Film dokumenter Netflix ”Seaspiracy” menyita perhatian dunia. Film tersebut mengungkap fakta tentang efek merusak dari praktik penangkapan ikan skala besar.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Film dokumenter Netflix Seaspiracy yang tayang pada Maret 2021 telah menyita perhatian konservasionis, ilmuwan, pengusaha, hingga masyarakat umum lainnya. Hal ini tidak terlepas dari isi fim tersebut yang mengungkap fakta tentang efek merusak dari penangkapan ikan skala besar. Namun, apakah benar tidak ada lagi asa penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di lautan dunia, termasuk Indonesia?
Seaspiracy merupakan salah satu film dokumenter Netflix yang masuk dalam daftar 10 besar film yang paling banyak ditonton di Eropa dan sempat menjadi topik hangat (trending) beberapa waktu lalu. Film yang dinarasikan dan disutradarai oleh Ali Tabrizi ini mengungkap bahwa semua praktik perikanan di dunia, baik skala kecil maupun besar, tidak ada yang menerapkan aspek keberlanjutan dan menjadi pelaku utama perusak laut.
Ali dan timnya mendapatkan fakta tersebut melalui investigasi dan penelusuran ke sejumlah wilayah perairan di dunia. Mereka juga melakukan wawancara mendalam dengan para ahli, aktivis, hingga pemerintah setempat serta didukung oleh kajian data. Bahkan, saat melaksanakan investigasi, mereka mendapati adanya pencemaran laut dari limbah jaring ikan dan praktik perbudakan dalam aktivitas penangkapan ikan.
Hasil penelusuran dalam Seaspiracy menunjukkan, industri perikanan telah menangkap 300.000 paus, lumba-lumba, dan porpoise setiap tahun. Jika dijumlahkan, industri perikanan juga bertanggung jawab terhadap penangkapan 300.000 ikan hiu per jam dan 5 juta ikan per menit. Akibatnya, kurang dari 1 persen laut terlindungi dari industri perikanan tangkap.
Berdasarkan data yang dipaparkan dalam film dokumenter tersebut, seluruh biota laut juga diprediksi akan punah pada tahun 2048 jika eksploitasi ikan terus berlanjut. Data tersebut diambil dari penelitian yang terbit di jurnal Science pada 2006 terkait dampak hilangnya keanekaragaman hayati laut terhadap ekosistem.
Pada akhir film tersebut, Ali kemudian mengajak dan mengampanyekan kepada semua orang untuk berhenti mengonsumsi ikan agar ekosistem laut kembali terjaga. Para selebritas dunia juga turut menyuarakan ajakan tersebut setelah menonton Seaspiracy, salah satunya penyanyi asal Kanada, Bryan Adams yang memang telah menjadi vegan atau gaya hidup untuk tidak mengonsumsi daging maupun bentuk eksploitasi hewan lainnya.
Meski cukup populer dan menarik perhatian berbagai pihak, Seaspiracy juga memunculkan kontroversi. Beberapa di antaranya adalah terkait dengan klaim seluruh biota laut akan punah pada 2048. Sebab, data yang diambil dari jurnal yang terbit 15 tahun lalu tersebut dinilai sudah tidak merepresentasikan kondisi laut saat ini.
Ahli ekologi kelautan dari Universitas Dalhousie, Boris Worm, yang merupakan salah satu penulis utama jurnal tersebut kepada BBC meragukan bahwa hasil temuan pada studi tahun 2006 tersebut dapat dijadikan rujukan kondisi laut saat ini. Sebab, data dalam studi itu telah berusia 20 tahun dan saat ini terdapat upaya peningkatan stok ikan di banyak wilayah.
Direktur Eksekutif Pusat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs Center) Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung Zuzy Anna mengatakan, terlepas dari kontroversi dan analisis sains yang tidak terlalu tepat, Seaspiracy bisa membuka mata semua pihak tentang kondisi laut di dunia.
Namun, Zuzy juga menepis isi dokumenter tersebut yang menyimpulkan bahwa tidak ada aspek berkelanjutan dalam praktik perikanan. Padahal, sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menerapkan praktik perikanan berkelanjutan yang dijaga para elayan skala kecil.
Praktik di Indonesia
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad Yudi Nurul tidak menampik beberapa permasalahan yang ada dalam film Seaspiracy juga masih dihadapi Indonesia, seperti penangkapan ikan secara ilegal dan merusak ekosistem. Di sisi lain, praktik perikanan berkelanjutan dengan kearifan lokal juga diterapkan di Indonesia sejak dulu.
Praktik perikanan berkelanjutan di Indonesia salah satunya diterapkan di Aceh melalui kelembagaan yang dinamakan Panglima Laot. Lembaga laut yang telah terbentuk sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam abad ke-16 dan ke-17 ini awalnya berfungsi memungut cukai pada kapal-kapal yang singgah di pelabuhan. Panglima Laot juga memobilisasi masyarakat nelayan untuk dikirim berperang melawan Portugis.
Beberapa permasalahan yang ada dalam film Seaspiracy juga masih dihadapi Indonesia, seperti penangkapan ikan secara ilegal dan merusak ekosistem.
Saat ini, Panglima Laot tetap eksis dalam mengawal hukum adat laut dan perikanan di Aceh. Panglima Laot tidak hanya mengatur tentang larangan perusakan lingkungan, tetapi juga penangkapan ikan. Dalam menegakkan seluruh aturan dari hukum adat laut, Panglima Laot diberikan kewenangan untuk memiliki peradilan adat laut tersendiri.
Selain itu, hukum adat laut menerapkan aturan pantang laut yang merupakan larangan berlayar di hari-hari tertentu. Sejumlah alasan diterapkannya pantang laut yakni alasan keagamaan, reparasi alat-alat nelayan, hingga pertimbangan ekologis, sehingga memungkinkan biota laut melakukan pemijahan.
Selain Aceh, kearifan lokal dalam pengelolaan perikanan terdapat di beberapa perairan Sulawesi, Maluku, dan Papua yang dikenal dengan istilah sasi. Pada dasarnya, sasi merupakan tradisi dan kesepakatan masyarakat yang mengatur tentang tata cara penangkapan hingga pengelolaan ikan.
Tradisi sasi di Papua ini memiliki dampak signfikan. Sejumlah riset mengungkapkan penerapan sasi yang dianggap sebagai upaya konservasi ini bisa memulihkan stok biota laut, khususnya teripang hingga dua kali lipat selama periode 2009-2012. Sasi juga dapat mengurangi tingkat eksploitasi karena menutup ikan dari penangkapan dan melarang bagan dari luar untuk beroperasi.
Luas wilayah perlindungan
Guna memastikan ekosistem laut tetap terjaga, kata Zuzy, saat ini sebenarnya telah ditetapkan target Aichi dari Konvensi Keanekaragaman Hayati. Target 11 konvensi tersebut menyatakan, perlindungan wilayah pesisir dan laut global sebanyak 10 persen pada 2020.
Berdasarkan data Marine Protection Atlas, hanya 2,7 persen laut secara global yang diimplementasikan ke dalam kawasan dengan perlindungan penuh. Secara keseluruhan, terdapat 52 negara dan kawasan yang sudah melindungi 10 persen kawasan perairannya.
Sementara di dalam negeri, data terbaru tahun 2021 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, luas MPA sampai saat ini mencapai 24,1 juta hektar atau masih kurang dari 8 persen luas perairan Indonesia. Sesuai rencana aksi nasional, luas kawasan konservasi perairan nasional pada 2025 ditargetkan mencapai 25 juta hektar.
”Sekarang juga ada kampanye inisiatif informal untuk perlindungan laut global seluas 30 persen pada 2030 dan telah disuarakan oleh IUCN (Badan Konservasi Dunia) pada World Conservation Congress 2016 di Hawaii. Kemungkinan ini akan diratifikasi pada kesepakatan global konservasi keanekaragaman hayati di Kumming, China,” ujar Zuzy.
Permasalahan eksploitasi dan perikanan yang tidak berkelanjutan di sejumlah wilayah di memang menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Oleh karena itu, mempertahankan kearifan lokal perikanan yang menerapkan aspek berkelanjutan sudah sepatutnya dipertahankan oleh Indonesia agar tidak ada lagi permasalahan laut seperti yang terungkap dalam film Seaspiracy.