Tragedi Negara Kepulauan
Kebijakan ekspor pasir laut dijustifikasikan dengan argumentasi yang lemah, yaitu untuk menyehatkan kembali laut kita. Secara ilmiah argumentasi ini sangat irasional karena dampak kebijakan itu bisa sebaliknya, tragedi.
Walaupun Indonesia diakui sebagai pejuang hak-hak negara kepulauan, perjuangan itu belum diimplementasikan dengan baik dalam kebijakan nasional.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, seharusnya kita berupaya menjadi negara yang kuat dan mandiri. Upaya tersebut hanya bisa terwujud via berbagai kebijakan.
Salah satu kebijakan nasional adalah UUD 1945, yakni Pasal 25 A berbunyi ”Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”.
Pasal ini memberi makna bahwa semakin banyak kebijakan turunan harus dihasilkan untuk memperkuat status kita. Demikian juga, pentingnya melipatgandakan praktik-praktik yang baik terkait pembangunan berkelanjutan sesuai prinsip-prinsip kepulauan.
Prinsip tersebut adalah memuliakan laut dan pulau sebagai satu kesatuan dalam pembangunan nasional. Modal yang kita miliki adalah jumlah pulau dan luas lautnya yang masif dengan pulau didominasi oleh pulau kecil sehingga dianggap kasus khusus dalam pembangunan karena kerentanan lingkungannya.
Baca juga : Kebijakan Ekspor Pasir Laut Dinilai Rapuh
Baca juga : Penambangan Pasir Laut Mengancam Kelestarian Lingkungan
Ironi ekspor pasir laut
Apa sebenarnya cerminan kebijakan turunan yang tidak sesuai dengan kebijakan di atasnya sebagai suatu tragedi negara kepulauan? Mari cermati kasus-kasus berikut.
Pertama, bisnis pasir laut yang hangat sekarang. Pembukaan kembali ekspor pasir laut dilegalkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Kebijakan ini dijustifikasikan dengan argumentasi yang lemah, yaitu untuk menyehatkan kembali laut kita. Secara ilmiah argumentasi ini sangat irasional karena dampak kebijakan tersebut justru sebaliknya.
Melawan prosedur konsultasi publik dalam perumusan kebijakan adalah kenyataan lain yang berakibat resistansi publik. Cara menjustifikasi kebijakan seperti ini justru melemahkan kita. Contoh praktik pelemahan kita, antara lain, mengekspor pasir laut ke Singapura untuk mereklamasi wilayahnya demi pembangunan pelabuhan tercanggih di dunia.
Tidakkah kebijakan ini menurunkan posisi tawar Indonesia? Contoh penguatan, misalnya, bahwa dengan pasir laut kita sudah bisa memaksakan Singapura duduk bersama berunding soal batas laut kita.
Jadi, sepatutnya ekspor pasir laut ini dihentikan karena lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.
Infografik Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut
Lumbung ikan nasional
Kedua, terkait kebijakan nasional tentang lumbung ikan nasional (LIN) yang diinisiasi presiden sebagai kepala pemerintahan, tetapi bisa dibatalkan hanya dengan argumentasi bahwa lokasi LIN ditolak karena banyak sisa bom aktif perang dunia yang bertebaran di situ. Ini juga jelas pernyataan irasional. Padahal, Presiden Joko Widodo sudah berkali-kali turun ke Ambon bersama sejumlah menterinya untuk melihat progres di lapangan, bahkan pernyataan kebijakan sebagai dasar proses kebijakan juga telah diucapkan.
Ini soal wibawa pemerintah. Apakah kebijakan ini bakal memperkuat Indonesia sebagai negara kepulauan? Jawabannya tentu pasti karena kawasan ini mau dijadikan sentra produksi perikanan nasional dengan justifikasi kuat dari sisi produktivitas perairan.
Kebijakan ini sejak dideklarasi oleh pemerintah sampai sekarang sudah berjalan lebih dari satu dekade, tetapi belum dilegalkan dalam bentuk kekuatan hukum apa pun.
Pengalaman membuktikan bahwa membuat suatu undang-undang hanya dengan durasi dua tahun sudah bisa selesai. Sementara peraturan presiden untuk LIN yang hanya berisi 19 pasal tidak selesai dalam durasi lebih dari sepuluh tahun. Durasi ini dianggap abnormal dalam perumusan suatu kebijakan, bahkan bertentangan dengan anjuran ilmu kebijakan.
Ini soal wibawa pemerintah. Apakah kebijakan ini bakal memperkuat Indonesia sebagai negara kepulauan?
UU Daerah Kepulauan
Ketiga, terkait inisiasi daerah kepulauan untuk melahirkan undang-undang daerah kepulauan. Lagi-lagi inisiatif ini sudah berlangsung hampir dua dekade dan tidak direspons positif oleh pemerintah.
Padahal, tujuan undang-undang ini untuk mengatasi kesenjangan pembangunan antara wilayah daratan dan kepulauan dalam lingkup NKRI. Ada 15 provinsi dan 86 kabupaten/kota kepulauan yang mengharapkan lahirnya UU ini.
Inisiatif ini seharusnya diapresiasi pemerintah sebagai upaya kritis publik untuk memperkuat kinerja negara kepulauan. Penolakan pemerintah soal inisiatif ini justru mengagetkan secara akademis. Konon, dampaknya sama dengan membuat ”negara dalam negara”. Lagi-lagi ini menyesatkan. Daya kritis publik dimatikan dengan intimidasi ini.
Padahal, justifikasi ilmiahnya telah dilakukan oleh Nurcholis (2022) dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dengan mengontraskan provinsi kepulauan dengan bukan kepulauan dari sisi jumlah penduduk, kontribusi ekonomi, pendapatan domestik regional bruto (PDRB) per kapita, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) selama 10 tahun (2011-2021).
Semuanya menjustifikasikan perlunya undang-undang ini.
Kasus-kasus di atas searah dengan visi misi Presiden Joko Widodo, yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan dan maritim yang kuat dan mandiri, tetapi ternyata tidaklah mulus. Ini benar-benar tragedi negara kepulauan yang patut dikoreksi.
Alex Retraubun,Guru Besar Universitas Pattimura