G7 Kembali ke Khitah
Pada akhirnya G7 telah kembali ke khitah (garis besar perjuangan) mengutamakan kepentingannya yang dari awal sudah diperkirakan karena isu-isu prioritas yang menjadi ”playing ground” mereka.
Ada ”oleh-oleh” menarik dari KTT G7 pada 19-21 Mei 2023 di Hiroshima, Jepang, berupa video yang menjadi viral di dunia maya. Dalam perhelatan itu, Presiden Joko Widodo diberi tempat utama pada saat sesi foto G7 ”Family Outreach” dengan semua pemimpin yang hadir.
Hal ini bukan preseden baru dalam tata protokol G7 yang ”fleksibel”.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditempatkan di sebelah kanan Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida, lebih karena posisinya sebagai Ketua ASEAN, dan sebelah kirinya Ketua Uni Afrika Presiden Komoro Azali Assoumani.
Pada KTT G7 ke-48 di Schlos Elmau, Jerman (2022), Jokowi ditempatkan di samping kiri Kanselir Olaf Scholz karena Indonesia adalah Ketua G20, dan ketika itu yang menjadi viral adalah Jokowi dipeluk-peluk oleh Presiden AS Joe Biden.
Bahkan, dalam KTT G7 ke-33 di Heiligendamm, Jerman (2007), Kanselir Jerman Angela Merkel sendiri tak ada di tengah dalam sesi fotonya.
Baca juga : Dalam Forum G7, Presiden Serukan Revolusi untuk Hentikan Perang
Dari G7 ke G8, ke G7 lagi
Sejak awal pembentukannya pada 1973, G7 memang dimaksudkan sebagai forum eksklusif dan informal negara-negara kapitalis dan industri utama dunia. Dimulai ketika Menteri Keuangan AS George Shultz berinisiatif bertemu dengan mitranya dari Jerman (Barat), Perancis dan Inggris di ruang perpustakaan Gedung Putih, Washington, yang kemudian dikenal sebagai Library Group (G4).
Tahun itu juga Jepang diundang sehingga jadi Group of Five (G5) dan beturut-turut kemudian bergabung Italia (1975) dan Kanada sejak KTT ke-2 di Puerto Riko (1976). Di sini AS secara resmi menetapkan forum ini sebagai G7.
G7 lahir akibat guncangan besar ekonomi global pada 1970-an, di antaranya krisis minyak dan runtuhnya sistem nilai tukar (exchange rate) tetap Bretton Woods sehingga dunia menghadapi ketidakpastian (tenterhooks). Para pemimpin forum ini sepakat untuk berkonsultasi, berkoordinasi, dan melakukan aksi bersama untuk mengatasinya.
Karena G7 bukan organisasi internasional dengan aparat administratifnya sendiri, agendanya sebagian besar ditentukan oleh setiap ketuanya.
Namun, di masa Perang Dingin itu juga isu-isu HAM, keamanan dan perdagangan internasional, perlucutan dan pengawasan senjata, energi dan lingkungan sudah menjadi ”menu tetap”.
Rusia diundang menghadiri KTT G7 ke-24 di Birmingham, Inggris (1998), dan secara resmi pula G7 menjadi G8. Rusia diundang bergabung dalam transisi pascakomunis untuk mendorong reformasi politik dan ekonomi, serta keterlibatan internasionalnya. Rusia secara teratur menghadiri pertemuan puncak hingga tahun 2013.
Pada 2014, para pemimpin G7 memutuskan tak menghadiri KTT G8 di Sochi, Rusia, dan keanggotaan Rusia dibekukan (suspended) akibat aneksasinya atas Semenanjung Krimea (Ukraina). Alih-alih bertemu di Sochi, para pemimpin G7 bertemu untuk pertama kali dalam KTT ke-40 di luar negara anggota di Brussels, Belgia, pada 2014.
Pada 2018, Rusia secara resmi meninggalkan G8. Meskipun demikian, pada 2019 Presiden Vladimir Putin mengisyaratkan dukungan bagi masuknya China, India, dan Turki jika G7 memulihkan kembali keanggotaan negaranya.
Di lain pihak, pada 2020 Presiden AS Donald Trump dan PM Italia Giuseppe Conte mengusulkan masuknya Australia, Brasil, India, dan Korea Selatan, ditambah diterimanya kembali Rusia. Namun, anggota G7 lainnya menolak usulan tersebut, sementara Rusia menyatakan tidak tertarik (The Strait Times, 9/6/2018). Setelah itu, de facto G8 kembali menjadi G7.
Fokus perhatian G7 adalah isu-isu makroekonomi dunia, di mana kedudukan mereka sangat kuat.
Kembali ke khitah
Menurut Global Wealth Databook, pada 2020 G7 memiliki lebih dari setengah kekayaan bersih (net wealth) dunia (lebih dari 200 triliun dollar AS), 43-46 persen produk domestik bruto (PDB) global, 47 persen ekspor, dan 52 persen impor barang (merchandise), serta 10 persen (770 juta orang) penduduk dunia (Credit Suisse, Jun, 2021).
Fokus perhatian G7 adalah isu-isu makroekonomi dunia, di mana kedudukan mereka sangat kuat. G7 akan tetap menjadi format penting untuk membentuk globalisasi dan mengatasi tantangan global yang mendesak karena negara anggotanya berbagi nilai bersama (shared value), seperti kepercayaan pada demokrasi, pasar bebas, multilateralisme, rule of law, dan HAM.
Upaya tersebut mencakup beberapa inisiatif untuk meringankan utang negara-negara berkembang. Karena itu, sejak KTT ke-22 di Lyon, Perancis (1996), G7 mulai mengundang lembaga ekonomi dan keuangan internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia.
Pada KTT ke-26 di Okinawa, Jepang (2000); Afrika Selatan, Nigeria, Aljazair, dan Senegal (Afrika) menjadi negara-negara berkembang pertama yang diundang. Setelah itu, sejumlah negara berkembang dari berbagai kawasan diundang, misalnya Afghanistan, Irak, dan Yaman (Asia) serta El Salvador, Haiti, Jamaika (Amerika Latin dan Karibia).
Presiden RI Joko Widodo menghadiri rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Hiroshima, Jepang, pada Sabtu (20/5/2023). Dalam rangkaian pertemuan itu, Indonesia menekankan pentingnya perlakuan setara dan menolak diskriminasi.
G7 tidak pernah mengagendakan masuknya China meskipun pada KTT ke-31 di Gleneagles, Skotlandia (2005), secara tidak resmi dibentuk forum G8+5, yang mencakup negara-negara BRICS (China, India, Brasil, dan Afrika Selatan), serta Meksiko. Namun, pembentukan ini karena adanya concern bersama mengenai isu perubahan iklim; dan isu perluasan G8 menjadi G13 tidak pernah dibahas.
Khusus mengenai China, alasan utamanya adalah Beijing dinilai memiliki sistem ekonomi campuran. Sejalan dengan pemikiran John Maynard Keynes, sistem ini mencampurkan prinsip kapitalisme dan sosialisme, dengan memadukan elemen ekonomi pasar dan ekonomi terencana, pasar bebas dan campur tangan negara, atau perusahaan swasta dengan perusahaan publik. Dengan sistem inilah China berkembang pesat menjadi negara industri sehingga merasa lebih nyaman berada di luar G7.
Oleh karena itu, Rusia dan China sepakat untuk menentang (lash out) langkah-langkah baru G7 yang ditujukan kepada kedua negara itu, seperti tertuang dalam Komunike Hiroshima. Bahkan, Menlu Rusia Sergei Lavrov pernah menegaskan bahwa Moskwa ”never asked anyone to return” ke G-7 (The Strait Times, 9/6/2018).
Sementara Beijing secara khusus menyatakan, ”Masyarakat internasional tidak dan tidak akan menerima aturan Barat yang didominasi G7 yang berusaha memecah belah dunia berdasarkan ideologi dan nilai-nilai,” (CNN, 22/5/2023).
Bahwa pada akhirnya G7 memang telah kembali ke khitah (garis besar perjuangan) yang hanya mengutamakan kepentingannya memang dari awal sudah diperkirakan karena isu-isu prioritas di atas memang playing ground mereka.
Posisi negara berkembang
Meskipun sejumlah negara berkembang dari berbagai kawasan pernah diundang dalam KTT G7, jangan dibayangkan mereka ikut merumuskan hasil akhirnya. Dari G7 Hiroshima Leader’s Communique, yang terdiri dari 40 halaman, 66 paragraf dan mencakup 22 isu, dapat ditarik beberapa catatan.
Pertama, tidak dapat disangkal bahwa Ukraina menjadi perhatian utama meskipun hanya satu paragraf (paragraf 4), tetapi disebut 22 kali dalam komunike itu, dan ditambah satu pernyataan khusus (G7 Leader’s Statement on Ukraine). Bahkan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy ditempatkan di tengah para pemimpin G7 dalam sesi foto khusus.
Menurut data terbaru dari think-tank Jerman, Kiel Institute, anggota NATO berkomitmen setidaknya 80,5 miliar dollar AS dalam bantuan keuangan, kemanusiaan, dan militer antara Februari dan November 2022 (Al Jazeera, 15/2/2023).
Kedua, nada keras diarahkan kepada Rusia, yang disebut 23 kali, dalam kaitan dengan perangnya melawan Ukraina; dan China yang disebut 20 kali karena concern dengan ”ulahnya” di Laut China Selatan dan Indo-Pasifik.
Ketiga, isu-isu prioritas G7—perubahan iklim, energi, ekonomi dan perdagangan, dan HAM—mendominasi komunike. Memang, isu jender, pendidikan, dan kesehatan juga besar porsinya, tetapi lebih dalam konteks pengembangan dan perkuatan arsitektur kesehatan global, di mana peran G7 memang sangat menonjol.
Keempat, tidak ada isu khusus mengenai ASEAN meskipun enam kali disebut, dalam kaitan koordinasi dengan mitra kawasan; sementara Uni Afrika dan Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Forum/PIF) memang hanya sekali.
Bahwa pada akhirnya G7 memang telah kembali ke khitah (garis besar perjuangan) yang hanya mengutamakan kepentingannya memang dari awal sudah diperkirakan karena isu-isu prioritas di atas memang playing ground mereka.
Partisipasi negara-berkembang dalam perhelatan G7 tidak lebih dari sekadar penggembira (cheerleaders) untuk meramaikan. Makanya, Paul Donovan dari UBS Global Wealth Management menyebut G7 sebagai selfie summit.
Donovan mengatakan, ”Fokus utama pertemuan G7 (sesi foto) sepertinya berjalan dengan baik. Selebihnya, hasil pertemuan itu dipoles (papered over) untuk menutupi celah-celah (cracks) perbedaan pendapat. G7 belum memiliki dampak langsung dan besar karena masih terlalu banyak pernyataan yang tidak jelas,” (CNBC, 14/6/2021)
Hampir dipastikan Indonesia tidak akan diundang dalam KTT G7 pada 2024, dan kalaupun diundang, mungkin tidak akan hadir karena alasan kepentingan nasional menjelang pemilu presiden. G7 memang tidak seperti G20, di mana negara berkembang seperti Indonesia masih punya ruang manuver (room for maneuver).
Hasil akhir apa pun dari forum semacam ini hanya berupa komitmen dan tak mengikat, apalagi bagi negara berkembang. Meski demikian, kesepakatan G7 untuk melaksanakan langkah konkretnya yang terpadu tetap perlu jadi perhatian negara berkembang karena pasti akan merasakan dampaknya, baik langsung maupun tidak langsung, sekalipun belum tentu membawa manfaat.
Dian Wirengjurit, Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional