Gejala munculnya demokrasi yang sakit makin terasa saat kontestasi pemilu/pilpres mulai digelar. Media arus bawah/media sosial menjadi panggung para aktor melontarkan kampanye hitam terhadap capres kubu yang jadi lawan.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·4 menit baca
Demokrasi yang dijalankan dengan jiwa sakit berpotensi melahirkan politik hegemoni, dendam, dan kebencian. Hegemoni dijalankan demi mendapatkan kekuasaan sebesar-besarnya. Dendam ditunaikan demi menebus luka-luka politik. Dan, kebencian dihayati dan diamalkan demi menegasikan lawan politik.
Jika tanpa pengendalian, pemilihan umum/pemilihan presiden (pemilu/pilpres) pun bisa jadi panggung kebencian yang menebarkan permusuhan. Di sini para elite politik punya kewajiban moral menjadikan pemilu/pilpres panggung demokrasi dan persaudaraan bangsa.
Gejala munculnya demokrasi yang sakit semakin terasa dalam jagat politik Indonesia, terutama saat kontestasi pemilu/pilpres mulai digelar. Media arus bawah/media sosial menjadi panggung para aktor untuk melontarkan kampanye hitam terhadap calon presiden (capres) kubu lain yang jadi lawan capres yang mereka dukung.
Para aktor kampanye hitam itu ada yang profesional, ada pula yang amatir. Yang profesional dikenal sebagai pendengung bayaran atau mereka yang mendukung capres tertentu demi mendapatkan akses ekonomi dan politik. Umumnya, mereka terampil dan terlatih bermain retorika untuk memojokkan capres kubu lawan. Gaya bahasa dan komunikasi mereka sarkastik, garang, dan provokatif.
Adapun para aktor kampanye hitam yang tergolong amatir umumnya orang-orang awam politik yang bersikap partisan. Konten kampanye hitam mereka didominasi ujaran kebencian. Waton suloyo (asal membantah). Ternyata tak semua aktor kampanye hitam itu orang kebanyakan. Beberapa dari mereka bahkan sudah punya nama.
Kampanye negatif
Ada dua jenis kampanye, yakni kampanye hitam dan kampanye negatif. Kampanye hitam adalah serangan politik verbal, visual, auditif yang tidak berbasis obyektivitas/keadilan.
Dasarnya, asumsi, spekulasi, manipulasi, dan prasangka negatif. Wujudnya bisa hasutan/ provokasi/fitnah. Tujuannya menghancurkan/membunuh karakter orang yang jadi obyek serangan. Selain itu, kampanye hitam menjadikan isu SARA sebagai modal yang dieksploitasi jadi amunisi serangan.
Ilustrasi
Di dalam etika kontestasi demokrasi, kampanye hitam dilarang karena berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
Adapun kampanye negatif adalah kampanye yang berbasis gagasan yang didukung obyektivitas data dan fakta. Setiap pihak yang berkontestasi saling bersaing menyodorkan kebenaran berbasis data dan fakta. Mereka pun saling memberikan tandingan gagasan dan argumentasi. Semua hal jadi terkonfrontasi dan terkonfirmasi.
Dalam praktik demokrasi, kampanye hitam merupakan keniscayaan yang sah untuk dilakukan. Pertama, untuk menunjukkan kekuatan gagasan, data, fakta, dan berbagai hasil pencapaian. Kedua, untuk menunjukkan kelemahan sekaligus memojokkan karakter lawan politik. Publik yang netral pun mendapat perbandingan dan pengetahuan sebelum menjatuhkan pilihan.
Tidak banyak orang yang mampu melakukan kampanye negatif karena alasan kemampuan intelektual, penguasaan persoalan, data, dan fakta. Karena itu, sebagian besar orang memilih kampanye hitam yang jauh lebih gampang dan diasumsikan ”boleh ngawur”.
Panggung politik yang waras (berbasis akal sehat) bisa berubah jadi panggung kebencian jika kampanye hitam dipompa, dikapitalisasi, dan dieksploitasi tanpa batas. Kampanye hitam pun jadi aktivisme yang tak terkendali dan liar. Keganasannya berpotensi memangsa persaudaraan bangsa.
Panggung politik yang waras (berbasis akal sehat) bisa berubah jadi panggung kebencian jika kampanye hitam dipompa, dikapitalisasi, dan dieksploitasi tanpa batas.
Festival politik berbudaya
Kampanye hitam bisa ditekan melalui jalan pendidikan politik warga, terutama para pendukung parpol dan capres.
Elite parpol punya kewajiban moral, sosial, politik, dan kultural untuk mendidik dan mencerahkan konstituennya. Politik harus dikembalikan pada rel budaya, di mana berdemokrasi dijalankan secara cerdas, visioner, dan mengutamakan keadaban: logika, etika, moral, norma, ilmu dan pengetahuan, serta hasil yang memperkaya nilai-nilai kehidupan.
Hal lain yang bisa dilakukan elite politik adalah kemauan dan kesanggupan selalu menjadi orientasi nilai kebenaran, kebaikan, dan kepantasan bagi konstituennya. Selain berpikir cerdas dan perilaku baik, praktik berbahasa dalam mengemukakan pesan sosial politik pun wajib dijaga. Dalam berwacana harus selalu rasional dan argumentatif. Tidak emosional dan provokatif.
Pada galibnya, bahasa bukan sekadar peranti komunikasi, melainkan juga wahana kultural yang punya potensi semantik, gagasan, dan nilai yang menuntun perilaku kuasa untuk melahirkan realitas. Ini terjadi saat bahasa berkorelasi dengan faktor-faktor sensitif di luar kebahasaan. Misalnya soal agama, suku, ras, dan golongan.
Bahasa yang dieksploitasi untuk tujuan provokasi bisa menjadi bahan bakar yang menghanguskan peradaban bangsa. Maka, elite politik harus cermat, tepat, dan akurat dalam menggunakan diksi. Problem politik-sosial dan budaya di ranah publik sering dipicu penggunaan diksi yang sembrono.
Demokrasi yang sehat lahir dari pikiran, perilaku etis, dan nilai-nilai ideal. Passion, kapabilitas, komitmen, dan dedikasi para elite politik jadi penggerak menciptakan masyarakat (yang mendekati ideal), yakni masyarakat egaliter, rasional, berkeadilan, dan berkesejahteraan serta mandiri. Terbebas dari beban feodalisme, nepotisme, perilaku korup, dan kompleksitas kejiwaan primordial.
Di tangan masyarakat yang cerdas dan bijak, pemilu/pilpres tak jadi panggung kebencian yang disangga kampanye hitam, tetapi festival budaya politik yang bermakna, menyejahterakan, membahagiakan.