Merampas Aset dari Kawasan Sekretif, Hikmah dari Skandal Petrobras
Perampasan aset koruptor di kawasan sekretif mensyaratkan ketetapan pengadilan bahwa aset itu hasil korupsi. Belajar dari penanganan skandal Petrobras, jaksa dan hakim kasus korupsi harus profesional dan bernyali tinggi.
Oleh
DEDI HARYADI
·4 menit baca
Brasil mempunyai pengalaman menarik dalam merampas aset koruptor dari kawasan sekretif. Pelajaran dan hikmah apa yang bisa diraih dari pengalaman itu supaya kita juga terampil dalam merampas aset hasil korupsi/kejahatan finansial lainnya khususnya aset-aset yang diparkir di kawasan sekretif?
Kawasan sekretif, surga pajak atau offshore financial center, bisa berupa negara atau bagian dari suatu negara, adalah kawasan yang menyediakan fasilitas/jasa kerahasiaan keuangan sehingga klien (orang atau entitas bisnis, dana perwalian, atau yayasan) bisa mengangkangi peraturan dan kebijakan yurisdiksi asal klien (Kompas.id, 6/11/2017).
Upaya menarik pelajaran dan hikmah dari pengalaman orang lain (Brasil) itu menjadi penting dan kontekstual berkaitan dengan niat dan aksi politik pemerintah yang ingin mempercepat proses legislasi Undang-Undang Perampasan Aset.
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu diapresiasi karena responsif dan antisipatif dalam merespons United Nation Convention Against Anti Corruption (UNCAC). Bab V konvensi ini memuat informasi tentang pemulihan aset (asset recovery) hasil kejahatan korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Begitu disahkan pada 2003 dan efektif diberlakukan pada 2005, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC.
Pada 2012 muncul laporan akhir Naskah Akademik RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Dua tahun kemudian muncul Draf RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Lalu pada 2016-2018 Tim Review Implementasi UNCAC merekomendasikan banyak hal, satu di antaranya tentang perlunya Pemerintah Indonesia menerbitkan regulasi tentang perampasan aset.
Terakhir, di antaranya dipicu skandal korupsi Rafael Alun, pemerintah mendesak DPR untuk mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset. Sejauh ini surat presiden yang dikirimkan pemerintah untuk pembahasan bersama draf RUU tersebut belum ditindaklanjuti DPR.
StaR, TJN, dan ICIJ
Sekurangnya ada empat lembaga internasional yang relevan, terkait, dan memengaruhi dinamika korupsi lintas negara, kawasan sekretif, dan pemulihan aset hasil korupsi dan kejahatan finansial lainnya. Keempat lembaga itu adalah United Nations Office on Drug and Crime (UNODC), Bank Dunia, Tax Justice Network (TJN), dan International Consortium for Investigative Journalist (ICIJ).
Sejak UNCAC efektif berlaku, UNODC dan Bank Dunia berinisiatif mengembangkan program Stolen Asset Recovery (StaR). Mereka bekerja sama mengembangkan inisiatif untuk membantu negara-negara berkembang mengklaim dan memulihkan yang asetnya dicuri dan dilarikan dari negaranya ke kawasan sekretif.
Mereka bekerja sama mengembangkan inisiatif untuk membantu negara-negara berkembang mengklaim dan memulihkan yang asetnya dicuri dan dilarikan dari negaranya ke kawasan sekretif.
Menu program yang ditawarkan mencakup penguatan kapasitas, kemitraan, inovasi, dan penyusunan standar internasional (dalam mendeteksi, mencegah dan memulihkan aset yang dikorupsi). Menu penguatan kapasitas itu, misalnya, kalau negara berkembang tersebut belum bisa membuat regulasi perampasan aset, maka diberi bantuan teknis bagaimana membuat aturannya dan lain-lain.
Sejauh ini inisiatif StaR tampaknya kurang begitu berhasil. Dari nilai aset yang dicuri dan diparkir di berbagai kawasan sekretif yang diperkirakan mencapai 20 miliar-40 miliar dollar AS, baru 1,4 miliar dollar AS yang berhasil dibekukan. Sementara nilai aset yang berhasil direpatriasi baru sekitar 147,2 juta dollar AS.
Tax Justice Network (TJN) berperan penting dan besar dalam membangun badan pengetahuan dan pengalaman tentang dinamika kawasan sekretif. Salah satu di antaranya dengan mengembangkan Indeks Kerahasiaan Keuangan (Financial Secrecy Index) seluruh kawasan sekretif secara berkala (dua tahunan) dan teratur. Dengan adanya indeks ini, kita menjadi tahu pasang surut kawasan sekretif dan dinamika yang menyertainya.
Pada 2022, mereka merilis hasil risetnya tentang indeks tersebut. Hasilnya inilah 10 kawasan sekretif paling top, yaitu Amerika Serikat, Swiss, Singapura, Hong Kong, Luksemburg, Jepang, Uni Emirat Arab, Jerman, Kepulauan Virgin Britania Raya, dan Guernsey. Swiss yang berada pada peringkat kedua akan dibahas lebih lanjut pada saat membicarakan skandal Petrobras. Petrobras itu semacam Pertaminanya Brasil.
Adapun ICIJ berperan penting dan besar dalam melakukan investigasi dan publikasi tentang dinamika kawasan sekretif. Paling tidak sudah ada empat laporan besar tentang kawasan sekretif yang memengaruhi persepsi dan opini publik di seluruh dunia tentang perilaku elite (politik, bisnis, dan lain-lain) korupsi lintas dan kaitannya dengan kawasan sekretif.
Keempat laporan tersebut adalah Luxembourg Leaks (2014), Panama Papers (2016), Paradise Papers (2017), dan Pandora Papers (2021). Beberapa orang elite politik di Tanah Air ada disebut dalam beberapa laporan itu.
Swiss dan skandal Petrobras
Skandal Petrobras merupakan skandal korupsi terbesar sepanjang sejarah Brasil, bukan hanya dari segi nilainya, melainkan juga dari impak politiknya. Modusnya sebenarnya sederhana, pejabat Petrobras menggelembungkan nilai kontrak proyek-proyek Petrobas dengan berbagai perusahaan rekanan sekitar 3 persen dari nilai yang wajar (pasar) selama lebih dari satu dekade, dari 2003 sampai 2014.
Nilai aset yang dikorupsi selama periode itu mencapai 2,1 miliar dollar AS yang mengalir ke mana-mana. Mantan Presiden Lula Da Silva dan Dilma Rousseff terbukti bersalah ikut menikmati hasil korupsi tersebut. Lula kemudian dipenjara dan Rousseff dimakzulkan dan kursi presiden.
Selama periode 2007-2014, sebagian dana hasil korupsi itu—sekitar 35 juta dollar AS—dilarikan dan diparkir pada bank di Swiss. Setelah mendapatkan kepastian—ketetapan otoritas pengadilan Brasil—bahwa aset tersebut hasil korupsi, otoritas kejaksaan di Swiss kemudian menyita dan membekukan sekitar 620 juta franc, sekitar 390 juta franc di antaranya dikembalikan kepada otoritas Pemerintah Brasil.
Skandal Petrobras merupakan skandal korupsi terbesar sepanjang sejarah Brasil, bukan hanya dari segi nilainya, melainkan juga dari impak politiknya.
Swiss contoh kawasan sekretif yang bisa kooperatif dengan otoritas peradilan negara yang mengklaim perampasan aset koruptor. Kalau semua/sebagian besar kawasan sekretif begini, prevalensi korupsi lintas negara/kawasan bisa ditekan sekecil mungkin.
Pelajaran atau hikmah apa yang dapat dipetik dari penanganan skandal Petrobras untuk diterapkan dalam proses legislasi RUU dan implementasi UU Perampasan Aset kelak? Sekurangnya ada dua. Pertama, ketetapan pengadilan bahwa aset itu hasil korupsi/kejahatan finansial lainnya menjadi sangat penting baik untuk perampasan aset berbasis adanya pidana pokok (conviction) maupun perampasan berbasis tidak perlu adanya pidana pokok (non-conviction).
Semua kawasan sekretif mensyaratkan adanya ketetapan pengadilan ini kalau mau mengklaim/merampas dari kawasan sekretif. Jadi, MOU saja atau penandatanganan mutual legal assistance (MLA) tidak cukup untuk merampas aset dari kawasan sekretif. Kedua, jaksa dan hakim yang profesional, berintegritas tinggi, progresif, dan bernyali tinggi memegang peranan penting (instrumental) dalam mengungkap, mengadili skandal Petrobras ini termasuk merampas aset dari kawasan sekretif.
Jadi, kalau nanti RUU Perampasan Aset ini sudah diundangkan, tantangannya adalah bagaimana menghadirkan jaksa dan hakim seperti itu. Melihat perkembangan terkini institusi peradilan yang tidak bebas dan mandiri—yang di antaranya ditandai dengan tingginya prevalensi korupsi peradilan (judicial corruption)—kelihatannya upaya menghadirkan jaksa dan hakim yang demikian itu seperti menegakkan benang basah.