Penggantian nama atau penambahan nama perusahaan di tempat-tempat yang memiliki makna sejarah dan identitas bagi masyarakat dapat mengakibatkan alienasi dan kehilangan bagian penting dari warisan budaya lokal.
Oleh
AJI PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Isu hak penamaan (naming rights) di Indonesia sedang ramai beberapa tahun ke belakang. Praktik penggantian nama fasilitas umum dan penambahan nama perusahaan menjadi sorotan hangat di media sosial di awal Mei 2023. Sebuah twit tentang penggantian nama Stasiun Tawang ramai dibahas oleh warganet tentang naming right Bank Jateng pada Stasiun Semarang Tawang yang berlaku efektif mulai 5 Mei 2023. Artinya, Stasiun Semarang Tawang kini berganti nama menjadi ”Semarang Tawang Bank Jateng”.
Pada 2022, PT Kereta Api Indonesia (Persero) menawarkan hak penamaan untuk 10 stasiun yang melayani perjalanan kereta api jarak jauh dan commuter. Stasiun-stasiun yang ditawarkan hak penamaannya adalah Stasiun Pasar Senen, Jatinegara, Tanah Abang, Tebet, Cikini, Sudirman, Juanda, Manggarai, Gondangdia, dan Palmerah.
Kemudian, kita ingat adanya keputusan Persita Tangerang untuk menjalin kerja sama dengan Indomilk terkait hak penamaan stadion mereka memunculkan perbincangan hangat dalam dunia sepakbola Indonesia. Stadion Benteng, yang kini dikenal sebagai Indomilk Arena, memiliki makna sejarah dan identitas bagi masyarakat Tangerang. Namun, dengan penggantian nama, kita berisiko kehilangan bagian penting dari warisan budaya lokal.
Jika kita melihat lebih luas, terutama di Benua Eropa dan Amerika, praktik penjualan hak penamaan telah menjadi semakin populer di kalangan pembuat kebijakan perkotaan sebagai sumber pendapatan untuk membangun dan memelihara infrastruktur perkotaan. Praktik ”komodifikasi toponimi” melalui praktik naming rights ini pertama kali muncul dalam konteks komersialisasi olahraga profesional pada paruh kedua abad ke-20 dan saat ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari alat kebijakan urbanisme neoliberal secara umum.
Komodifikasi toponimi dapat didefinisikan sebagai proses mengubah toponim menjadi obyek bernilai ekonomi, yang memungkinkan penggunaan namanya dipasarkan dan menarik minat pembeli. Namun, inisiatif komodifikasi toponimi melalui praktik naming rights ini tidak selalu berjalan lancar.
Sebagai contoh, praktik naming rights telah lama diterapkan di Kota Sao Paulo, terutama pada tempat-tempat swasta seperti bioskop, teater, dan stadion olahraga, selama hampir tiga dekade. Praktik ini juga telah melibatkan ruang publik yang dikelola oleh Companhia do Metropolitano de Sao Paulo (Cia do Metro), termasuk stasiun-stasiun kereta bawah tanah. Risiko yang dikhawatirkan adalah hilangnya nilai-nilai budaya dan sejarah yang melekat pada tempat tersebut.
Belum dipahami
Mengapa naming rights di Indonesia kembali menjadi topik yang ramai diperbincangkan oleh warganet dan menjadi salah satu isu di bidang toponimi? Presiden menetapkan regulasi toponimi, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi. Artinya, regulasi tersebut masih berusia dua tahun dan besar kemungkinan belum dipahami secara utuh dan menyeluruh oleh berbagai pengambil kebijakan.
Perlu dicatat bahwa prinsip nama rupabumi sebagaimana dimuat dalam PP Nomor 2 Tahun 2021 juga memuat tentang sikap Indonesia terhadap fenomenanaming rights. Pasal 3 dalam PP No 2/2021 menyatakan bahwa nama rupabumi harus memenuhi prinsip sebagai berikut: ... h) menghindari penggunaan nama instansi/lembaga. Lebih lanjut, dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa penggunaan nama instansi merujuk kepada lembaga pemerintah atau swasta.
Apa alasan yang melandasi prinsip menghindari praktik naming rights dalam penamaan rupabumi tersebut? Pertama, memerhatikan pelestarian identitas budaya dan warisan sejarah. Praktik naming rights cenderung menggantikan toponimi yang memiliki nilai budaya dan sejarah dengan nama-nama yang terkait dengan perusahaan atau sponsor. Ini dapat mengaburkan identitas budaya suatu daerah dan menghapus jejak warisan sejarah yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam mempertimbangkan praktik naming rights, penting bagi semua pihak yang terlibat untuk memahami dampak sosial, budaya, dan sejarah yang mungkin timbul.
Praktik naming rights cenderung menggantikan toponimi yang memiliki nilai budaya dan sejarah dengan nama-nama yang terkait dengan perusahaan atau sponsor.
Kedua, menghormati kelekatan masyarakat terhadap tempat. Masyarakat sering kali memiliki kelekatan emosional yang kuat terhadap toponimi yang telah ada dan digunakan selama bertahun-tahun. Praktik naming rights yang mengganti toponimi ini dapat melukai perasaan dan identitas masyarakat yang terkait dengan tempat tersebut. Pemerintah perlu menghormati kelekatan masyarakat terhadap toponimi dengan tidak mengizinkan perubahan nama yang merugikan keberadaan dan hubungan emosional masyarakat terhadap tempat.
Ketiga, mempromosikan keanekaragaman dan keterwakilan budaya melalui penamaan rupabumi. Menghindari praktik naming rights memungkinkan pemerintah untuk mempertahankan keanekaragaman budaya dalam penamaan tempat. Nama-nama tempat yang mencerminkan budaya lokal, tradisi, dan bahasa daerah dapat membantu memperkuat rasa keterwakilan budaya dalam lingkungan yang multikultural.
Keempat, membangun identitas dan kepemilikan bersama. Praktik naming rights yang berfokus kepada kepentingan ekonomi perusahaan dapat mengabaikan kepentingan masyarakat umum dan menciptakan ketidaksetaraan dalam kepemilikan nama-nama tempat. Pemerintah perlu memastikan bahwa toponimi adalah milik bersama masyarakat dan bukan hanya dimiliki oleh perusahaan atau sponsor tertentu.
Ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk menghindari praktik naming rights. Pertama, mengembangkan regulasi yang jelas merupakan langkah penting. Saat ini, regulasi yang ada masih terbatas kepada peraturan pemerintah, sementara belum ada peraturan menteri/kepala badan hingga peraturan daerah/kepala daerah yang secara jelas dan tegas mengatur praktik naming rights.
Kedua, melibatkan masyarakat dalam proses penamaan juga penting. Pemerintah harus aktif melibatkan masyarakat lokal, komunitas budaya, ahli sejarah, dan pakar toponimi dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, penamaan tempat akan mencerminkan kepentingan dan kelekatan masyarakat terhadap tempat mereka.
Ketiga, edukasi dan kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan. Pemerintah harus melakukan kampanye edukasi mengenai pentingnya toponimi, nilai-nilai budaya terkait, dan dampak praktik naming rights. Terakhir, keterlibatan pakar toponimi dalam pengambilan keputusan juga sangat penting. Pakar toponimi memiliki pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan untuk mempertimbangkan aspek budaya, sejarah, dan kepentingan masyarakat dalam penamaan tempat.
Pemerintah diharapkan dapat memastikan bahwa toponimi dijaga dan dipertahankan dengan baik, menjaga integritas identitas budaya dan warisan sejarah, serta membangun rasa memiliki dan keterlibatan bersama masyarakat. Besar harapan, bangsa Indonesia yang terus membangun dan merawat fasilitas publiknya dapat juga menata dan merawat penamaannya sebagai bagian upaya menjaga identitas dan melestarikan budaya Nusantara.
Aji Putra Perdana, Geografer dan Surveyor Pemetaan Madya-ASN di Badan Informasi Geospasial; PhD (candidate) Geo-Information Processing (GIP), Faculty of Geo-Information Science and Earth Observation (ITC), University of Twente, Belanda