Kunci penurunan kemiskinan adalah pemenuhan hak anak-anak miskin. Upaya dan kerja yang lebih serius harus difokuskan untuk mempersiapkan anak-anak miskin agar mempunyai daya saing di pasar kerja.
Oleh
HARDIUS USMAN
·4 menit baca
Kemiskinan tampaknya masih akan menjadi isu andalan dalam kampanye pemilu mendatang. Bagaimana tidak, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, hingga September 2022, tingkat kemiskinan di Indonesia masih sebesar 9,57 persen atau berjumlah 26,36 juta jiwa. Selain itu, dalam sepuluh tahun terakhir, tingkat kemiskinan hanya turun 2,09 persen poin atau 0,209 persen poin per tahun. Jika tren tidak berubah drastis, target pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin tidak akan tercapai, untuk menurunkan tingkat kemiskinan sampai 7 persen dan pada akhir 2024 kemiskinan ekstrem ”lenyap” dari Bumi Pertiwi.
Di sisi lain, pencapaian tersebut cukup ironis mengingat Indonesia merupakan negara yang sangat serius dalam menanggulangi kemiskinan. Keseriusan ini tecermin dari penyediaan anggaran yang sangat besar dari tahun ke tahun. Untuk anggaran pelindungan sosial saja, pada 2022 Indonesia mengalokasikan Rp 431,5 triliun atau hampir 20 persen APBN. Anggaran tersebut masih ditambah dengan anggaran untuk program peningkatan pendapatan dan pembangunan infrastruktur, khususnya yang diarahkan ke wilayah kantong kemiskinan. Sangat beralasan, politisi menggunakan kondisi tersebut sebagai ”barang dagangan”.
Kisah karut-marut pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan bukan cerita baru, dari kasus bantuan yang salah sasaran, pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi (walau sudah diklarifikasi) bahwa anggaran habis untuk rapat dan studi banding di hotel, Menteri Keuangan yang membeberkan praktik oknum pemerintah daerah yang memanipulasi data dengan memasukkan pendukung atau bahkan tim suksesnya (timses) ke dalam data penerima bantuan sosial (bansos), sampai menteri yang masuk bui. Integritas pengelola dan tata kelola memang masih harus mendapat perhatian. Jika semua telah baik, apakah menjamin kemiskinan akan turun cepat?
Jika ditinjau dari uraian mata anggaran yang sebesar Rp 431,5 triliun pada 2023, proporsi terbesar ternyata untuk meringankan beban penduduk miskin, seperti: subsidi, bantuan dan jaminan sosial, dan investasi sosial jangka panjang di bidang pendidikan dan kesehatan. Bagaimana mungkin program yang bersifat konsumtif ini dapat menurunkan kemiskinan dalam waktu cepat?
Program ini memang mampu ”menahan” penduduk miskin untuk tidak kelaparan atau ”mencegah” penduduk rawan miskin jatuh ke jurang kemiskinan, tetapi tidak signifikan untuk ”mengeluarkan” penduduk dari kemiskinan. Jadi tidak mengherankan jika pemerintah berhasil menahan lonjakan kemiskinan akibat pandemi Covid-19, tetapi tidak mampu menurunkan kemiskinan dengan cepat.
Peningkatan pendapatan
Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2007 menyatakan ”nothing is more fundamental to poverty reduction than employment”. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan adalah dengan membuka lapangan pekerjaan. Penduduk miskin bukanlah sekumpulan orang-orang malas. Menganggur bagi mereka adalah sebuah kemewahan.
Data BPS mencatat, pada Maret 2022 hanya 11,03 persen kepala rumah tangga miskin yang tidak bekerja. Permasalahan yang mereka hadapi bukan tidak bekerja, melainkan upah yang sangat rendah, akibat pekerjaan yang digelutinya merupakan pekerjaan kasar di sektor informal. Dengan demikian, jika ingin menurunkan tingkat kemiskinan, maka berikan orang miskin pekerjaan dengan upah layak.
Pekerjaan dengan upah layak sesungguhnya selalu tersedia di pasar tenaga kerja. Namun, dengan karakteristik orang miskin yang dikenal dengan 4L (the last, the least, the lowest, and the losers), maka mereka selalu kalah bersaing di pasar kerja. Jadi, membuka lapangan kerja memungkinkan memperkecil peluang munculnya orang miskin baru, tetapi sangat kecil peluangnya untuk ‘mengangkat’ si miskin dari jurang kemiskinan.
Permasalahan yang mereka hadapi bukan tidak bekerja, melainkan upah yang sangat rendah, akibat pekerjaan yang digelutinya merupakan pekerjaan kasar di sektor informal.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah sejak dahulu adalah memberikan penduduk miskin pelatihan dan modal usaha. Dalam mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keterampilan, penduduk miskin tentu tidak dikenakan biaya. Namun, waktu yang digunakan untuk mengikuti pelatihan dapat menghalangi mereka untuk mencari nafkah. Opportunity cost ini sangat ”mahal” bagi orang miskin. Katakanlah penduduk miskin bersedia mengikuti pelatihan, yang selanjutnya diberikan modal untuk memulai.
Konsep Product Life-Cycle mendeskripsikan bahwa pada awal pengenalan produk, biaya yang dikeluarkan perusahaan relatif tinggi, dan perusahaan umumnya tidak akan mendapat profit, bahkan cenderung merugi. Bagi perusahaan besar kondisi tersebut bukan sebuah masalah, bahkan perusahaan seperti GOTO disebut-sebut ”membakar uang” pada tahap ini.
Bagaimanakah dengan orang miskin? Mampukah mereka melalui masa pengenalan produk ini? Penelitian yang dilakukan Banerjee et al (2015) menyimpulkan bahwa kredit mikro tidak berdampak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan.
Anak-anak miskin
Sekalipun dalam kondisi perekonomian yang cukup baik seperti satu dekade belakangan ini, tampaknya program penanggulangan kemiskinan yang sedang dilaksanakan tidak mungkin menyelesaikan kemiskinan dalam jangka pendek. Oleh karena itu, harapan sesungguhnya sebuah rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan berada di tangan anak-anak mereka. Pemerintah memang telah menyediakan berbagai sarana dan prasarana lebih baik untuk memenuhi hak-hak anak.
Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, salah satu hak anak yang terpenting adalah pendidikan. Data BPS menunjukkan bahwa pada Maret 2022, lebih dari 60 persen kepala rumah tangga miskin mempunyai pendidikan tidak tamat SMP. Ini menunjukkan adanya korelasi antara tingkat pendidikan dan kemiskinan. Jangan-jangan perbaikan bidang pendidikan anak-anak dari waktu ke waktu inilah yang menyebabkan turunnya kemiskinan di Indonesia.
Sekalipun perbaikan bidang pendidikan telah dirasakan, tetapi masih banyak anak yang putus sekolah. BPS mencatat pada 2022 Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk kelompok kesejahteraan terendah usia 7-12 tahun sebesar 98,86 persen; 13-15 tahun 93,04 persen; dan 16-18 tahun 64,08 persen. Artinya, ada 8,1 persen anak putus sekolah di tingkat SD dan SMP, dan 35,92 persen di tingkat SMA. Angka tersebut sering dianggap kecil, tetapi tidak demikian jika dipandang dari perspektif angka kemiskinan. Mereka yang putus sekolah pada pendidikan rendah mempunyai potensi untuk ”melanggengkan” kemiskinan atau memunculkan kemiskinan baru.
Program penanggulangan kemiskinan dengan meringankan beban konsumsi tentu harus terus dilakukan. Namun, untuk menurunkan kemiskinan, pemenuhan hak-hak anak-anak miskin merupakan kuncinya. Upaya dan kerja yang lebih serius harus difokuskan untuk mempersiapkan anak-anak miskin agar mempunyai daya saing di pasar tenaga kerja sehingga mampu memperoleh penghasilan yang layak. Berbagai rintangan yang menyebabkan anak putus sekolah harus dieliminasi sekecil-kecilnya.
Jadi, mungkin sampai beberapa kali kampanye pemilu ke depan, kita masih harus menikmati eksploitasi isu kemiskinan yang ”didendangkan” para politisi. Bagaimanapun kita membutuhkan pemimpin yang berkomitmen untuk menghapus kemiskinan di Indonesia. Namun, jangan pernah berharap mereka bisa menyulap kemiskinan dalam waktu sekejap.