Ideologi Pembangunan Jokowi
”Jokowisme” adalah manifestasi etos baru kepemimpinan politik, melambangkan model kepemimpinan yang rendah hati, dekat dengan rakyat. Menjadi standar bagi pejabat publik tentang apa arti melayani kepentingan umum.
Kelompok yang kritis menyebut Joko Widodo (Jokowi) mempraktikkan neoliberalisme. Ada pula yang menyebutnya menjalankan kapitalisme negara. Sementara kelompok libertarian menyoroti peran negara yang besar (big government) sebagai ciri pemerintahan Jokowi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan -isme sebagai sebuah pandangan, haluan, atau wawasan. Selama ini banyak orang mencoba mendefinisikan spektrum ideologi Jokowi dan memberi tafsir berbeda-beda terhadapnya.
Dalam konteks ini, istilah ”Jokowisme” adalah sebuah ikhtiar untuk mendefinisikan paham, corak, dan langgam kepemimpinan yang dibangun Jokowi dalam menjalankan pemerintahan. ”Jokowisme” tidak bisa dipenjara dalam definisi ideologi, entah sosialisme, sentrisme, atau kapitalisme. ”Jokowisme” bergerak melampaui sekat-sekat ideologi, luwes menyesuaikan diri sesuai keadaan.
Cara kerja kekuasaan
Selama ini ada yang menyebut Jokowi mempraktikkan neoliberalisme, ada pula yang menyebutnya menjalankan kapitalisme negara. Sebagian pihak lainnya lagi menyoroti peran negara yang besar sebagai ciri pemerintahan Jokowi.
Berbagai tafsir tersebut mempunyai satu kelemahan mendasar: gagal dalam memahami cara kerja kekuasaan.
Mereduksi proses pengambilan keputusan yang kompleks hanya dengan melihatnya dalam kacamata ideologi pada era yang sejak lebih dari setengah abad lalu oleh Daniel Bell diramalkan sebagai ”the end of ideology”. Masa di mana ideologi politik tidak lagi relevan karena keputusan-keputusan diambil melalui proses yang lebih teknokratik.
Baca Juga: Jokowisme
Rapat kabinet soal penentuan perlu tidaknya impor wortel tanpa daun tidak akan pernah diisi dengan debat apakah kebijakan akan diambil dengan menggunakan dasar pemikiran sosialisme, kapitalisme, atau sentrisme. Proses pengambilan kebijakan sehari-hari pada kenyataannya sering kali diambil dalam situasi dan pilihan serba terbatas dengan mempertimbangkan kondisi finansial negara dan dampak sosial yang ditimbulkan.
Keputusan-keputusan parsial dalam berbagai isu itu kemudian secara post-factum ditafsirkan para pengamat sebagai ideologi dengan berbagai variannya. Pada konteks inilah, kata-kata tokoh reformis China, Deng Xiaoping, menjadi relevan: ”Tidak penting kucing hitam atau putih, yang penting kucing itu bisa menangkap tikus”. Kemajuan bisa dicapai dalam keluwesan berpikir dan bertindak.
Dalam pengelolaan pemerintahan sehari-hari, ideologi tidak lagi relevan. Apa yang ditafsirkan sebagai ideologi oleh pengamat pada praktik kekuasaan bukan lagi sesuatu yang diterima secara utuh dan dipeluk secara fanatik secara terus-menerus. Ia hanyalah sebuah alat, sebuah metode untuk memecahkan masalah secara parokial.
There’s no one-size-fits-all solution. Tak ada satu solusi ideologi yang bisa memecahkan segala masalah. Adakalanya keputusan diambil dengan meminjam pikiran mereka yang pro-pasar untuk menggerakkan pertumbuhan. Adakalanya negara mengintervensi dan mengerahkan sumber daya untuk menyubsidi masyarakat—meminjam istilah Amartya Sen— agar mereka berdaya dan bisa berfungsi secara maksimal dalam masyarakat.
Tafsir mengenai ideologi Jokowi tentu diperlukan sebagai bagian dari kajian akademis. Namun, dalam hemat penulis, mengukur Jokowi atau ”Jokowisme” akan lebih relevan jika ditempatkan dalam konteks mengukur posisi kekuasaan ketika berhadapan dengan isu keadilan. Ada di mana ”Jokowisme” dalam merespons isu penting ini?
Kesejahteraan dan keadilan
Selama ini ada kritik yang menyebut Jokowi hanya fokus pada pembangunan fisik lewat pembangunan masif infrastruktur.
Duet pemenang Nobel Ekonomi 2019, Abhijit V Banerjee dan Esther Duflo, dalam Good Economics for Hard Times (Public Affairs Publisher, 2019) menerangkan bahwa salah satu tantangan terbesar bagi negara kepulauan yang luas seperti Indonesia adalah tidak terintegrasinya ekonomi secara merata akibat satu wilayah dengan wilayah lain tidak terkoneksi dengan baik.
Akibatnya, banyak wilayah yang selama puluhan tahun terisolasi, tidak bisa mendapat manfaat dari aktivitas ekonomi. Transportasi yang buruk telah mengikis keunggulan komparatif dan membuat daerah-daerah terisolasi mengalami kesulitan dalam membangun perekonomian.
Pembangunan infrastruktur besar-besaran di wilayah Indonesia bagian timur adalah bagian dari visi mengurangi kesenjangan dengan wilayah Indonesia bagian barat.
Tak ada cara lain untuk memperbaiki ekonomi dan pengentasan rakyat dari kemiskinan di daerah-daerah terisolasi kecuali dengan membuka isolasi dengan memperbaiki konektivitas berupa jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan. Banerjee dan Duflo empat tahun lalu dianugerahi Nobel Ekonomi atas kontribusi teoretis mereka dalam membantu mengatasi kemiskinan global.
Dari temuan Banerjee dan Duflo, kita bisa melihat bahwa pembangunan infrastruktur yang dijalankan Jokowi mempunyai dasar empiris secara ekonomi. Pembangunan infrastruktur besar-besaran di wilayah Indonesia bagian timur adalah bagian dari visi mengurangi kesenjangan dengan wilayah Indonesia bagian barat.
Meninggalkan model pembangunan yang bersifat Jawasentris, dan itu menjawab isu krusial yang menjadi sumber kekecewaan masyarakat Indonesia bagian timur yang selama ini merasa ditinggalkan.
Pembangunan infrastruktur yang didorong oleh hilirisasi sumber daya alam yang sebagian besar berada wilayah Indonesia bagian timur adalah jawaban atas isu kesejahteraan dan keadilan. ”Jokowisme” adalah manifestasi gagasan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jokowi adalah metafora the Indonesian dreams, bahwa di negeri ini siapa pun bisa memperoleh kesempatan yang sama untuk menjadi apa pun asal bersedia belajar dan bekerja keras.
Semangat zaman
”Jokowisme” mewakili zeitgeist atau semangat zaman dalam konteks sejarah politik Indonesia. Ia muncul dengan cara otentik dan mengalahkan para elite politik lewat proses demokratis dari bawah.
Jokowi adalah metafora the Indonesian dreams bahwa di negeri ini siapa pun bisa memperoleh kesempatan yang sama untuk menjadi apa pun asal bersedia belajar dan bekerja keras. Jokowi adalah presiden yang tumbuh dari bawah, berjuang sejak kecil untuk mendapat pendidikan dan merintis karier sebagai pengusaha furnitur kecil sebelum akhirnya masuk politik dan dipilih oleh rakyat sebagai presiden.
Itulah makna paling esensial dari demokrasi: memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada semua orang untuk berkembang dan mengembangkan kemampuan terbaik dari diri mereka.
Dalam politik, Jokowi berhasil mendobrak tradisi kekuasaan yang selama ini didominasi oleh para elite. Ia adalah sebuah kisah menarik bagaimana seorang presiden yang bukan ketua umum sebuah partai bisa berhasil mengelola kekuasaan dalam sistem multipartai yang rumit.
Kemunculan Jokowi dalam politik juga mengubah persepsi publik tentang politisi.
Penampilannya yang sederhana mengenakan kemeja putih lengan digulung, sneakers, dan blusukan menemui rakyat, bahkan masuk ke gorong-gorong, disukai oleh masyarakat dan berhasil membangun persepsi baru bahwa politisi yang ”keren” adalah politisi yang berpenampilan biasa-biasa saja dan dekat dengan rakyat.
Bukan seperti politisi kebanyakan yang gemar memakai setelan jas lengkap berdasi sambil berdiskusi di ruang-ruang sidang resmi.
Peta jalan kemajuan
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menyebut bahwa Indonesia mempunyai kesempatan besar untuk menjadi negara maju. ”Peluang ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-sebaiknya. Kesempatan kita 13 tahun ke depan, apakah bisa melompat atau tidak,” kata Jokowi di hadapan ribuan sukarelawan di Istora Senayan, Jakarta (14/5/2023).
Oleh karena itu, presiden 2024, 2029, dan 2034 sangat menentukan—kata Jokowi— merujuk kepada kesempatan apakah Indonesia akan bisa melompat lebih tinggi atau tidak.
”Jokowisme” adalah bagian dari upaya memastikan peta jalan kemajuan Indonesia terwujud. Ia bisa kita jadikan kerangka dalam memilih presiden 2024, 2029, dan 2034. Menjadi benchmark untuk menilai kandidat mana yang paling mendekati visi tentang masa depan Indonesia.
Kedua, ”Jokowisme” adalah bagian dari upaya merumuskan sebuah model kepemimpinan ala Indonesia. Ia adalah legacy Jokowi dalam bentuk ide, gagasan tentang bagaimana cara mengelola sebuah negeri yang beragam, memimpin 280 juta warga dengan segala kompleksitasnya dalam sebuah sistem demokrasi, dan membawa mereka menuju tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
”Jokowisme” juga adalah manifestasi etos baru kepemimpinan politik, melambangkan model kepemimpinan yang rendah hati, dekat dengan rakyat. Menjadi standar bagi pejabat publik tentang apa arti sesungguhnya dari kata-kata: melayani kepentingan umum.
Andy Budiman, Wakil Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia