Rakyat Kuwait, 6 Juni lalu, memberikan suara mereka pada pemilu legislatif. Lewat demokrasi khasnya, Kuwait berupaya melibatkan suara rakyat dalam urusan negara.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dibandingkan dengan negara Arab Teluk dalam perkumpulan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), Kuwait lebih progresif menjalankan demokrasi. Berbentuk monarki konstitusional, negeri itu memberikan kewenangan cukup besar kepada parlemen, yang disebut Majelis Nasional(majelis al-ummah). Badan ini beranggotakan 65 orang: 50 anggota dipilih melalui pemilu dan 15 anggota lainnya ditunjuk emir.
Mereka memiliki pengaruh dan kewenangan lebih besar daripada lembaga serupa di negara monarki Arab Teluk lain, seperti Qatar, Oman, atau Bahrain, yang juga menggelar pemilu legislatif. Majelis Nasional menetapkan undang-undang, mengawasi kabinet pemerintahan, memiliki hak bertanya dan mengajukan mosi tidak percaya terhadap menteri.
Sesuai konstitusi, pemimpin negara adalah emir. Saat ini Emir Kuwait adalah Sheikh Nawaf al-Ahmad al-Jaber al-Sabah (85). Ia memegang otoritas menunjuk perdana menteri, yang membentuk kabinet, dan berhak membubarkan Majelis Nasional. Langkah terakhir ini diambil emir, terutama saat terjadi kebuntuan politik antara Majelis Nasional dan eksekutif.
Proses itu pula yang melatarbelakangi digelarnya pemilu di Kuwait, 6 Juni 2023. Bermula dari pembatalan hasil pemilu tahun 2022 dan pemulihan kembali formasi Majelis Nasional hasil pemilu 2020, Emir Sheikh Nawaf membubarkan majelis ini pada Mei lalu dan memerintahkan digelar pemilu.
Dengan gambaran itu, pengamat Barat menyebut praktik bernegara di Kuwait dengan sebutan ”semidemokrasi”. Akan tetapi, seperti ditulis Abdulla Bishara, diplomat Kuwait dan mantan Sekretaris Jenderal Dewan Kerja Sama Teluk, demokrasi di Kuwait tidak sama dengan di Eropa. Demokrasi Kuwait dibangun dengan formula kemitraan antara sistem politik yang sah dan keterwakilan di parlemen.
Keterwakilan di parlemen dijalankan melalui pemilu legislatif, yang berlangsung di Kuwait sejak 1963. Lantaran partai politik dilarang, warga Kuwait mengajukan diri di bursa bakal calon anggota Majelis Nasional sebagai calon perseorangan. Dari 207 kandidat, seperti diberitakan kantor berita KUNA, pemilu 6 Juni lalu menghasilkan 50 anggota Majelis Nasional, 37 orang di antaranya adalah wajah-wajah anggota lama.
Sejarah politik Kuwait kerap diwarnai perombakan kabinet dan pembubaran parlemen akibat seringnya terjadi kebuntuan politik antara Majelis Nasional dan eksekutif. Akibat kebuntuan itu, langkah reformasi ekonomi tak bisa disahkan. Anggaran belanja negara sering mengalami defisit—anggaran 2023-2024 yang diajukan kabinet awal tahun ini lebih dari 5 miliar dinar atau 16 miliar dollar AS. Investasi asing rendah.
Seperti dikatakan pemilih yang dikutip harian ini, pemilu terakhir ini diharapkan menghasilkan politisi yang mampu mendorong kesejahteraan publik, terutama layanan di bidang kesehatan dan pendidikan.