”Buaya Keroncong” Jadi Presiden
Senang atau tidak senang, kita harus menerima kenyataan bahwa di Indonesia seorang ”buaya keroncong” dapat menjadi presiden. Begitu demokratisnya Indonesia dengan Pancasila-nya.
Dalam sejarah tokoh-tokoh dunia, banyak figur yang merupakan sosok sederhana dan biasa-biasa saja. Ada juga yang bisa dibilang tercela pola hidupnya, tak disangka dapat menjadi tokoh bangsanya.
Sebut saja Temujin dari Mongolia. Pada mulanya ia penggembala hewan ternak di padang savana, tetapi kemudian menjadi seorang khan (Genghis Khan), yang berarti tuanku raja diraja bagi suku dan rakyat Mongolia.
Karena kehebatannya sebagai panglima perang dan ahli taktik strategi, ia berhasil mendirikan kekaisaran Mongolia dengan ibu kota Karakorum.
Sebagai penguasa tertinggi, ia melaksanakan kepemimpinannya dengan tangan besi. Salah satu prinsipnya, tabu membawa tawanan perang jika berhasil menang. Ia lebih baik membawa wanita-wanita milik lawan untuk dijadikan ”nyamikan” baginya ataupun pasukannya.
Sebagai seorang yang ahli di medan perang, ia adalah pemimpin yang pertama-tama mendirikan badan intelijen untuk memonitor kegiatan-kegiatan lawannya.
Mahapanglima lain yang dicatat dalam kitab tambo (sejarah) adalah Iskandar Zulkarnain atau ”Iskandar yang Bertanduk”. Di dunia Barat ia dijuluki ”Alexander The Great”, Iskandar yang Agung.
Tokoh besar ini awalnya juga seorang feodal miskin yang tak dilihat sebelah mata oleh kalangan atas. Namun, berkat tekad bajanya, ia tercatat sebagai pemimpin dunia yang kekuasaannya membentang dari timur ke barat hampir menguasai dua pertiga kawasan dunia.
Namanya yang harum tertera di obelisk, batu Rosetta yang membuat para arkeolog Mesir dapat memecahkan teka-teki aksara hieroglif sehingga dapat dibaca oleh para ilmuwan lainnya.
Tokoh besar ini awalnya juga seorang feodal miskin yang tak dilihat sebelah mata oleh kalangan atas.
Di Mesir sangat terkenal nama Firaun Ramses II yang petilasannya terletak di kawasan bukit Abu Simbal. Sang Firaun memimpin pasukan untuk memusnahkan Nabi Musa AS dengan para pengikutnya. Namun, ia gagal karena atas mukjizat dari Allah SWT, tongkat Musa AS dapat membelah Laut Merah sehingga Musa AS dengan para pengikutnya akhirnya selamat dari kejaran Ramses II.
Lain lagi dengan sejarah diktator dari Jerman, Adolf Hitler. Sebelum ia ber-”cakrawarti” di Jerman, ia adalah seorang militer kelas rendah di angkatan perang Jermania. Namun, berkat bakat oratornya yang luar biasa, ia dapat menarik jutaan kaum kleine burgentum (borjuis kecil) Jerman menjadi pengikutnya yang amat fanatik dan setia. Semboyan Deutschland Uber Alles merupakan cita-citanya untuk menguasai dunia.
Celakanya, ia beranggapan bahwa ras Yahudi adalah biang kerok dari kebangkrutan sosial ekonomi yang melanda dunia saat itu sehingga perlu dimusnahkan dengan jalan dibuang di kamp konsentrasi, kamar gas beracun, hukuman mati massal, dan sebagainya.
Dari sosoknya seorang prajurit rendahan, ia menjadi Fuhrer atau Bapak Pemimpin dari Jermania Raya dengan ambisi menguasai seluruh dunia.
Contoh pemimpin lain yang awal hidupnya tercela adalah Ioseb Besarionis Dze Jughashvili. Ia seorang kriminal alias penjahat yang, karena kemampuannya berorganisasi, dapat menjadi ahli waris dari pendiri negara Uni Soviet, Vladimir Ilyich Lenin. Nama samarannya adalah Joseph Stalin. Stalin dianggap sebagai seorang komunis garis keras dalam tindak- tanduknya dalam memimpin.
Contoh paling terbaru saat ini adalah Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, yang profesi asalnya seorang badut panggung. Namun, dengan bantuan tangan gelap CIA, ia dapat mencapai kedudukan sebagai Presiden Ukraina yang pro-Amerika Serikat dan mendorong Ukraina masuk ke dalam NATO. Hal ini yang antara lain memicu pecahnya perang Rusia-Ukraina, yang hingga kini belum usai walaupun korbannya sudah puluhan ribu.
Dari Kusno ke Soekarno
Fenomena-fenomena seperti di atas pernah juga terjadi di Indonesia walau berbeda langgamnya, sesuai watak bangsa Indonesia. Contoh paling menonjol dan signifikan adalah apa yang terjadi pada sosok Kusno Sosrodihardjo.
Sejak remaja, Kusno tergila-gila pada aliran musik keroncong yang dibawa masuk ke Hindia-Belanda oleh imigran-imigran Portugis, yang banyak bermukim di kawasan Tugu Batavia. Tak heran jika sampai dengan saat ini kelompok keroncong tersebut masih eksis di Tugu dan terkenal dengan nama Keroncong Tugu.
Sebagai mahasiswa THS (Technische Hoogeschool te Bandung/ITB), ia sudah nge-fans pada seorang penyanyi berdarah campuran Suriname-Jawa. Namanya, Netty van Brostaten.
Kemampuan Sri tampil menyanyi membuat Kusno yang sudah berubah nama menjadi Sukarno (Soekarno) selalu berusaha hadir menikmati keindahan suaranya.
Tahun 1926, Kusno lulus dari ITB Jurusan Teknik Sipil yang kala itu masih bersatu dengan Jurusan Arsitektur. Waktu itu, ia juga tergila-gila pada suara penyanyi keroncong Sri Sajekti. Kemampuan Sri tampil menyanyi membuat Kusno yang sudah berubah nama menjadi Sukarno (Soekarno) selalu berusaha hadir menikmati keindahan suaranya. Berapa pun harga tiket masuknya, pasti dibeli Kusno, bila perlu beli tiket yang dijajakan para calo saat itu.
Sebagai seorang insinyur muda, yang membuka perusahaan jasa perencanaan bangunan bersama Ir Anwari dan Ir Rooseno, uang perusahaan sering kali bocor. Terutama untuk membeli tiket pertunjukan keroncong Sri Sajekti jika tampil di Jawa Tengah, misalnya.
Belum lagi hobinya yang lain, yaitu menonton pertunjukan wayang kulit.
Dibuang ke Ende
Tibalah era di mana Soekarno mendirikan partainya sekaligus menjadi ketua umumnya pada 4 Juli 1927, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Suatu partai revolusioner yang bersemboyan ”Indonesia Merdeka Sekarang, Sekarang, dan Sekarang juga”. Karena itu, sebagai ketua partai, Soekarno tak mungkin lagi menikmati keroncong dan wayang kulit.
Apalagi, saat ia dijebloskan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda ke penjara Banceuy dan kemudian dipindah ke ”istana”-nya penjara di kawasan Sukamiskin, sekitar 2,5 tahun.
Beres urusan Banceuy dan Sukamiskin, sebagai orang bebas, Soekarno kembali kecanduan suara Netty dan Sri Sajekti. Namun, itu tidak membuat yang bersangkutan gembira karena ia menghadapi kenyataan partainya, PNI, terpecah menjadi PNI Pendidikan di bawah kepemimpinan Hatta dan Partai Indonesia (Partindo).
Setelah berjuang mati-matian untuk mempersatukan kembali kedua partai tersebut gagal, Soekarno memilih masuk Partindo serta terpilih menjadi ketua umumnya. Sebagai sebuah partai massa, sekaligus partai kader, Partindo yang sepak terjangnya sangat revolusioner, terkena palu godam hukum kolonial yang membuat semua pemimpin utamanya, termasuk Soekarno, harus ”merantau paksa” ke Ende, Flores.
Selain terus membawa cita-cita Indonesia merdeka, ia tidak ketinggalan membawa juga piringan hitam Netty ke tempat pembuangan. Sambil membentuk kelompok sandiwara (tonil) Kelimutu, suara indah Netty selalu bergema di arena tonil Kelimutu, terutama di episode ”Indonesia Tahun 45”, ”Rainbow”, juga ”Dokter Setan”.
Bebas dari tempat pembuangan dengan dada membusung, ”jago” kita kembali ke Jawa melalui Pelabuhan Sunda Kelapa. Di sana sudah menunggu Hatta, Sartono, dan Ali Sastroamidjojo, kawan-kawan seperjuangannya tempo dulu.
Saat itu, Hindia-Belanda sudah lenyap diganti oleh penjajah dari negara lain keturunan Dewa Amaterasu Omikami, yaitu fasisme Jepang.
Dengan taktik seolah-olah bekerja sama dengan pihak Jepang, Soekarno tetap konsisten dengan cita-citanya, yaitu Indonesia merdeka, dan ternyata membuahkan hasil apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan puluhan tahun. Indonesia pun merdeka melalui proklamasi ke penjuru dunia pada 17 Agustus 1945, dan pada 18 Agustus 1945 ia terpilih menjadi Presiden pertama RI.
Selain terus membawa cita-cita Indonesia merdeka, ia tidak ketinggalan membawa juga piringan hitam Netty ke tempat pembuangan.
Dalam kedudukan sebagai presiden, Soekarno tak lupa selalu berkomunikasi melalui surat kepada penyanyi keroncong kesayangannya, Netty. Hal di atas berlangsung terus hingga kolonialis Belanda menguasai kembali Indonesia, yang membuat ibu kota RI harus pindah ke Yogyakarta pada 1946.
Dalam kesibukan memimpin perlawanan terhadap kolonialis Belanda, Soekarno yang lebih dikenal oleh bangsa dan rakyatnya sebagai Bung Karno—setelah melakukan matek aji, matchs vorming, dan marchts aanwending, yaitu penyusunan kekuatan dan kekuasaan serta penggunaan kekuatan yang sudah tersusun untuk tujuan tertentu—berhasil membekuk ”batang leher” kolonialis Belanda pada 19 Desember 1949.
Sejak itu, ibu kota negara kembali lagi ke Jakarta.
Berkepribadian dalam bidang kebudayaan
Di era tahun 1956-1967, selain gila keroncong, Bung Karno juga mabuk tari lenso asal Maluku. Di bidang politik, pengalaman dan apresiasi seni budaya itu tecermin dalam prinsip politik ”berkepribadian dalam bidang kebudayaan”.
Dengan prinsip ini, tari lenso dipopulerkan sebagai tarian pergaulan secara nasional. Setiap ada tamu negara yang datang ke Istana selalu diadakan tari lenso diiringi sebuah band yang diawaki oleh anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) dengan nama band ABS (Asal Bapak Senang). Di era itu muncul penyanyi keroncong yang menjadi favorit Presiden, yaitu Enny Kusrini.
Bagaimana dengan Netty? Komunikasi Bung Karno melalui surat berkop kertas surat kepresidenan tetap berlangsung. Begitu juga suara Netty kerap kali bergema di aula ruangan Istana Merdeka, di kala Bung Karno menulis konsep pidato kenegaraan 17 Agustus.
Enny sendiri kerap tampil membawakan lagu-lagu langgam dan keroncong di Istana Merdeka atau Istana Negara bersama-sama Titiek Puspa. Keduanya membawakan lagu-lagu keroncong, seperti lagu berjudul ”Aryati”.
Jadi, janganlah heran, senang atau tidak senang, kita harus menerima kenyataan bahwa di Indonesia seorang ”buaya keroncong” dapat menjadi presiden.
Begitulah demokratisnya Indonesia dengan Pancasila-nya, di mana seorang ”buaya keroncong” dapat menjadi Indonesia 1 di pemerintahan.
Guntur Soekarno Putra,Sulung Presiden Pertama RI; Ketua Dewan Ideologi DPP Persatuan Alumni GMNI; dan Pemerhati Sosial