Indonesia bisa mengambil peran positif-konstruktif dari perubahan yang terjadi di Timur Tengah agar tidak terkena dampak negatif perubahan itu. Peran positif itu bisa dalam dua bentuk, sebagai mediator dan inspirator.
Oleh
HASIBULLAH SATRAWI
·5 menit baca
Dalam beberapa waktu terakhir, ada banyak perubahan penting yang terjadi di Timur Tengah. Sebagian perubahan disebabkan oleh dinamika internal ataupun kawasan, sebagian perubahan yang lain disebabkan oleh tatanan kehidupan global yang sedang bergejolak dan dipastikan akan berakhir dengan salah satu dari dua kemungkinan: penguatan tatanan yang ada atau justru perubahan secara signifikan. Kemenangan Recep Tayyip Erdogan dalam pemilu di Turki (28/5/2023) membuat kemungkinan perubahan yang akan terjadi tidak terlalu ekstrem, minimal dalam konteks internal Turki maupun regional Timur Tengah secara umum.
Sejatinya Indonesia mengikuti secara cermat perubahan di Timur Tengah untuk memastikan peran yang positif-konstruktif untuk kawasan Timur Tengah, sekaligus mendatangkan kebaikan berlimpah bagi Nusantara. Pilihan ini sangat ideal daripada mengabaikan atau menyia-nyiakan perubahan di Timur Tengah, terlebih perubahan yang terjadi bisa menimbulkan dampak buruk bagi Indonesia.
Trio Timteng
Secara de facto, Timur Tengah mutakhir dikuasai tiga negara, yaitu Arab Saudi, Iran, dan Turki. Beberapa peristiwa mutakhir di Timur Tengah bisa dijadikan bukti peran dan posisi ”Trio Timteng” yang tak bisa diabaikan, seperti banyaknya pertemuan-pertemuan tingkat tinggi yang diadakan di Arab Saudi, menguatnya kelompok perlawanan di Timur Tengah yang sejalan dengan meningkatnya persenjataan Iran, dan posisi Turki di bawah kepemimpinan Erdogan yang semakin urgen bagi ”Barat dan Timur” sekaligus.
Arab Saudi menjadi satu-satunya negara yang mengalami perubahan paling signifikan. Tidak hanya karena Arab Saudi berhasil menjadi ”Raja Dunia Arab” pasca-Arab Spring, tetapi juga karena Arab Saudi mendorong terjadinya reformasi sosial, budaya, dan politik yang sampai ke akar-akar kehidupan masyarakat di ”Bumi Haramain” itu.
Pragmatisme yang dijalankan Muhamad bin Salman sebagai Putra Mahkota sekaligus calon pemimpin masa depan Arab Saudi membuat kenyataan sosial, budaya, dan politik di Arab Saudi berubah secara ekstrem. Salah satu perempuan Arab Saudi, Rayyanah Barnawi, pada 21 Mei lalu sudah sampai antariksa (Kompas.id, 22/5/2023). Secara politik Arab Saudi telah berhubungan baik dengan Iran. Bahkan, secara politik, Arab Saudi juga berhubungan mesra dengan China tanpa ada ancaman ”putus hubungan” dengan Amerika Serikat (AS).
Sebenarnya perubahan-perubahan yang tak kalah besar juga terjadi di negara-negara Arab Teluk lain, seperti Qatar dan Uni Emirat Arab. Bahkan, beberapa negara Arab Teluk, seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain, telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel yang selama ini dinyatakan sebagai musuh utama bangsa Arab. Namun, Arab Saudi secara de facto masih merajai perubahan-perubahan yang terjadi, dan Arab Saudi masih menjadi ”saudara tertua” di antara penguasa-penguasa Arab Teluk.
Mirisnya adalah, di saat perubahan-perubahan besar secara positif terjadi di Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk lainnya, beberapa negara Arab lain justru semakin jauh terjerumus ke dalam perubahan negatif destruktif; berubah menjadi perang saudara, menghadapi konflik demi konflik, krisis demi krisis, bahkan semakin banyak yang terjatuh dalam kemiskinan akut (seperti dialami banyak masyarakat di Yaman, Suriah, Mesir). Sebagaimana dialami Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk lain, semua berawal dari Arab Spring dengan gerak yang bertolak belakang; Arab Saudi dan negara-negara Arab teluk mengalami kebangkitan besar setelah Arab Spring. Sementara negara-negara Arab lain justru mengalami ”kehancuran” nyaris total setelah Arab Spring.
Mirisnya adalah, di saat perubahan-perubahan besar secara positif terjadi di Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk lainnya, beberapa negara Arab lain justru semakin jauh terjerumus ke dalam perubahan negatif destruktif.
Palestina termasuk di antara negara yang terdampak sangat buruk dari Arab Spring yang gagal mewujudkan impian masyarakat Arab untuk menjadi bangsa yang lebih demokratis. Pasca-Arab Spring, Palestina acap menjadi ”yatim piatu” dan terabaikan oleh negara-negara Arab lain yang menjadi sibuk dengan persoalan internal yang muncul pasca-Arab Spring. Lebih menyakitkan bagi Palestina, sebagian negara Arab justru menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Menariknya adalah, di saat Palestina acap terabaikan secara politik oleh negara-negara Arab, justru kemampuan perlawanan Palestina semakin meningkat tajam, khususnya di Jalur Gaza. Beberapa konflik terbuka mutakhir antara Israel dengan kelompok perlawanan di Jalur Gaza bisa dijadikan bukti peningkatan kemampuan tempur dan roket yang ada di Jalur Gaza. Bahkan sebagian roket yang meluncur dari Jalur Gaza ada yang bisa menembus sistem pertahanan udara Israel dan memakan korban jiwa.
Dalam hemat penulis, peningkatan kemampuan tempur dan roket kelompok perlawanan di Jalur Gaza tidak bisa dilepaskan dari peran Iran sebagai ketua kelompok perlawanan (mihwarul moqawamah) di Timur Tengah. Terlebih lagi, meningkatnya kemampuan roket dan persenjataan kelompok perlawanan di Jalur Gaza terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan dengan perkembangan persenjataan dan roket yang dimiliki Iran.
Oleh karena itu, peran Iran tak bisa dilepaskan di kawasan Timur Tengah. Secara politik Iran terus mengembangkan pengaruhnya di negara-negara Arab, khususnya setelah melakukan rekonsiliasi dan menjalin hubungan diplomatik kembali dengan Arab Saudi. Secara persenjataan, dunia sempat dikejutkan dengan beberapa pesawat tanpa awak buatan Iran yang digunakan Rusia dalam perang di Ukraina.
Sementara perkembangan Turki tidak kalah menarik dari yang dialami Arab Saudi maupun Iran. Berbeda dengan Arab Saudi, Turki memang tidak memiliki pengaruh langsung terhadap negara-negara Arab. Juga berbeda dengan Iran, Turki memang tidak menjalin semacam jaringan, kelompok atau aliansi perlawanan seperti dilakukan Iran di Timur Tengah (minimal yang ditampakkan ke publik).
Namun, posisi historis, geografis, dan perkembangan persenjataan yang dimiliki membuat Turki dibutuhkan ”Barat dan Timur”. Terlebih lagi Turki merupakan salah satu anggota NATO yang membuat daya tarik dan peran politiknya tidak kalah dari pada Iran ataupun Arab Saudi di regional Timur Tengah.
Nah, kemenangan Erdogan membuat posisi dan peran Turki akan lebih menentukan, mengingat Erdogan selama ini menjadi salah satu tokoh kunci terkait perkembangan politik di kawasan Timur Tengah maupun global. Erdogan berhasil mewujudkan Turki baru, yang menurut Trias Kuncahyono, berpusat pada tiga faktor, yaitu kemerdekaan, demokrasi, dan pembangunan (Turki, Revolusi Tak Pernah Henti, hal. 241).
Kemenangan Erdogan membuat posisi dan peran Turki akan lebih menentukan, mengingat Erdogan selama ini menjadi salah satu tokoh kunci terkait perkembangan politik di kawasan Timur Tengah maupun global.
Peran Indonesia
Bagaimana dengan peran Indonesia di tengah perubahan-perubahan besar yang saat ini terjadi di Timur Tengah secara umum? Dalam hemat penulis, Indonesia bisa mengambil peran positif-konstruktif dari perubahan yang terjadi di Timur Tengah. Pilihan ini jauh lebih baik daripada Indonesia berpangku tangan dan membiarkan begitu saja semua perubahan yang terjadi di Timur Tengah. Apabila berpangku tangan, Indonesia bisa terkena dampak negatif dari yang terjadi di Timur Tengah, mengingat besarnya pengaruh Timur Tengah terhadap masyarakat Indonesia.
Kemunculan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) pada kisaran 2013 bisa dijadikan contoh nyata dari yang telah disampaikan di atas. Indonesia sangat terlambat merespons kemunculan ISIS di Suriah dan Irak yang pada gilirannya membuat ratusan bahkan ribuan warga Indonesia berbondong-bondong (hendak) pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Sebagian ada yang benar-benar sampai di Suriah (malah belum kembali sampai hari ini). Sementara sebagian lain tertahan di Indonesia, khususnya setelah pemerintah menjerat para deportan dan returnee (sebutan teknis untuk mereka yang baru akan atau sudah bergabung dengan ISIS) terkait Suriah dengan pasal kejahatan terorisme.
Peran positif Indonesia bisa dalam dua bentuk, yaitu peran sebagai mediator dan inspirator. Peran mediator bisa dilakukan oleh Indonesia untuk negara-negara yang saat ini terjebak dalam perang saudara secara berkepanjangan, seperti yang baru-baru ini terjadi di Sudan, Yaman, Libya, Suriah, bahkan juga Palestina. Untuk kepentingan mediasi, Indonesia bisa menghubungi para pihak yang terlibat dalam konflik yang ada. Pengalaman mengatasi konflik saudara di Indonesia (seperti di Ambon, Poso, dan Aceh) bisa dijadikan sebagai modal untuk memediasi konflik yang dialami oleh negara-negara di Timur Tengah saat ini.
Adapun peran sebagai inspirator bisa dilakukan Indonesia untuk melanjutkan proses-proses demokrasi yang sempat dimimpikan oleh Arab Spring. Pengalaman Indonesia melaksanakan suksesi kepemimpinan secara damai dan teratur bisa dijadikan modal untuk meyakinkan negara-negara Arab terkait pentingnya demokrasi sebagai upaya untuk menormalkan transisi kepemimpinan sekaligus memberikan peluang yang sama bagi seluruh anak negeri untuk memberikan yang terbaik bagi negaranya.
Diakui atau tidak, mayoritas konflik yang saat ini terjadi di Timur Tengah terkait erat dengan masalah pemerintahan ataupun suksesi kepemimpinan. Bahkan, negara-negara Arab yang saat ini tampak tenang serta makmur sentosa sekalipun sesungguhnya juga mengidap penyakit suksesi kepemimpinan secara akut.
Kalaupun tidak meletus menjadi konflik berkepanjangan seperti di Libya, Mesir, Tunisia, Yaman, bukan berarti negara-negara itu terbebas dari penyakit suksesi kepemimpinan. Walakin karena para penguasa yang ada masih sangat kuat membungkam siapa pun yang diyakini bisa mengganggu jabatannya sebagai penguasa negeri.
Hal ini berarti, Timur Tengah secara umum (di luar Turki, Iran, dan Israel) memiliki penyakit suksesi kepemimpinan yang sama-sama akut. Di sebagian negara, penyakit ini sudah meletus menjadi borok perang dan konflik. Sementara di sebagian negara yang lain penyakit ini belum meletus. Sementara Indonesia justru memiliki obat penawar dan penyembuh dari penyakit suksesi kepemimpinan yang ada, yaitu pengalaman demokrasi. Inilah peran Indonesia yang sangat penting terkait perubahan-perubahan besar yang sedang terjadi di Timur Tengah.