Tenggelamnya kapal pengangkut pengungsi dari Afrika Utara menuju ke Eropa bukan hal baru. Namun, kita tetap harus memberi perhatian besar pada tragedi ini.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kompas edisi 16 Juni 2023 menyebutkan, kapal pengangkut pengungsi pada Rabu (14/6/2023) lalu menuju Yunani, tetapi mesinnya bermasalah sehingga tak lama kemudian karam di salah satu titik terdalam di Laut Tengah. Operasi penyelamatan berlangsung tidak mudah. Petugas dari Yunani melaporkan, mereka akhirnya berhasil menyelamatkan sekurangnya 104 orang, sementara 78 ditemukan meninggal. Pihak berwenang memperkirakan 400 orang hilang atau tewas dalam musibah itu.
Kritik pun diarahkan kepada Uni Eropa, seperti halnya yang dilontarkan oleh Dokter Tanpa Batas (Medicine Sans Frontieres). Tidak sedikit memang pihak yang menyoroti keputusan Uni Eropa yang membatasi arus pengungsi.
Boleh jadi di lingkungan negara Eropa berkecamuk dilema moral menyangkut isu pengungsi. Di satu pihak, ada panggilan kemanusiaan untuk menolong orang-orang yang berkesusahan di negara asal. Namun, di sisi lain, mereka sedang terlilit masalah, khususnya semenjak pecah perang Rusia-Ukraina yang menimbulkan dampak ekonomi. Tak kalah krusialnya untuk dipertimbangkan ialah pertanyaan, seberapa banyak pengungsi yang harus ditolong, mengingat negara-negara asal pengungsi masih terlilit krisis politik pelik.
Di tengah kondisi rumit ini, ada soal lain, yaitu jaringan perdagangan manusia yang memanfaatkan orang-orang susah tersebut. Ada sindikat yang mengutip bayaran untuk menyeberangkan pengungsi.
Sementara itu, dunia juga sedang dipusingkan oleh meningkatnya jumlah pengungsi. Menurut Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), selama tahun 2022 ada tambahan 19,1 juta pengungsi, tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Penyebabnya ialah perang di sejumlah negara, seperti Sudan dan Yaman, selain tentu saja Ukraina. Perang memang telah menyebabkan jutaan orang mengungsi dan kehilangan tempat tinggal. UNHCR mencatat, pada 2022 jumlah pengungsi global mencapai 108 juta jiwa. Sebagian mengungsi di dalam negara sendiri (62,5 juta), sebagian lagi di negara lain (35,3 juta).
Perang juga membuat infrastruktur ekonomi lumpuh sehingga produksi terhenti. Kalaupun ada proses produksi yang berlanjut, seperti gandum dari Ukraina, jalur rantai pasokannya terganggu. Hal ini tentu berpengaruh terhadap distribusi bahan pangan dan lainnya.
Dari tragedi ini, kita bisa merenungkan berbagai masalah politik domestik dan politik internasional. Sejumlah negara akhirnya menempuh jalan kekerasan, yang menimbulkan perang saudara. Sebagian lain memilih melanjutkan krisis geopolitik dengan perang. Tak disangsikan lagi, kedua pilihan menimbulkan dampak sosial kemanusiaan.