Seni menjadi salah satu jalan untuk mewujudkan mimpi anak-anak disabilitas menaklukkan dunia. Karena itu, kampanye kesetaraan perlu terus didengungkan bahwa siapa pun memiliki hak sama merengkuh indahnya dunia seni.
Oleh
ARIS SETIAWAN
·4 menit baca
Beberapa hari setelah Putri Ariani, penyanyi muda penyandang disabilitas netra asal Yogyakarta mendapat golden buzzer dari Simon Cowell pada audisi America’s Got Talent, Muhammad Fauzi, seorang disabilitas rungu, mendapat gelar doktor bidang seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta (12 Juni 2023). Apabila Putri Ariani menjadi penyanyi disabilitas pertama yang mendapat golden buzzer, Muhammad Fauzi adalah disabilitas rungu pertama di Indonesia yang mampu meraih gelar doktor bidang seni dengan predikat cum laude.
Seni tampaknya menjadi salah satu jalan yang mampu mewujudkan mimpi anak-anak disabilitas untuk menaklukkan dunia. Karena lewat senilah ukuran-ukuran normatif tentang ”manusia ideal” itu tereduksi, hilang, atau tak berarti.
Mereka dapat bermain musik dengan gembira tanpa takut tergugat oleh doktrin-doktrin tentang ”kemapanan tubuh”. Mereka dapat menggambar apapun, mewujudkan imajinasi tanpa takut terjerumus dalam dikotomi salah dan benar. Seni dengan demikian tidak semata berkisah tentang estetika, tetapi juga kemanusiaan.
Upaya-upaya untuk terus menggaungkan kesetaraan sosial tidak boleh berhenti, dan dunia seni dapat mengambil posisi terdepan terkait hal tersebut. Bondan Aji Manggala, sosok Etnomusikolog asal ISI Surakarta, dalam beberapa tahun terakhir intens terlibat dengan anak-anak disabilitas rungu. Bondan ingin memperkenalkan musik bagi mereka.
Bagaimana mungkin, musik sebagai sebuah bunyi, dapat didengarkan oleh anak-anak yang tak mampu mendengar? Di titik inilah tentangan itu muncul. Bondan membuat alat yang diberi nama ”ekspresi getar”, benda kecil yang dililitkan pada tangan anak-anak disabilitas rungu. Benda itu merespons setiap bunyi yang muncul di sekelilingnya.
Upaya-upaya untuk terus menggaungkan kesetaraan sosial tidak boleh berhenti, dan dunia seni dapat mengambil posisi terdepan terkait hal tersebut.
Kodrat bunyi adalah getaran, atau gelombang mekanik yang menyebar melalu medium seperti udara dan benda padat. Getaran itu menjadi gelombang suara yang dapat didengar oleh telinga manusia. Gelombang suara itulah yang kemudian ditangkap oleh alat ”ekspresi getar”, diubah kembali menjadi getaran.
Saat ada bunyi keras, alat itu menampilkan getaran yang cepat, begitu juga sebaliknya. Apa jadinya jika beberapa anak memakai alat itu kemudian merespons musik yang dimainkan di sampingnya. Respons itu diwujudkan lewat gambar atau lukisan. Setiap anak diminta melukis berdasar atas getaran yang merambat di tangannya. Yang muncul kemudian adalah kemungkinan-kemungkinan tak terduga. Dengan musik gamelan misalnya, salah satu anak mampu membuat lukisan bertema desa dan gunung, sementara yang lain adalah tentang ibu dan bapaknya.
Pada musik pop atau kontemporer, ekspresi lukisan mereka dapat menjadi lebih abstrak, dengan goresan warna yang lebih beragam dan mencolok. Apabila musik adalah susunan nada-nada yang membentuk harmoni, bagi mereka musik adalah bangunan ”melodi getar” yang indah. Getaran itu hidup, sebagaimana orang normal mendengar merdunya suara penyanyi.
Lewat getaran musik yang ”dirasakan” (bukan didengar) itu, mereka merasa mampu meluapkan ekspresi batin yang selama ini dipendam. Tentang alam, kampung halaman, orangtua, lingkungan, bahkan lebih luas lagi. Musik mengatarkan mereka kepada sesuatu yang melampaui batas pendengaran. Hasilnya adalah rasa percaya diri dan kebahagiaan.
Apabila Bondan bergerak di wilayah musik, Muhammad Fauzi di ruang fotografi. Karya disertasinya yang berjudul ”Fotografi Isyarat” mengungkapkan berbagai ekspresi tangan dari anak-anak disabilitas rungu yang membentuk pola-pola indah. Fauzi ingin menyampaikan bahwa lewat fotografi, anak-anak disabilitas mampu mengeksplorasi kreativitas tanpa batas. Karya-karya mereka layak untuk diapresiasi, bahkan bermisi penyadaran tentang arti penting sebuah kesetaraan.
Sementara itu, pada sebuah jurusan langka bernama Etnomusikologi di ISI Surakarta, beberapa anak berkebutuhan khusus sibuk bermain gamelan. Di jurusan itu terdapat lebih dari lima mahasiswa yang memiliki keterbelakangan mental. Di kelas-kelas musik, mereka bermain bersama mahasiswa umumnya. Hal itu semata agar tidak merasa ”dibedakan”, ”dikhususkan”, dan lebih penting lagi ”dianaktirikan”.
Ada keyakinan yang dipercayai bahwa musik mampu menjadi jembatan ideal bagi tumbuhnya rasa empati dan membangun rasa percaya diri. Anak-anak berkebutuhan khusus itu menjadi lebih terbuka, lebih komunikatif, dan mampu berbaur dengan mahasiswa umumnya tanpa sekat. Musik menghapus batas-batas ”ukuran ideal” seorang manusia yang cenderung diskriminatif. Dalam konteks seni, pada beberapa waktu belakangan, muncul gerakan positif untuk mendekonstruksi eksklusifitas tradisi.
Sebagaimana diketahui, tidak semua orang dapat dengan mudah masuk kampus seni menjadi mahasiswa. Ada ukuran-ukuran ideal seorang dinyatakan layak sebagai mahasiswa seni. Calon mahasiswa harus mampu bermain musik bagus agar lolos masuk di jurusan musik. Mereka harus memiliki tinggi badan ideal dan tubuh proporsional untuk bisa diterima di jurusan tari. Seniman yang bagus bermuara pada kemampuan fisik sempurna.
Kisah tentang kritikus tari, Sal Murgiyanto, menjadi menarik disimak. Ia diterima di jurusan tari, tetapi karena tak memiliki tinggi badan ideal, ia seringkali ditempatkan pada posisi peran tari untuk tokoh-tokoh semenjana, di luar tokoh utama yang menjadi idola. Tubuh tak proporsional dianggap ”kesalahan”, berakibat pada pupusnya cita-cita untuk menjadi seniman andal. Kita terlalu sulit membedakan antara tes masuk kampus seni dengan tes masuk akademi militer.
Namun, kampanye kesetaraan terus didengungkan, bahwa siapapun memiliki hak sama untuk dapat merengkuh indahnya dunia seni. Dan hal tersebut mulai diwujudkan lewat semakin terbukanya akses bagi anak-anak disabilitas untuk terlibat lebih intim di dunia seni. Maka, hari ini, kita begitu mudah menjumpai anak-anak disabilitas netra menjadi mahasiswa musik (termasuk karawitan), anak-anak berukuran fisik pendek (maaf: sering disebut cebol) menjadi mahasiswa jurusan tari, dan anak-anak berkebutuhan khusus menjadi mahasiswa Etnomusikologi.
Di kala secara fisik ataupun mental mereka seringkali tertekan dalam konteks pergaulan sosial, maka di wilayah seni mereka dapat terus tumbuh menjadi pribadi yang istimewa, mampu mempertontonkan karya-karya yang bahkan mungkin ”melampaui” ukuran atau standar pada umumnya. Kisah Putri Ariani dan Muhammad Fauzi dapat menjadi pematik bahwa apa yang awalnya dianggap tidak mungkin justru mampu memberi kejutan besar, bukan saja karya mereka yang monumental, melainkan juga nilai dan makna di baliknya; dalam dunia seni, tidak ada perbedaan antara satu dan lainnya. Kesetaraan, emansipatif, dan keadilan menjadi sebuah keniscayaan.
Aris Setiawan, Etnomusikkolog, Dosen di ISI Surakarta