Penting untuk mempertimbangkan konteks lokal dan melibatkan nelayan serta masyarakat lokal dalam merumuskan kebijakan yang berkelanjutan dan adil untuk mengatasi ancaman krisis pangan laut kita.
Oleh
IRVAN MAULANA
·5 menit baca
Peringatan Hari Laut Sedunia 2023 yang mengusung tema ”Planet Ocean: Tides are Changing” menyadarkan kita akan urgensi melindungi kelestarian laut dan menyerukan tindakan konkret. Saat ini kita berhadapan dengan fakta bahwa populasi manusia yang kian bertambah dan konsumsi ikan yang semakin meningkat, menjadi ancaman keberlanjutan ekosistem laut. Ini menyebabkan konsumsi ikan kian meningkat, sementara stok ikan global terus menurun. Padahal, lautan tak selamanya mampu menopang permintaan yang terus meningkat.
Ketika populasi manusia terus tumbuh, konsumsi ikan pun melonjak, bahkan di tengah peringatan dampak merkuri dan PCB (bahan kimia sejenis pestisida). Dalam empat dekade, konsumsi ikan per kapita meningkat hampir dua kali lipat, dari 9,07 kilogram per tahun pada 1960-an menjadi 16,33 pon pada 2022. Kapasitas lautan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pangan laut yang terus meningkat seiring pertambahan populasi, kecuali terjadi reformasi besar.
Penelitian oleh The World Counts menyoroti krisis serius yang kita hadapi ini. Jika tidak tegas melindungi ekosistem laut, diprediksi pada 2048 kita akan kehabisan sumber daya makanan laut. Studi yang melibatkan 7.800 spesies laut selama empat tahun tersebut menunjukkan bahwa hampir 90 persen stok ikan laut global saat ini diekspolitasi secara berlebihan (overfishing).
Industri perikanan berjuang tanpa regulasi yang memadai dan penegakan hukum yang kuat. Ancaman juga melanda populasi ikan predator besar seperti hiu, tuna, marlin, dan ikan todak, di mana 90 persen dari populasi mengalami penyusutan di seluruh dunia. Stok tuna sirip biru Atlantik, misalnya, menurun sebesar 13 persen sejak 1950 menurut Komisi Konservasi Tuna Internasional.
Penangkapan ikan berlebihan adalah faktor paling signifikan yang berkontribusi terhadap penurunan populasi ikan liar. Penangkapan ikan berlebihan terjadi ketika jumlah ikan ditangkap melebihi kemampuan ikan untuk bereproduksi. Terlebih praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur masih mendominasi pelanggaran keamanan laut, termasuk di Indonesia.
Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI mencatat, kasus penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing) menempati puncak pelanggaran keamanan laut selama tiga tahun berturut-turut (2020-2022). Tecermin dalam Indeks Keamanan Laut Indonesia pada 2022 hanya 53 atau kategori cukup. Bahkan, Indeks IUU Fishing Indonesia pada 2021 berada di peringkat ke-5 dari 159 negara, dengan skor 4,0 dari 5. Ini berarti Indonesia masih berisiko tinggi terhadap IUU Fishing, dan pemerintah belum berbuat banyak untuk menurunkan risikonya.
Kondisi tersebut disebabkan membeludaknya kapal-kapal penangkapan ikan di seluruh dunia yang diperkirakan dua kali lebih besar daripada daya dukung lautan. Tentu hal ini tak lepas dari besarnya subsidi pemerintah yang mendorong armada penangkapan ikan terus beroperasi meskipun tidak menghasilkan keuntungan yang cukup karena harga ikan menjadi terlalu murah. Penting untuk segera beralih dari kapal besar yang sangat ekstraktif tersebut. Gantinya, pemerintah perlu mengalihkan sebagian subsidi ke sektor perikanan artisanal yang lebih kecil dan ramah lingkungan.
Bisa dibayangkan, saat ini rata-rata hanya 1 persen dari habitat laut dunia yang dilindungi dari eksploitasi.
Selain itu, memperluas habitat bagi pemijahan ikan dan penangkaran sebagai tempat pemulihan populasi ikan yang telanjur dieksploitasi tak bisa ditawar lagi. Bisa dibayangkan, saat ini rata-rata hanya 1 persen dari habitat laut dunia yang dilindungi dari eksploitasi. Sayangnya, meski stabil, pertumbuhan luas jaringan cagar perikanan Indonesia pun relatif lambat, pertumbuhan rata-rata hanya 2 persen per tahun sejak 2018. Hal ini bisa berdampak pada lambatnya pemulihan populasi ikan karena melindungi spesies ikan langka dalam jangka panjang menjadi kian sulit.
Tantangan semakin besar saat riset menunjukkan perlunya mengurangi penangkapan ikan yang mulai terdepopulasi, perjanjian multilateral justru kerap mempertahankan alokasi penangkapan yang tidak sejalan dengan fakta ilmiah. Negara-negara berkembang bahkan banyak yang tidak mendapatkan alokasi penangkapan yang adil dari stok ikan yang mulai habis (defleted).
Tak punya pilihan, negara-negara berkembang dengan sumber daya yang relatif terbatas terpaksa beralih mengeksploitasi ikan-ikan kecil yang termasuk dalam rantai makanan dasar seperti ikan teri, sarden, selar, dan layur. Padahal, ikan-ikan forage kecil ini menjadi penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut, mendukung keberlanjutan perikanan, dan mencegah keruntuhan perikanan yang disebabkan oleh hilangnya sumber makanan dasar di laut.
Maka, kita harus berusaha untuk membangun kembali dasar rantai makanan yang hilang dengan mengembalikan ke habitat-habitat tempat ikan forage dilahirkan dan dibesarkan seperti sungai dan estuari. Jika upaya restorasi dan perlindungan habitat diabaikan, meskipun ada upaya konservasi di laut, kelimpahan ikan akan tetap terbatas karena terbatasnya ketersediaan makanan dasar. Dengan kata lain, keberhasilan konservasi ikan di laut juga tergantung pada ketersediaan pasokan makanan dasar yang cukup dari berbagai spesies ikan tersebut.
Kita perlu mengkritik pendekatan yang selama ini digunakan entitas bisnis perikanan dalam menentukan spesies ikan yang akan dibudidayakan dan spesies yang akan dibiarkan hidup liar. Keputusan domestifikasi ikan sering didasarkan pada prinsip pasar dan keuntungan, dan jarang berkonsultasi dengan ilmuwan yang mempelajari dinamika ikan liar. Jika terus melanjutkan jalur ini, kita hanya akan menghancurkan satu sistem pangan dan menggantinya dengan sistem lain yang tidak lebih baik, seperti yang sudah terjadi di sebagian besar danau dan sungai air tawar di dunia.
Kriteria penting
Kita membutuhkan seperangkat prinsip yang memandu kita dalam menjalankan proses domestikasi, yang juga memperhatikan dampak terhadap biota laut liar. Maka, proses budidaya harus memenuhi kriteria-kriteria penting.
Pertama, dengan sumber daya pangan yang semakin terbatas, penting untuk memproduksi ikan dengan biaya pakan yang rendah dan hasil yang optimal. Hal ini dapat dicapai dengan memilih spesies ikan yang efisien dalam konversi pakan menjadi daging ikan.
Oleh karena itu, subsidi budidaya perikanan semestinya memberikan manfaat neto pada produksi ikan, bukan justru menyebabkan kerusakan pada populasi ikan liar. Subsidi perlu diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara harga dan kualitas produksi ikan.
Dengan sumber daya pangan yang semakin terbatas, penting untuk memproduksi ikan dengan biaya pakan yang rendah dan hasil yang optimal.
Kedua, pentingnya membatasi jumlah spesies ikan yang dibudidayakan. Meskipun teknologi budidaya ikan telah mengalami kemajuan pesat sehingga hampir semua jenis ikan laut dapat dibudidayakan, bukan berarti semua ikan perlu dibudidayakan. Peneliti bidang akuakultur perlu berhati-hati agar tidak terlalu optimis sehingga mengabaikan konsekuensi jangka panjang.
Ini karena setiap spesies baru yang dibudidayakan menghadapi tantangan baru dan membutuhkan waktu dan energi yang besar dalam tahap awal domestikasi. Alih-alih terus-menerus mencoba menjinakkan spesies baru dalam budidaya yang belum sempurna, lebih baik kita memilih hanya beberapa spesies ikan yang budidayanya dapat kita sempurnakan.
Dengan membatasi jumlah spesies ikan yang dibudidayakan, kita dapat fokus pada pengembangan budidaya yang lebih baik dan lebih efisien, serta mengurangi risiko penyebaran penyakit dan masalah baru yang muncul akibat domestikasi spesies ikan baru.
Ketiga, industri perikanan perlu menghindari sistem monokultur dan mengadopsi polikultur sebagai pendekatan yang lebih baik. Monokultur merupakan praktik budidaya satu jenis ikan dalam satu wilayah yang rentan terhadap penyakit dan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Sebaliknya, polikultur yaitu budidaya beberapa jenis ikan secara bersamaan, memungkinkan penggunaan ruang yang lebih efisien, daur ulang limbah, dan pengelolaan sistem yang lebih baik.
Terpenting, semua kebijakan perikanan dan kelautan harus berdasarkan rasa keadilan tanpa marginalisasi. Proses struktural yang terkait dengan keadilan dan marginalisasi dapat menyebabkan nelayan diasingkan secara bertahap dari lingkungan laut dan kesempatan ekonomi dan politik. Permasalahan tidak hanya terjadi karena terlalu banyak nelayan mengejar sumber daya yang terbatas, tetapi juga melibatkan faktor-faktor sosial dan politik yang mempengaruhi akses dan partisipasi nelayan dalam mempertahankan mata pencariannya.
Kebijakan yang dirancang untuk mengurangi hak akses dan ketergantungan sumber daya bagi populasi lokal dapat memiliki konsekuensi sosial dan lingkungan yang tidak diinginkan. Maka dari itu, penting untuk mempertimbangkan konteks lokal dan melibatkan nelayan serta masyarakat lokal dalam merumuskan kebijakan yang berkelanjutan dan adil untuk mengatasi ancaman krisis pangan laut kita.
Irvan Maulana, Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)