Angka kematian ibu dan anak baru lahir di Indonesia masih tinggi. Untuk menurunkannya perlu langkah-langkah simultan baik dari aspek kesehatan, sosial, maupun budaya.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Meski menurun, angka kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia masih tinggi, bahkan termasuk tinggi di kawasan Asia Tenggara.
Per 2020, angka kematian ibu (AKI) 189 per 100.000 kelahiran hidup (Kompas, 7/6/2023). Bandingkan dengan negara-negara tetangga, berdasar data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2017, AKI Singapura 8, Malaysia 29, Brunei Darussalam 31, Thailand 37, Vietnam 43, Filipina 121, dan Kamboja 160 per 100.000 kelahiran hidup. Adapun angka kematian bayi (AKB) baru lahir di Indonesia, per 2020, mencapai 16,85 per 1.000 kelahiran hidup atau di urutan kelima tertinggi di Asia Tenggara.
Tingginya AKI dan AKB tersebut mencerminkan bahwa derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia secara umum masih rendah. Angka kematian ibu merupakan salah satu indikator untuk menetapkan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat suatu negara, dan kesehatan bayi baru lahir selaras dengan kesehatan ibu.
Oleh karena itu, pemerintah menetapkan penurunan AKI dan AKB sebagai salah satu agenda utama Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dengan target penurunan AKI menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 12 per 1.000 kelahiran hidup pada 2030, perlu langkah-langkah percepatan yang tidak hanya menyangkut aspek kesehatan, tetapi juga aspek sosial dan budaya, dan dilakukan secara simultan.
Keterlambatan deteksi dini dan penanganan kesehatan pada ibu hamil, yang menjadi salah satu penyebab tingginya AKI, sering kali tidak hanya masalah kesehatan, tetapi juga sosial dan budaya. Ketimpangan jender sering kali masih menjadi kendala bagi perempuan untuk mengakses layanan kesehatan. Misalnya, masih ada prinsip bahwa perempuan tidak berhak menentukan sendiri proses persalinannya, perempuan tidak berhak menentukan yang terbaik untuk tubuhnya (dalam pengaturan kelahiran), asupan makanan bagi perempuan hamil ditentukan sesuai tradisi yang berlaku di masyarakat.
Karena itu, upaya memperkuat layanan kesehatan perlu dibarengi pula dengan upaya memperkuat kapasitas masyarakat.
Demikian pula tingginya angka perkawinan usia anak (10,35 persen per tahun 2020) juga berdampak kepada tingginya AKI, AKB, serta rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Secara fisik, anak perempuan (usia di bawah 19 tahun) belum siap melahirkan karena organ reproduksi mereka belum matang.
Karena itu, upaya memperkuat layanan kesehatan perlu dibarengi pula dengan upaya memperkuat kapasitas masyarakat. Koordinasi lintas sektoral serta kolaborasi dan sinergi antara pemangku kepentingan terkait, terutama pemerintah pusat dan daerah, menjadi kunci untuk mempercepat penurunan AKI dan AKB.
Langkah Pemerintah Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, untuk menurunkan AKI dari 300 per 100.000 kelahiran hidup pada 2006 menjadi 0 per 100.000 kelahiran hidup dalam kurun waktu 2009-2010 dapat menjadi contoh. Untuk mencegah kematian ibu karena melahirkan secara tradisional, ditolong dukun beranak tak terlatih, Pemkab Takalar membuat program kemitraan bidan dan dukun yang diperkuat dengan peraturan daerah.
Kita percaya bahwa kematian ibu dan bayi dapat dicegah. Langkah-langkah yang simultan dalam aspek kesehatan, sosial, dan budaya tersebut menjadi skrining yang komprehensif untuk menyelamatkan ibu dan bayi.