Menakar Proposal Indonesia untuk Perdamaian Rusia-Ukraina
Proposal perdamaian Prabowo mendapat reaksi banyak pihak. Proposal Prabowo memiliki banyak kekurangan dan tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap konsep mengenai kedaulatan wilayah serta posisi Indonesia.
Dalam pidatonya di Shangri-La Dialogue 2023, Singapura, 3 Juni 2023, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto menawarkan sebuah proposal perdamaian untuk menyelesaikan perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung sejak Februari 2022.
Prabowo menawarkan lima hal utama, yakni gencatan senjata, penarikan mundur pasukan Rusia dan Ukraina sejauh 15 kilometer dari posisi terakhir, pembentukan zona demiliterisasi, pembentukan misi pasukan perdamaian PBB, serta penyelenggaraan referendum di ”wilayah sengketa” oleh misi PBB.
Proposal tersebut langsung mendapatkan reaksi keras. Ukraina, melalui Penasihat Presiden Mikhail Podolyak, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Oleg Nikolenko, serta Menteri Pertahanan Oleksii Reznikov, langsung menolak proposal tersebut dan menganggap bahwa proposal tersebut ”aneh”, dan serupa dengan proposal dari Rusia agar Ukraina menyerahkan kedaulatannya.
Sementara itu, Wakil Presiden Komisi Eropa Joseph Borrell juga menyebutkan bahwa yang diinginkan adalah ”perdamaian yang berkeadilan”, bukan ”perdamaian karena Ukraina menyerah”.
Baca juga : Prabowo Dorong Gencatan Senjata di Ukraina dan Rusia
Baca juga : Proposal Perdamaian Prabowo, Mungkinkah Diimplementasi?
Inisiatif Pemerintah Indonesia melalui Menhan Prabowo Subianto perlu diapresiasi karena sebelumnya Pemerintah Indonesia hanya berhenti pada retorika ”hentikan perang”. Bahkan, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kyiv dan Moskwa tahun lalu juga tidak dilanjutkan dengan upaya serius mendamaikan Rusia serta Ukraina.
Oleh karena itu, kalau kita menganggap proposal ini adalah kelanjutan dari pernyataan Presiden Jokowi saat bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di pertemuan G7, awal Mei 2023, mengenai kesiapan Indonesia memediasi, perlu ada apresiasi tinggi.
Indonesia, sebagai bagian dari negara kekuatan menengah dan saat ini sedang menjadi ketua MIKTA (organisasi kekuatan menengah yang juga beranggotakan Meksiko, Korea Selatan, Turki, dan Australia), memiliki tanggung jawab moral untuk berkontribusi aktif pada upaya perdamaian.
Lima kelemahan proposal
Masalahnya, proposal Prabowo memiliki banyak sekali kekurangan dan tampak jelas tidak dirumuskan berdasarkan pemahaman mendalam terhadap konteks sejarah, kultural, serta politik identitas dari invasi Rusia ke Ukraina. Proposal tersebut juga tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap konsep mengenai kedaulatan wilayah serta terhadap posisi Indonesia.
Ada lima permasalahan utama dari proposal tersebut. Pertama, proposal tersebut lalai melihat bahwa yang memulai invasi adalah Rusia. Gencatan senjata dan perdamaian hanya bisa terjadi bila Rusia menghentikan serangan.
Posisi Ukraina sejak awal adalah mempertahankan wilayah kedaulatannya sehingga kalau Indonesia ingin mengusulkan gencatan senjata, yang seharusnya diminta adalah penghentian serangan oleh Rusia terlebih dahulu. Tentu tidak masuk akal untuk meminta Ukraina menghentikan perlawanan, sementara tidak ada jaminan bahwa Rusia akan berhenti menyerang.
Siapa yang lantas akan menjamin gencatan senjata, penarikan mundur pasukan sejauh 15 kilometer, dan pengelolaan zona demiliterisasi?
Kedua, proposal ini bias karena hanya didasarkan pada pengalaman Indonesia dan Asia, tanpa mempertimbangkan bahwa konteks sejarah di Ukraina jauh berbeda. Imperialisme yang dilakukan Rusia di masa Uni Soviet pada negara-negara sekitarnya telah membuat trauma berkepanjangan.
Masalahnya, proposal Prabowo memiliki banyak sekali kekurangan dan tampak jelas tidak dirumuskan berdasarkan pemahaman mendalam terhadap konteks sejarah, kultural, serta politik identitas dari invasi Rusia ke Ukraina.
Meminta Ukraina duduk bersama dengan Rusia saat ini, tanpa ada jaminan keamanan dari negara besar, serupa dengan meminta korban pemerkosaan duduk berdampingan dengan pemerkosanya.
Mencoba mendorong Ukraina agar berdamai dengan pihak agresor dengan argumen ”menyelamatkan warga” bisa dianggap upaya ”gaslighting” atau perdayaan mental dari pihak luar seperti kita, tanpa memperhitungkan trauma dari korban.
Permasalahan ketiga yang muncul dari proposal ini adalah semakin menguatnya adagium ”might is right”, bahwa kekuatan militer adalah segalanya. Semakin kuat negara Anda, maka Anda akan bisa mengambil apa yang Anda mau. Kalau dibiarkan, tentu hal ini akan menjadi pelajaran bagi negara lain.
Ke depan, setiap negara yang punya kemampuan militer kuat bisa menginvasi tetangga, mengambil wilayah yang diinginkan, lalu dengan argumen ”kemanusiaan” mengusulkan perdamaian dengan pembentukan zona demiliterisasi dan referendum. Indonesia tentu punya kepentingan agar kebiasaan ini tidak terjadi mengingat negara kita sudah memiliki pengalaman bersengketa wilayah dengan negara tetangga.
Secara khusus, proposal ini memiliki permasalahan keempat, yaitu terkait referendum di ”wilayah sengketa”. Wilayah tersebut bukan wilayah sengketa, melainkan wilayah sah dari Ukraina, dan prinsip Indonesia selama ini adalah menjaga kedaulatan wilayah.
Kalaupun diadakan referendum, penduduk di wilayah tersebut banyak yang sudah mengungsi ke wilayah atau negara lain. Bagaimana lantas memastikan bahwa yang memberikan suara adalah warga asli Ukraina yang tinggal di wilayah tersebut? Bagaimana memastikan tidak ada warga asing dari Rusia yang dimobilisasi ke sana?
Selain itu, siapa lantas yang akan diberi mandat oleh Dewan Keamanan (DK) PBB untuk menyelenggarakannya mengingat DK PBB diisi oleh Rusia, China, serta Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris?
Di luar semua aspek teknis tersebut, proposal ini juga menunjukkan permasalahan mendasar kelima, yaitu mengenai siapa sebetulnya yang menjadi perumus dan penentu kebijakan luar negeri Indonesia?
Banyak aspek teknis yang seharusnya dengan mudah dipahami, seperti soal ketidakmungkinan pengambilan keputusan di DK PBB karena konflik yang terjadi melibatkan salah satu anggota tetap, serta persoalan penghargaan terhadap prinsip kedaulatan wilayah, yang justru sepertinya luput dari pertimbangan usulan proposal tersebut.
Kita lantas bisa bertanya, apakah proposal ini dimunculkan sudah atas persetujuan Presiden Jokowi serta atas masukan dari Kementerian Luar Negeri?
Baca juga : Ukraina Tolak Proposal Perdamaian dari Prabowo
Ataukah proposal ini hanya lontaran ide mentah yang akan ditindaklanjuti kemudian? Yang jelas, jangan sampai proposal ini hanya menjadi upaya menaikkan profil domestik demi menghadapi Pemilu 2024, karena harga yang harus dibayar terlalu tinggi, yaitu reputasi global Indonesia.
Tak sensitif, tak paham konteks
Kalau Indonesia ingin berperan lebih lanjut, seharusnya yang dilakukan bukan langsung memberikan usulan berdasarkan pengalaman kita sebagai negara, karena jelas kita akan dicap tidak sensitif dan tidak memahami konteks kawasan Eropa Timur.
Yang bisa dilakukan adalah menciptakan platform dialog, baik melalui diplomasi ulang-alik oleh utusan khusus Pemerintah Indonesia sebagai kelanjutan kunjungan Presiden Jokowi ke Kyiv dan Moskwa maupun forum dialog perdamaian yang dikelola secara bersama oleh negara-negara kekuatan menengah, non-Barat, non-Rusia-China.
Dengan begitu, kepercayaan, terutama dari korban (Ukraina), akan kembali tumbuh. Solusi, kalaupun ada, seharusnya muncul dari hasil dialog negara yang bersengketa, bukan dipaksakan oleh negara lain, baik oleh negara adidaya semacam AS, China, maupun negara menengah seperti Indonesia.
Radityo Dharmaputra, Ketua Pusat Studi Eropa dan Eurasia, Universitas Airlangga