Pemikiran Bung Karno dan Arah Kepemimpinan Perguruan Tinggi
Untuk mengakhiri kekisruhan kepemimpinan perguruan tinggi, marwah institusi perguruan tinggi harus dikembalikan sebagai komunitas masyarakat ilmiah, bukan komunitas politisi yang terbelah-belah.
Oleh
HAFID ABBAS
·3 menit baca
Ada satu analogi menarik dari isi kuliah umum Presiden Soekarno di hadapan para mahasiswa, dosen, dan seluruh unsur sivitas akademika Universitas Gadjah Mada di kampus UGM pada 21 Februari 1959. Pada saat itu, mengawali kuliah umumnya, Bung Karno mengomentari cara Lina, mahasiswa UGM, yang baru saja selesai memimpin lagu ”Indonesia Raya”. Kepemimpinan Lina itu dianalogikan oleh Bung Karno sebagaimana membangun Indonesia berdasarkan Pancasila.
Bung Karno mengemukakan, ”Di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur semua memberikan tenaganya. Insinyur-insinyur memberi tenaganya, dokter-dokter memberi tenaganya, tukang-tukang gerobak memberi tenaganya, ahli-ahli ekonomi memberi tenaganya, semua memberi tenaganya. Bercorak macam, tetapi toh menjadi satu harmoni, menyusun satu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tadi juga demikian, macam-macam suara saya dengar. Tetapi di bawah pimpinan ananda Lina, bukan main merdunya. Saya dengar ada suara bas; saya dengar ada suara laki-laki tetapi sopran, seperti burung sikatan suara itu. Saya mendengar ada suara yang gemetar, ada suara yang betul-betul bergelora, tetapi semuanya bersama-sama memperdengarkan satu lagu ‘Indonesia Raya’ yang membangkitkan keharuan hati.”
Analogi ini kelihatannya juga tepat dijadikan model bagaimana memimpin satu perguruan tinggi dengan menghadirkan iklim kehidupan akademik di kampus yang kondusif, tata kelola kegiatan tridharma yang baik (good governance), bermutu, dan bereputasi sehingga perguruan tinggi itu bergerak ke pencapaian reputasi berkelas dunia (world class university).
Di antara sekitar 4.600 perguruan tinggi (Dikti, 2021) di Tanah Air, menurut versi QS ternyata hanya empat yang masuk pada kategori terbaik di peringkat di bawah 600 di dunia, yaitu UGM di urutan 254, kemudian disusul UI (305), ITB (313), dan Universitas Airlangga (512-530). Keadaan ini berbeda dengan di Hong Kong, Singapura, Australia, atau di negara-negara maju. Hong Kong, misalnya, hanya memiliki delapan perguruan tinggi negeri (PTN), tetapi semua berkualitas dunia, bahkan tiga di antaranya masuk kategori 100 terbaik di dunia, yakni University of Hong Kong di peringkat ke-31, disusul Chinese University of Hong Kong di urutan ke-45, dan the Hong Kong University of Science and Technology di posisi ke-58.
Salah satu penyebab dari kelangkaan kehadiran PTN yang bereputasi dunia di Tanah Air kelihatannya bersumber dari munculnya faksi-faksi politik internal kampus yang menjauh dari ciri sebagai satuan masyarakat ilmiah (scientific community) setiap kali masa pergantian rektornya. Situasi yang tidak kondusif itu dipicu dengan terbentuknya kelompok-kelompok pendukung setiap calon yang terkadang saling menyerang baik secara terbuka atau sembunyi-sembunyi.
Jika suasana dikotomis itu terjadi, tentu harapan Bung Karno untuk menghadirkan kepemimpinan kampus yang harmonis, produktif, dan bersinergi satu dengan yang lain akan hanya jadi angan-angan belaka.
Model pemilihan rektor
Sejak Indonesia merdeka, mekanisme pergantian kepemimpinan di PTN tampaknya terpola dalam beragam variasi.
Pertama, di era awal kemerdekaan, Presiden Soekarno (1950) mengangkat rektor UI untuk memimpin sejumlah perguruan tinggi melalui penerapan kebijakan multicampuses management dengan menempatkan UI sebagai pembina dan pengelola berbagai kampus di Tanah Air dengan keunggulannya masing-masing, misalnya kampus UI di Bogor untuk Pertanian dan Kedokteran Hewan; di Bandung (Teknik, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam), Surabaya (Kedokteran dan Kedokteran Gigi), dan Makassar (Ekonomi dan Hukum), dan seterusnya.
Dengan pendekatan itu, mutu perguruan tinggi merata dengan corak keunggulan lokalnya masing-masing sehingga dapat menciptakan harmoni saling ketergantungan antarpulau dan antar daerah di Tanah Air.
Di era awal kemerdekaan, Presiden Soekarno (1950) mengangkat rektor UI untuk memimpin sejumlah perguruan tinggi melalui penerapan kebijakan multicampuses management.
Kedua, di era Orde Baru, kewenangan pengangkatan rektor sepenuhnya diserahkan kepada presiden. Alasannya, perguruan tinggi dinilai sebagai institusi teknis, bukan institusi politik sehingga tidak perlu melalui mekanisme pemilihan, tetapi melalui penunjukan atau penugasan kepada siapa pun, yang dinilai memenuhi persyaratan baik dari dalam maupun dari luar PTN itu sendiri.
Ketiga, di lingkungan Kementerian Agama, mekanismenya tertuang pada Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Nomor (PMA) Nomor 68 Tahun 2015, yang menyebutkan ada empat tahapan yang harus ditempuh, yaitu: penjaringan bakal calon, pemberian pertimbangan, seleksi, dan penetapan.
Pada tahap seleksi, menteri agama membentuk Komisi Seleksi yang beranggotakan minimal tujuh orang yang bertugas melakukan verifikasi faktual, uji kelayakan dan kepatutan terhadap hasil penjaringan bakal calon dan sudah mendapat pertimbangan dari senat universitas. Komisi ini dituntut mengeluarkan tiga nama untuk diserahkan kepada menteri agama dan selanjutnya pada tahap terakhir, menteri agama akan menentukan satu di antaranya yang telah diajukan itu untuk ditetapkan sebagai rektor.
Keempat, mekanisme pemilihan rektor pada PTN di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) lain lagi, mengacu kepada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 19 Tahun 2017 dan Nomor 21 Tahun 2018. Tahapannya dimulai dengan penjaringan bakal calon oleh senat.
Pada tahap pertama akan dihasilkan paling sedikit empat bakal calon rektor. Pada tahapan selanjutnya, senat akan memilih tiga di antaranya yang dinilai memenuhi kualifikasi. Selanjutnya, pada tahap penentuan, pemilihan dilakukan dalam Rapat Senat Tertutup yang dihadiri oleh anggota senat dan menteri untuk memilih calon terbaik dari tiga calon. Pada tahap ini, menteri memiliki hak suara sebesar 35 persen, sedangkan senat memiliki hak suara sebesar 65 persen.
Dengan penggabungan itu, siapa pun dari tiga calon yang telah memperoleh suara terbanyak dialah yang akan ditetapkan oleh menteri sebagai rektor.
Mengakhiri kekisruhan
Untuk menghindari beragam kekisruhan dan polarisasi kehidupan kampus, dan berbagai kasus pemilihan rektor seperti di UNS pada April lalu, dari keempat model pemilihan itu dengan segala plus minusnya, kelihatannya Kemendikbudristek perlu secepatnya mengambil satu kebijakan inovatif dan aspiratif untuk mengembalikan marwah institusi perguruan tinggi sebagai komunitas masyarakat ilmiah, bukan komunitas politisi yang terbelah-belah.
Kembali kepada Lina, Bung Karno menuturkan: ”Meskipun bermacam-macam alat, tetapi oleh karena ada pimpinan, pertama pimpinan daripada satu lembaran kertas,—apa namanya itu noot, bahasa Indonesia-nya not.
Pola pembangunan yang dibuat oleh Dewan Perancang Nasional ini, itulah kertas notnya. Penyelenggara daripada pola ini, masyarakat ini tadi, yang terutama sekali terdiri daripada tenaga—tenaga fungsional, menyelenggarakan pola ini bersama-sama di dalam satu irama yang merdu sehingga terselenggaralah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila .…”
Terakhir, dengan analogi ini, dapatkah setiap PTN menyiapkan kertas notnya masing-masing dalam kerangka rencana induk pengembangannya (RIP) atau RPJP-nya dengan segala tahapannya menuju ke taraf world class university. Siapa pun rektornya yang dapat berganti setiap saat, perguruan tinggi itu tetap kondusif karena ia dipandu oleh kertas notnya masing-masing sehingga sang dirigen kampus dapat melaksanakan seluruh kegiatan tridharmanya secara bersama-sama dengan seluruh unsur sivitas akademikanya di dalam satu irama yang merdu sehingga kelak terwujudlah dan terselenggaralah perguruan tinggi yang berkualitas dunia seperti yang didambakan bersama.