modal karena pangsa pasar kendaraan listrik di Tanah Air masih sangat kecil.
Namun, dengan kebijakan pemerintah baru-baru ini, investor melihat keseriusan komitmen pemerintah untuk membangun pasar kendaraan listrik.
Jangan sampai menyesal karena tidak membangun industri kendaraan listrik dari hulu ke hilir. Jika kita membangun industri nikel saja (hulu), kita hanya bisa mengekspor baterai kendaraan listrik untuk pabrikan kendaraan listrik itu sendiri. Ujung-ujungnya kendaraan listrik itu akan dikirim dan dijual lagi ke Tanah Air, padahal nilai tambah produksi kendaraan listrik jauh lebih besar.
Ferdy Hasiman,Peneliti pada Alpha Research Database Indonesia