Status Endemi Covid-19
WHO menyatakan status Covid-19 sudah bukan lagi kedaruratan kesehatan global. Namun, program kesehatan harus terus ditingkatkan untuk mendorong semua anggota masyarakat selalu menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Kompas, 14 Juni 2023, memuat laporan utama berjudul ”Status Endemi Segera Diumumkan” dan dalam penjelasannya disebutkan langkah ini perlu disertai kebijakan khusus untuk transisi dari pandemi menuju endemi.
Kita perlu tahu bahwa istilah ”pan” artinya semua atau banyak. Jadi, status pandemi artinya terjadi wabah di seluruh dunia atau setidaknya di sebagian besar negara. Oleh karena itu, pernyataan pandemi selalu dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pernyataan bahwa pandemi selesai juga dilakukan WHO jika dunia secara umum sudah berhasil mengatasi Covid-19 ini.
Dengan kata lain, yang bijak dinyatakan suatu negara tertentu adalah bahwa di negaranya situasi Covid-19 sudah terkendali. Tidak perlu menyebutkan bahwa di dalam negaranya pandemi sudah berhenti. Di sisi lain, tentu tepat kalau suatu negara menyatakan bahwa Covid-19 sudah menjadi endemi kalau situasi epidemiologinya sudah terkendali, jauh lebih baik dari situasi tahun 2020 sampai 2022.
Demikian pula dapat dimengerti bahwa masih disebut endemi karena kasus masih akan ada, yang masuk rumah sakit juga tetap akan ada, bahkan yang meninggal akibat Covid-19 juga tetap ada, hanya jumlahnya terbatas. Jadi, Covid-19 belumlah hilang, tetapi masih dalam situasi endemi, seperti beberapa penyakit menular lain.
Baca juga: Presiden Akan Umumkan Transisi Menuju Endemi pada Juni Ini
Kita tahu juga bahwa pada 5 Mei 2023, WHO menyatakan status Covid-19 sudah bukan lagi kedaruratan kesehatan global. Jadi, kalau situasi epidemiologi kita sudah benar-benar terkendali, tentu dapat dimengerti kalau keputusan kedaruratan kesehatan nasional di negara dicabut.
Kita tahu, pada 31 Maret 2020 mulai diberlakukan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019. Kita akan lihat bagaimana kebijakan pemerintah selanjutnya tentang hal ini.
Surveilans, penyuluhan, dan riset
Dalam kerangka transisi ke endemi dan bahkan kalaupun sudah ada dalam situasi endemi, setidaknya ada lima hal yang perlu dilakukan pemerintah.
Pertama, surveilans harus terus berjalan baik. Artinya, harus dijamin agar pengamatan perkembangan epidemiologi penyakit secara terus-menerus dilakukan dengan baik dan kalau ada perubahan pola gejolak kasus dan kematian, harus segera dapat dideteksi dan dilakukan penanganan dengan baik.
Surveilans perlu dilakukan dalam bentuk epidemiologik lapangan untuk mendeteksi suspek, kasus, dan kematian, seperti penanganan penyakit menular pada umumnya. Yang lebih penting lagi untuk Covid-19 ini adalah melakukan surveilans biomolekuler genomik agar bisa segera kita deteksi kalau ada varian baru. Dari data GISAID, jumlah whole genomic sequencing (WGS) yang rutin kita kirimkan masih relatif rendah.
Kedua, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat harus selalu dijaga agar berjalan baik. Misal, surat edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 1 tanggal 9 Juni 2023 tentang kelonggaran penggunaan masker harus dipahami masyarakat bahwa boleh saja, bahkan lebih baik, tetap memakai masker jika kita sedang sakit infeksi saluran pernapasan (bukan hanya Covid-19) agar tak menulari orang lain. Juga kalau mereka yang berisiko tinggi masuk ke dalam kerumunan yang diduga bisa menulari Covid-19 atau penyakit infeksi pernapasan lain.
Karena sekarang ini sedang ada berita polusi udara, maka masker juga dapat digunakan agar udara lebih bersihlah yang kita hirup masuk ke paru-paru. Cuci tangan sebaiknya terus dilakukan karena dapat mencegah penularan berbagai penyakit, bukan hanya Covid-19.
Masyarakat juga perlu terus diberi penyuluhan agar kalau ada keluhan yang mengarah ke Covid-19, mereka segera memeriksakan diri agar mendapatkan penanganan kesehatan yang baik. Penyuluhan tentang vaksinasi juga perlu terus dilakukan karena vaksinasi adalah salah satu modalitas penting pencegahan penyakit menular, termasuk Covid-19. Vaksinasi penguat kedua harus dilanjutkan sambil menunggu perkembangan ilmu selanjutnya untuk tahu apakah masih perlu divaksin dengan vaksin yang sekarang atau ada temuan ilmiah lain.
Hal ketiga, pemerintah perlu terus mendukung dan mendorong penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan kedokteran dan kesehatan di bidang Covid-19. Ini pandemi terbesar yang pernah kita alami dan waktu tiga tahun pandemi ternyata masih banyak fenomena yang harus dijawab oleh riset.
Misalnya, bagaimana keadaan kesehatan pasien long Covid-19 sesudah lima atau sepuluh tahun nantinya, bagaimana vaksin yang tepat kalau nanti ada varian-varian baru, bagaimana pengobatan yang terbaik, dan lain-lain.
Yang lebih penting lagi untuk Covid-19 ini adalah melakukan surveilans biomolekuler genomik agar bisa segera kita deteksi kalau ada varian baru.
Tentu akan baik kalau para pakar kita yang meneliti berbagai aspek Covid-19 ini dan menghasilkan temuan ilmiah yang akan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat kita, bahkan juga di kancah di dunia internasional. Perlu diketahui bahwa perkembangan riset Covid-19 juga membuka cakrawala baru untuk penanganan penyakit lain, misalnya pembuatan vaksin berbasis mRNA untuk tuberkulosis, penanganan HIV/AIDS, dan lain-lain
Kebijakan kesehatan
Hal keempat yang perlu dilakukan adalah agar kebijakan pemerintah secara umum tetap memberi porsi penting bagi kesehatan. Ketika pandemi Covid-19, semua sumber daya diprioritaskan untuk kesehatan. Kini, dengan situasi Covid-19 sudah lebih terkendali, kita berharap sumber daya optimal tetap diberikan pada sektor kesehatan. Ini meliputi komitmen politik, tenaga kerja kesehatan, sarana dan prasarana, serta anggaran kesehatan yang memadai.
Terkait besaran anggaran kesehatan, dalam draf RUU Kesehatan yang kini ramai dibicarakan, tertuang dalam Pasal 420 Ayat 2 bahwa besar anggaran kesehatan pemerintah pusat dialokasikan minimal 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di luar gaji.
Kemudian, pada Ayat 3 disebutkan besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dialokasikan minimal 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di luar gaji.
Sayangnya, dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah terhadap RUU ini, angka ”10 persen” pada pasal di atas menjadi ”dihapuskan”.
Pemerintah berdalih bahwa ditulisnya angka 10 persen akan dapat membatasi kebutuhan; tetapi di sisi lain, tidak dicantumkannya besaran angka minimal tersebut juga membuat tidak ada jaminan belanja kesehatan tidak akan berada di bawah angka tersebut.
Hal lain yang juga amat penting adalah peran serta berbagai sektor terkait karena pada dasarnya masalah kesehatan bangsa tidak dapat diselesaikan oleh kalangan kesehatan semata atau hanya oleh Kementerian Kesehatan. Perlu terus dibangun hubungan harmonis dan kerja bersama dengan semua pemangku kepentingan, termasuk aktor pelayanan kesehatan di lapangan.
Hal kelima yang juga amat perlu dilakukan pemerintah adalah penguatan kebijakan kesehatan di area promotif preventif. Kita semua sepakat, mencegah lebih baik daripada mengobati.
Sudah sejak dulu selalu disebutkan bahwa promotif dan preventif itu penting, tetapi pada kenyataannya perhatian dan sumber daya lebih berat diberikan pada aspek kuratif. Pengalaman selama pandemi Covid-19 kembali menunjukkan kepada kita bahwa pola hidup sehat dan mencegah jangan sampai jatuh sakit merupakan komponen amat penting dalam pengendalian pandemi.
Baca juga: WHO Putuskan Fase Darurat Penanganan Covid-19 Berakhir
Oleh karena itu, program kesehatan harus terus ditingkatkan untuk mendorong semua anggota masyarakat selalu menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, baik untuk mencegah Covid-19 maupun penyakit lain. Selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan, makan bergizi seimbang, melakukan aktivitas fisik dan olahraga, istirahat yang cukup, dan mengelola stres merupakan bagian amat penting bagi kesehatan kita dan kesehatan bangsa.
Dalam masa transisi menuju endemi dan dalam situasi endemi sekalipun, program kesehatan bangsa kita jelas-jelas menunjukkan pentingnya pola hidup sehat, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit; sejalan dengan penanganan kalau penyakit sudah timbul.
Mudah-mudah pendekatan ini yang akan kita lihat secara nyata di tahun mendatang dan juga pada program pemerintah baru kelak. Kita berharap para calon presiden kita memasukkan aspek promotif preventif ini dalam rencana program kerja kesehatan mereka.
Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Guru Besar FKUI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara