”Tokenisme Lingkungan”
Jakarta mengalami krisis kualitas udara, terburuk ketiga di dunia. Jika salah satu penyumbang utama buruknya kualitas udara adalah transportasi dan kendaraan listrik jadi solusi andalan, maka itu ”tokenisme” lingkungan.
”Ternyata rela tak semudah kata....”
”Runtuh”, Fiersa Besari & Feby Putri
Mencermati krisis kualitas udara Jakarta belakangan ini—yang menempatkannya sebagai kota dengan kualitas udara terburuk ketiga di dunia (Kompas, 31/5/2023)—mau tidak mau menggoda kita untuk memercayai adanya gejala ”tokenisme” dalam pengendalian lingkungan di negeri ini.
Indeks kualitas udara Jakarta pada akhir Mei itu mencapai 156 dengan kadar partikel yang berdiameter 2,5 mikron, atau lebih kecil (particulate matter 2,5) 65 mikrogram per meter kubik udara (µg/m3), atau 13 kali lebih tinggi dari ambang batas aman versi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pemberitaan tentang buruknya kualitas udara Jakarta dan perbincangan yang mengikutinya sama sekali bukan ”barang” baru. Sebagai isu, ia sering timbul dan lantas tenggelam oleh isu lain. Bahkan, peluang untuk mempertahankan birunya langit saat pandemi terlewat begitu saja.
Cara hidup sak madya (secukupnya) yang dipaksakan oleh pandemi Covid-19—selama lebih dari 100 hari waktu itu—ternyata tidak meninggalkan bekas yang terlalu dalam. Langit yang pernah membiru nan cerah segera suram oleh selimut kabut dan asap seiring dengan pemberlakuan masa ”normal baru” saat itu.
Gagasan tentang perlunya kolaborasi semua pihak—pemerintah, akademisi, LSM, dan pelaku usaha—untuk mengatasi krisis kualitas udara sudah menjadi wacana klasik.
Baca juga: Udara Jakarta yang Membahayakan Jiwa
Gagasan kolaborasi itu belum atau bahkan tidak menyentuh unsur yang lebih hakiki, yaitu ketidakrelaan untuk berubah. Pada aras individu, ketidakrelaan itu mewujud dalam keengganan untuk mengubah gaya hidup. Sementara, pada aras organisasi, terutama industri, ia berupa keterperangkapan dalam cara kerja yang biasa (business as usual).
Dengan semakin kuatnya tekanan publik tentang pentingnya aspek keberlanjutan terhadap semua pihak, praktik business as usual menjadi semakin sulit. Semua kalangan mau tidak mau harus menampilkan wajah ”hijau”-nya.
Prakarsa-prakarsa keberlanjutan oleh berbagai kalangan bermunculan dalam beragam wujud. Namun, tak semua prakarsa ramah lingkungan yang diangkat ke permukaan itu tulus adanya. Gagasan, program, dan kegiatan ramah lingkungan yang dimunculkan tidak jarang hanya bersifat ”lamis” alias basa-basi belaka tanpa niat yang murni. Gejala ini dikenal sebagai ”tokenisme lingkungan” yang justru merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan.
Tidak rela
Keutuhan lingkungan (environmental integrity) hampir selalu dikalahkan oleh kemendesakan ekonomi. Seperti saat masuk fase ”normal baru”—pada masa pandemi—demi pemulihan keadaan, anjuran para ekonom tiada lain adalah menggenjot konsumsi. Kemendesakan untuk segera pulih merupakan cerminan ketidakrelaan bergeser dari zona nyaman konsumsi.
Maka, tak heran jika hanya dalam hitungan bulan, kita semua langsung mengalami amnesia lingkungan. Terlupa sudah perasaan bahagia saat menyaksikan biru dan jernihnya langit kota-kota kita.
Keutuhan lingkungan ( environmental integrity) hampir selalu dikalahkan oleh kemendesakan ekonomi.
Dalam perkara energi, misalnya, ketidakrelaan manusia untuk mengurangi konsumsi bukan sekadar karena jerat zona nyaman, melainkan karena memang sudah kecanduan. Tak keliru jika Yuval Harari (2018) menyentil kita semua: ”Hello, I am Homo sapien and I am a fossil-fuel addict”. Ketidakrelaan untuk mengendurkan konsumsi energi itulah yang menjadi penyebab keputusan negara-negara yang terkenal hijau, seperti Jerman dan Perancis, untuk dengan sigap mengimpor batubara yang dianggap sebagai sumber energi kotor, ketika terjadi embargo gas dari Rusia.
Meski ada perang Rusia-Ukraina, dahaga energi harus dipenuhi sekalipun harus ”meneguk” bahan bakar yang kotor. Konflik Rusia-Ukraina itu juga memaksa negara-negara G20 melenturkan target transisi energi (Kompas, 12/7/2022).
Contoh lain, konsep triple bottom line (planet, people, profit) yang mengandaikan keseimbangan antara ekonomi, ekologi, dan sosial dalam menjalankan usaha. Ketika kalangan bisnis mengadopsi konsep ini, apakah dilandasi niat tulus atau hanya jadi slogan tanpa diimplementasikan secara konsisten dan transparan. Jangan-jangan ujung-ujungnya hanya cuan (profit) yang jadi prioritas utama tanpa memperhatikan dampaknya pada lingkungan (planet) dan masyarakat (people).
Hal serupa terjadi dalam krisis kualitas udara di Jakarta. Jika salah satu penyumbang utama buruknya kualitas udara adalah transportasi dan kendaraan listrik menjadi salah satu solusi andalan, ”tokenisme” terpampang cukup jelas.
Kampanye dan promosi mobil listrik yang masif itu ternyata belum diimbangi dengan ”penghijauan” sisi hulu dan hilirnya. Di hulu, pasokan listrik masih mengandalkan PLTU berbasis batubara. Gairah pengembangan PLTS atap yang mestinya bisa menjadi pasangan serasi bagi mobil listrik justru dikempiskan oleh pembatasan pemanfaatannya yang hanya 10-15 persen.
Begitu pula di hilir. Hingga saat ini belum ada peta jalan yang utuh, apalagi jaminan penanganan limbah baterai listrik yang tidak berisiko bagi lingkungan dan kesehatan.
Tokenisme lingkungan
Tokenisme lingkungan hanyalah ”basa-basi” lingkungan semata. Sering kali perlu pencermatan serius untuk mampu membedakan mana yang sekadar basa-basi alias green washing dan yang sungguhan.
Tokenisme lingkungan dapat mengubur sikap asli, otentik, orang per orang, masyarakat, atau organisasi terhadap lingkungan. Tokenisme sebenarnya sama sekali bukan opsi minimalis (not even the best among the worst), melainkan tidak lebih dari program icip-icip (a bit of this, a bit of that).
Pada aras individu, salah satu contoh tokenisme lingkungan adalah keikutsertaan dalam kegiatan Earth Hour yang digelar setiap tahun pada Sabtu malam terakhir bulan Maret. Sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap perlindungan lingkungan, pemadaman lampu dan peralatan listrik lain selama satu jam memang menarik, apalagi dilakukan serentak di berbagai belahan dunia. Namun, Earth Hour masih punya watak kosmetik dan basa-basi.
Pengurangan emisi karbon rata-rata per orang yang didapat dari pemadaman listrik selama satu jam sebenarnya hanya sekitar setengah kilogram karbon dioksida, yang ternyata hanya setara dengan mengemudi mobil sejauh 2 kilometer. Tentu saja banyak cara lain yang jauh lebih efektif mengurangi emisi, seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi, membatasi perjalanan udara, dan tentu saja memastikan pembelian barang yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan.
Tokenisme lingkungan dapat mengancam upaya-upaya nyata untuk melindungi dan menyelamatkan lingkungan hidup. Tokenisme lingkungan dapat menimbulkan kesan bahwa masalah lingkungan sudah teratasi atau tak begitu penting lagi untuk diperbincangkan. Hal ini dapat menghalangi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang lingkungan hidup karena mengandaikan semuanya telah terkendali.
Baca juga: Pemprov DKI Terapkan Upaya Lebih Agresif Kendalikan Polusi Udara
Oleh karena itu, kita perlu waspada terhadap tokenisme lingkungan dan memastikan bahwa setiap kebijakan atau tindakan yang berkaitan dengan lingkungan hidup benar-benar dilakukan dengan niat tulus dan punya dampak besar.
Transparansi dan akuntabilitas dari pihak-pihak yang bertanggung jawab atas lingkungan hidup perlu terus dikawal.
Prinsip-prinsip keadilan lingkungan, seperti polluter pays principle (PPP) dan common but differentiated responsibility (CBDR), tak dapat dikesampingkan lagi. Sudah saatnya perlindungan lingkungan terintegrasi dalam penciptaan keadilan sosial. Karena lingkungan hidup adalah milik kita bersama, jangan biarkan tokenisme lingkungan merusaknya.
Budi Widianarko,Dosen Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata dan Anggota Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang