Kini saatnya menggalakkan kembali kampanye penggunaan medsos yang sehat dan bertanggung jawab. Kampanye ”saring sebelum ’sharing’” perlu diintensifkan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hampir dapat dipastikan, media sosial akan menjadi salah satu panggung yang paling banyak diperebutkan, sekaligus patut diwaspadai, pada Pemilu 2024.
Perebutan panggung di media sosial (medsos) itu sudah dapat dirasakan sejak kini. Hampir semua kandidat, yang disebut akan maju pada Pemilihan Presiden 2024, berupaya aktif di medsos. Mulai dari sekadar untuk mengabarkan aktivitas harian dan menyapa pengikutnya hingga untuk menyampaikan gagasan atau menyindir kandidat lain.
Kondisi itu bukan tanpa alasan. Hasil survei Litbang Kompas pada Mei 2023 menunjukkan, medsos menjadi media yang paling populer digunakan publik untuk mengikuti informasi seputar pencalonan presiden. Sebanyak 42,9 persen dari responden yang tergolong intens mengikuti berita pencapresan paling sering mengaksesnya melalui medsos. Hal serupa terlihat pada kelompok responden dengan intensitas menengah dan rendah (Kompas, 12/6/2023).
Pada saat yang sama, pengalaman sejumlah negara menunjukkan besarnya peran medsos dalam kemenangan sejumlah calon presiden. Twitter dan Facebook banyak disebut ikut berperan dalam kemenangan Donald Trump pada pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016. Sementara peran Tiktok banyak dibicarakan dalam kemenangan Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong pada pilpres Filipina 2022.
Medsos memiliki sejumlah keunggulan untuk kampanye. Selain relatif murah, praktis, dan dapat menjangkau banyak orang, juga dapat dengan cepat membaca umpan balik atau respons yang muncul.
Namun, kita juga memiliki pelajaran penting terkait medsos pada pemilu dan sejumlah pilkada sebelumnya. Medsos menjadi tempat tumbuh suburnya hoaks dan kampanye hitam yang sampai membelah masyarakat. Dampak dari itu semua masih bisa dirasakan sampai sekarang.
Kita juga memiliki pelajaran penting terkait medsos pada pemilu dan sejumlah pilkada.
Di medsos sejatinya juga sulit terjadi pertukaran pendapat atau gagasan. Ini karena seorang pengguna medsos akan cenderung mendapatkan atau disajikan informasi yang sesuai dengan keyakinan atau keinginannya. Keadaan ini tak sehat bagi demokrasi.
Ironisnya, saat ini hampir mustahil melarang penggunaan medsos pada pemilu atau pilkada. Di saat yang sama, aturan penggunaan medsos di Tanah Air juga masih terbatas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya dapat mengatur kampanye, termasuk di medsos, saat berlangsung masa kampanye, dan itu biasanya juga terbatas pada akun resmi. Padahal, perebutan panggung di medsos telah terjadi sejak sekarang dan banyak melibatkan akun tak resmi.
Terkait hal itu, kini saatnya menggalakkan kembali kampanye penggunaan medsos yang sehat dan bertanggung jawab. Kampanye ”saring sebelum sharing” atau ”hati-hati dengan jempol Anda” perlu diintensifkan. Kedewasaan para kandidat dan timnya dalam bermedsos juga dinantikan. Terlalu mahal harganya jika kemenangan pada pemilu harus dibayar dengan rusaknya hidup bersama kita karena hoaks atau kampanye hitam.