Berebut Restu Jokowi
Hampir semua bacapres dan partai politik yang ingin bertarung pada Pemilu dan Pilpres 2024 selalu merekatkan makna asosiasi dirinya dengan Jokowi.
Dalam beberapa bulan terakhir, kita menyaksikan fenomena yang tidak biasa pada dinamika politik di Indonesia. Hampir semua kandidat calon presiden (capres) dan juga partai politik berebut restu Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk maju dalam Pilpres 2024.
Fenomena ini tidak biasa, mengingat; pertama, Presiden Jokowi sebentar lagi akan habis masa jabatannya. Dalam teori politik, posisi Jokowi sekarang sudah seharusnya menjadi lame duck atau bebek lumpuh yang tak digubris lagi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kedua, Jokowi bukan pemimpin partai politik. Alih-alih, dia hanyalah ”petugas partai”, dan saat ini partai yang menugaskannya sudah pula menugaskan petugas lain menggantikannya. Bahkan, dia juga bukan tokoh berpengaruh di sebuah organisasi kemasyarakatan besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah. Di dalam hukum besi oligarki, Jokowi nyaris tak punya mata uang yang bisa ditukarkan.
Baca Juga: Parpol Akui Pengaruh Dukungan Jokowi pada Elektabilitas Bakal Capres
Ketiga, ditinjau dari persyaratan formal-prosedural, tidak ada syarat yang mewajibkan seorang capres harus mendapat rekomendasi presiden untuk menjadi kandidat di dalam pilpres. Sehingga, ada atau tidaknya restu Jokowi sama sekali tidak berpengaruh pada sah-tidaknya syarat pencapresan seorang kandidat.
Lalu, apa yang membuat restu Jokowi bisa demikian memengaruhi dinamika elite politik Tanah Air sedemikian rupa?
Peta dasar
Apabila kita menganalisis peta dasar yang melambari dinamika politik Pilpres 2024, hampir tidak bisa melepaskan artefak Pilpres 2014, Pilpres 2019, dan Pilkada DKI 2017. Di ketiga event politik itulah peta politik Tanah Air membentuk kluster pemilih yang menjadi pattern dasar perebutan suara di Pilpres dan Pemilu 2024.
Sebagaimana kita ketahui, pasca-Pilpres 2014 telah terjadi ”pembalseman” artefak konflik pilpres yang mengakibatkan polarisasi massa pendukung kandidat presiden terfragmentasi ke dalam dua kubu yang pro dan kontra pemerintah.
Pada tahap selanjutnya, kondisi tersebut membentuk pattern budaya politik yang konfliktual, di mana hampir semua isu politik, momen politik, dan agenda politik selalu menghadirkan dua sikap atau pendapat yang konfrontatif, bahkan saling menegasikan satu sama lain. Puncaknya terjadi pada Pilkada DKI 2017 yang secara ekstrem mengeraskan fragmentasi kedua kelompok ini.
Apabila kita menganalisis peta dasar yang melambari dinamika politik Pilpres 2024, hampir tidak bisa melepaskan artefak Pilpres 2014, Pilpres 2019, dan Pilkada DKI 2017.
Sebagai dampak lanjutan dari kondisi tersebut, terjadi pematenan loyalitas kelompok, dan tertutupnya jalan ketiga. Skema popularitas hanya dirumuskan ke dalam dua kutub figur, yaitu Jokowi dan Prabowo. Akibatnya, tidak ada figur-figur alteratif yang bisa muncul ke puncak elektabilitas dalam Pilpres 2019. Karena siapa pun akan diidentifikasi orientasi keberpihakannya kepada figur Jokowi atau Prabowo.
Sebagaimana kita saksikan, persaingan Pilpres 2019 bahkan tidak melahirkan profil pemimpin baru, dan sepi dari gagasan orisinal. Tidak ada satu pun dari narasi-narasi yang muncul ke permukaan membawa sebuah konsep yang luas diperbincangkan, dan menjadi isu nasional. Semua isu yang muncul selalu dipaksa kembali pada satu dari dua konklusi, ”tetap Jokowi” atau ”ganti presiden”.
Tanpa kita sadari, fenomena ini telah mengerdilkan mekanisme demokrasi sebagai sokoguru merit-system. Para tokoh dan politisi di negara ini lebih mengejar stigma asosiasi dirinya dengan kedua figur yang ada daripada bekerja merumuskan satu prinsip atau visi masa depan politik yang otentik.
Dampak lanjutan yang muncul kemudian adalah terjadinya sakralisasi figur. Baik Jokowi maupun Prabowo menjadi sosok yang demikian dipuja, tetapi sekaligus dibenci. Profil mereka menjadi sakral dan kehilangan nilai manusiawinya. Akibatnya, terjadinya simplifikasi sistem politik di negara kita, dari semula bersifat institusional, menjadi personal.
Mirip seperti era Orde Baru dan Orde Lama. Hanya bedanya, apabila pada kedua era sebelumnya, baik Soekarno maupun Soeharto membangun sendiri sakralitas dirinya, dan menghimpun dalam dirinya semua kekuasaan politik. Di Pilpres 2019, baik Jokowi maupun Prabowo, disakralisasi oleh para pendukungnya. Fakta ini jelas mencemaskan karena demokrasi sejatinya menuntut agar kita menginsitusionalisasikan sistem, bukan mempersonalisasikannya.
Baca Juga: Membaca Polarisasi Politik
Maka kita patut mengapresiasi keputusan para elite politik ketika selesai Pilpres 2019, di mana Jokowi merangkul Prabowo masuk bergabung ke dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan. Selain benar secara konstitusional, langkah tersebut dianggap sebagai terobosan positif dari kedua tokoh kunci ini untuk mencairkan polarisasi kelompok yang ada.
Namun, sebagaimana kita saksikan bersama, alih-alih mencair, polarisasi tersebut malah membentuk struktur polarisasi baru, tetapi dengan format kompisisi yang mirip, demi menyongsong perhelatan Pilpres 2024. Inilah yang menjadi perhitungan para elite politik hari ini.
Tampilnya sosok Anies Baswedan ke bursa pencapresan, bukan tidak terprediksi. Dialah figur sentral yang dahulu merepresentasikan aspirasi kelompok oposisi pada Pilkada DKI 2017. Dan Ketika Prabowo masuk ke dalam kabinet Jokowi, tak ada lagi pelabuhan aspirasi kelompok oposisi selain pada diri Anies Baswedan. Itu sebabnya–mungkin–Zulfan Lindan, politisi Partai Nasdem, mengatakan bahwa ”Anies adalah antitesa Jokowi”.
Artinya, dalam peta pencapresan 2024 ini, ceruk kelompok oposisi sudah memiliki tempat berlabuh. Tinggal siapa sosok yang tepat untuk menjadi pelabuhan aspirasi kelompok pro-pemerintah (Jokowi)?
Ceruk pendukung Jokowi
Patut diduga, ceruk suara simpatisan Jokowi ini sangat luas. Sejauh ini penulis belum menemukan hasil survei yang menyimulasikan angka seandainya sosok Jokowi ikut dalam kontestasi Pilpres 2024.
Namun, apabila kita asumsikan, perolehan suara Jokowi-Ma'ruf pada Pilpres 2019 mencapai 85.607.362 atau 55,50 persen, sementara perolehan suara Prabowo-Sandi sebanyak 68.650.239 atau 44,50 persen. Selisih suara kedua pasangan mencapai 16.957.123 atau 11 persen.
Angka tersebut meningkat sekitar 5 persen dari hasil Pilpres 2014, di mana Jokowi-Jusuf Kalla meraih kemenangan dengan 70.997.85 suara (53,15 persen). Sementara, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa meraih 62.576.444 suara (46,85 persen). Selisih suara kedua paslon adalah 8.421.389 (6,3 persen).
Berdasarkan hasil survei periodik Kompas pada Mei 2023, tren peningkatan kepuasan terhadap kinerja kabinet pimpinan Presiden Joko Widodo masih terus berlanjut.
Di periode pemerintahannya yang kedua, selisih angka 11 persen yang di dapat Jokowi dalam Pilpres 2019 tersebut, alih-alih menyusut–bisa jadi terus meningkat. Selain karena masuknya Prabowo ke dalam struktur kabinetnya–yang secara otomatis menarik ceruk suara loyalisnya–angka kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di setiap tahun juga terus meningkat.
Berdasarkan hasil survei periodik Kompas pada Mei 2023, tren peningkatan kepuasan terhadap kinerja kabinet pimpinan Presiden Joko Widodo masih terus berlanjut. Survei ini mengungkap bahwa saat ini sudah lebih dari dua pertiga bagian responden, tepatnya 70,1 persen responden menyatakan rasa ”puas” pada kinerja pemerintahan Jokowi. Selain itu, jarak selisih dengan kalangan yang merasa ”tidak puas” melebar, lantaran kali ini tersisa hanya 29,9 persen responden yang belum terpuaskan (Kompas.id, Survei Kinerja Pemerintah).
Dengan asumsi itu, sangat wajar apabila hampir semua bacapres dan partai politik yang ingin bertarung pada Pemilu dan Pilpres 2024 selalu merekatkan makna asosiasi dirinya dengan Jokowi. Kecenderungan ini terlihat telanjang di tahun lalu–ketika perayaan HUT partai-partai politik–di mana sinyal politik Jokowi sangat ditunggu setiap partai dan bacapres mereka.
Restu Jokowi
Terkait hal itu, menurut penulis, setidaknya ada tiga cara untuk memastikan perpindahan ceruk suara Jokowi di Pilpres 2024 ini;
Pertama, munculnya sosok yang merepresentasikan keseluruhan karakter pemerintahan Jokowi. Apabila merujuk pada teori kesamaan (similarity), sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki (Gestald, dalam Amali, 2012). Makna kesamaan inilah yang diperlukan oleh seorang kandidat yang ingin mengambil ceruk simpatisan Jokowi.
Bisa jadi, aspek inilah yang menjadikan sosok Ganjar Pranowo selalu berada pada posisi teratas hasil survei bacapres dalam setahun terakhir. Karena selain dia berasal dari satu partai dengan Jokowi, Ganjar juga berasal dari Jawa Tengah, seorang kepala daerah bersih dan dikenal dekat dengan rakyat. Ini yang membuat sosok Ganjar diasumsikan memiliki dasar ideologi dan karakter kultural sama dengan Jokowi.
Kedua, adalah sosok yang kepadanya publik percaya loyalitasnya kepada pemerintahan dan program Jokowi. Sehingga dirinya menjadi representasi atau diasosiasikan dengan sosok Jokowi. Image inilah yang sepertinya yang sedang dikejar oleh sejumlah bacapres dalam beberapa bulan terakhir.
Baca Juga: Gelagat Pilpres 2024
Namun, yang cukup fenomenal dari semua itu adalah sosok Prabowo Subianto. Setelah lebih dari tiga tahun menjadi menteri, dia menunjukkan loyalitas yang cukup simpatik kepada presiden. Selain itu, publik tidak mungkin melupakan fakta bahwa dia adalah mantan calon presiden (sama seperti Jokowi)–yang meski pada Pilpres 2014 dan 2019 merupakan lawan–tetapi setelah dia memutuskan bergabung ke dalam kabinet Jokowi, publik menilai bahwa dia sudah bersinesis dengan Jokowi, dan bukan lagi antitesa Jokowi. Ini yang membuat sosoknya memiliki agregat yang jauh melampaui bacapres lainnya yang ingin merebut ceruk suara pendukung Jokowi.
Namun, bagaimanapun, hampir semua sosok di atas hanya memikul secara spasial dari makna asosiasinya dengan Jokowi. Sehingga tidak menjadi representasi paripurna dari sosok Jokowi. Untuk itu, bisa dipastikan, perhitungan politik bacapres ke depan akan berfokus pada sosok cawapres. Sosok ini harus bisa menggandakan makna asosiasi mereka dengan Jokowi sehingga keduanya–capres dan cawapres ini–bisa terlihat sebagai representasi paripurna dari pemerintahan Jokowi.
Mungkin itu pula sebabnya, posisi Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, yang juga anak sulung Jokowi memiliki magnet luar biasa dalam dinamika pencapresan kali ini. Karena Gibran dianggap memiliki makna asosiasi yang paling mendekati Jokowi daripada sosok lain di negeri ini.
Ketiga, dan ini adalah cara yang paling valid untuk mengambil ceruk simpatisan Jokowi, adalah restu dalam bentuk ”dukungan eksplisit Jokowi”. Persoalannya, hingga saat ini Jokowi tidak juga menyebutkan nama capres yang didukungnya–bahkan setelah Ganjar Pranowo didaulat oleh PDI-P sebagai capres dan juga setelah Musyawarah Rakyat yang dilangsungkan di Istora Senayan baru-baru ini–nama yang dimaksud tidak juga dimunculkannya secara eksplisit.
Mimpi Jokowi
Tampaknya, Jokowi memahami modal politiknya, dan juga sedang membuat perhitungan politik, agar dirinya tidak menjadi lame duck di akhir periode pemerintahannya. Sebab, dia ingin menjaga martabat kekuasaannya tetap stabil, sehingga–sebagaimana dikatakan sendiri oleh Jokowi–presiden selanjutnya diharapkan bisa memastikan keberlanjutan cita-cita pembangunannya.
Apabila kita telaah lebih jauh lima substansi program pembangunan Jokowi pada periode keduanya ini, target yang ingin capai sebenarnya adalah menyiapkan landas pacu peradaban dalam rangka menyongsong era Indonesia Emas 2045. Di mana itu adalah era revolusi industri sudah berlangsung advance dan gugus material yang akan kita hadapi nanti sudah berbeda sama sekali.
Baca Juga: Pilpres 2024
Inilah yang kita belum mendengar dari para bacapres yang sekarang berebut restu dari Jokowi. Dan ini pula yang sepertinya ingin didengar oleh Jokowi dari penerusnya. Yaitu gagasan operasional dan konkret untuk memastikan keberlanjutan program pemerintahan Jokowi tetap berjalan menyongsong visi Indonesia Emas 2024 di tengah karut-marut dinamika politik, ekonomi, dan keamanan global.
Maka itu–terlepas dari sebesar apa pun pencapaian pemerintahan Jokowi saat ini–tidak bisa tidak, dia juga harus bisa memanfaatkan satu tahun yang menentukan ini untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan guna menuntaskan semua program pembangunan yang sudah direncanakan, dan memastikan keberlanjutannya. Sekalipun untuk itu, dia harus melakukan ”cawe-cawe” dalam politik Pilpres dan Pemilu 2024.
Apabila tidak, dikhawatirkan landasan pacu peradaban Indonesia masa depan akan terbengkalai, dan cita-cita Indonesia Emas 2024 akan sulit terealisasi. Wallahualam bi sawab.
Wim Tohari Daniealdi, Dosen FISIP Unikom, Bandung; Peneliti Bidang Politik di Pemilu Watch Indonesia