Kemenangan Erdoganisme atas Kemalisme
Hasil pemilu Turki menggambarkan kekalahan Kemalisme dari Erdoganisme. Di bawah Erdogan, Turki menjalankan politik luar negeri yang berimbang terhadap AS, Uni Eropa, Rusia. Simbol-simbol Islam juga dihidupkan kembali.
Tahun ini tepat satu abad keruntuhan Khilafah Usmani (Ottoman Empire). Di atas puing-puing khilafah terakhir itu, Mustafa Kemal—bergelar Attaturk (Bapak Orang Turki)—mendirikan Republik Turki modern yang sekuler.
Pada tahun ini juga, 14 Mei silam, Turki menyelenggarakan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.
Pilpres, yang menghadapkan Kemal Kilicdaroglu dari Partai Rakyat Republik (CHP) dengan presiden petahana Recep Tayyip Erdogan dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), berlangsung dua putaran. Alasannya, karena tidak ada yang meraih suara melebihi 50 persen pada putaran pertama.
Pada putaran kedua, 28 Mei, Erdogan yang telah berkuasa di Turki selama dua dekade menjadi pemenang. Ia meraup 52,2 persen, Kilicdaroglu 47,8 persen. Hasil ini cukup mengejutkan mengingat pilpres berlangsung dalam kondisi sosial dan ekonomi yang mestinya tak menguntungkan Erdogan.
Baca juga: Mengapa Erdogan Selalu Memenangi Pemilu Turki?
Kehadiran jutaan pengungsi Suriah selama satu dekade telah menimbulkan kecemburuan sosial di Turki. Lalu, pada Februari lalu, gempa dahsyat meluluhlantakkan kota-kota di tenggara, menewaskan lebih dari 50.000 orang dan menelantarkan jutaan lainnya.
Memang pemerintahan Erdogan, dibantu dunia internasional, bekerja keras menyalurkan bantuan sosial dan membangun kembali rumah para korban. Namun, karena skala kerusakannya sangat besar, upaya pemerintah terlihat lamban.
Pilpres terpenting
Pilpres Turki ini disebut-sebut sebagai pilpres terpenting. Jika Kilicdaroglu menang, Turki kembali akan berkiblat ke Barat sesuai dengan legacy politik luar negeri yang digariskan Mustafa Kemal Attaturk atau Kemalisme. Sebaliknya, jika Erdogan menang, pemerintahan bercorak Islamis dengan politik luar negeri yang independen akan bertahan.
Memang di bawah Erdogan, Turki menjalankan politik luar negeri yang berimbang terhadap AS, Uni Eropa, dan Rusia. Tak heran, ia tak mau tunduk begitu saja terhadap kemauan AS dan UE terkait kerja samanya dengan Rusia di bidang pertahanan dan ekonomi. Bahkan, saat perang Rusia-Ukraina pecah. Padahal, Turki adalah anggota NATO yang kini habis-habisan membantu Ukraina.
Dengan ambisi menjadi pemimpin regional, Erdogan melawan status quo di kawasan panas itu. Ketika Musim Semi Arab (Arab Spring) melanda Timur Tengah pada 2011, ia mendukung pemberontak Ikhwanul Muslimin. Turki juga berpihak kepada Hamas di Gaza dalam konfrontasinya dengan Israel.
Dengan Iran, Erdogan membangun kerja sama ekonomi dan politik, terutama terkait perang saudara di Suriah dan perang Armenia-Azerbaijan, di mana Turki dan Iran berada di kubu yang berseberangan.
Hubungan Turki-Barat makin buruk pascakudeta gagal di Turki pada 2016. Erdogan mengambil tindakan keras terhadap puluhan ribu orang dari berbagai institusi dan lapisan sosial yang langsung atau tidak langsung dianggap terlibat kudeta. Terutama para pengikut ulama liberal Fathullah Gulen yang bermukim di AS.
Barat melihat Erdogan memanfaatkan insiden itu untuk menggulung kaum oposisi tanpa memedulikan penegakan hukum yang fair.
Memang di bawah Erdogan, Turki menjalankan politik luar negeri yang berimbang terhadap AS, Uni Eropa, dan Rusia.
Menghadapi perang Rusia-Ukraina, Turki mengambil sikap netral. Erdogan tetap membeli energi Rusia. Dengan demikian, Turki tak sejalan dengan NATO yang menjatuhkan berbagai sanksi keras, terutama menghambat ekspor gas dan minyak Rusia, guna melemahkan kemampuan perangnya.
Erdogan justru memborong gas Rusia. Hingga hari ini, Turki menentang lamaran Swedia menjadi anggota NATO karena menampung pentolan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di negara itu.
”Putin lain”
Erdogan juga bertikai dengan AS yang sampai sekarang masih mempertahankan persekutuannya dengan milisi Kurdi di Suriah dalam perang melawan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Turki melihat milisi Kurdi itu sebagai kepanjangan tangan dari PKK—pemberontak Kurdi di Turki—yang sejak 1984 mengangkat senjata melawan Ankara.
Lebih jauh, Erdogan juga tidak menggubris tekanan AS agar Turki membatalkan pembelian sistem pertahanan udara Rusia S400.
Tak heran, Barat lebih menyukai Kilicdaroglu. Ia digambarkan sebagai pemimpin konsensual, sederhana, dan bertanggung jawab yang akan memulihkan demokrasi dan menambal hubungan dengan Barat. Sementara Erdogan dilukiskan sebagai ”Putin lain”, seorang otokrat populis dan memecah-belah demi mengejar mimpi khilafahnya. Erdogan juga dikritik karena memimpin sistem nepotisme, ekonomi yang lemah, inflasi tinggi, dan devaluasi mata uang.
Namun, media-media Turki pro-Erdogan menertawai gambaran Barat tentang Erdogan. Kenyataannya, persepsi sebagian besar masyarakat Turki terhadap Erdogan memang bertentangan secara diametral dengan gambaran negatif Barat.
Kilicdaroglu adalah seorang Kemalis, yang berpendapat Turki harus melepaskan diri dari khilafah yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan Turki dalam menjawab tantangan dari Barat (kapitalisme) dan Timur (komunisme) yang telah jauh meninggalkan Turki.
Selama berkuasa 15 tahun (1923-1938), Kemal Attaturk menghapus atribut-atribut Islam yang terasosiasi dengan khilafah. Sistem hukum Swiss diambil untuk menggantikan syariah. Huruf Arab diganti dengan huruf Latin. Bahkan, azan pun pernah dikumandangkan dalam bahasa Turki.
Busana muslim dilarang dikenakan di ruang publik. Masjid-masjid yang menjadi ikon khilafah ditutup. Dus, ia mentransformasikan kebudayaan Turki secara radikal.
Bagaimanapun, prioritas yang diberikan UE kepada negara-negara eks satelit Uni Soviet membuat rakyat Turki tersinggung.
Keanggotaan di NATO
Sampai 2003, dengan selingan pemerintahan Islam yang berumur pendek, Turki didominasi pemerintahan Kemalisme yang dikawal ketat oleh militer. Demi membendung pengaruh Uni Soviet dan mendapatkan akses ekonomi Barat, Turki bergabung dengan NATO. Namun, upayanya menjadi anggota UE hingga sekarang belum terkabul. Padahal, negara-negara eks komunis Eropa Timur pasca-keruntuhan Soviet (1991) sudah jadi anggota UE.
Penolakan keanggotaan Turki dalam UE dikaitkan dengan, pertama, belum terpenuhinya syarat demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) Turki sesuai standar UE. Kedua, UE khawatir jika Turki menjadi anggota penuh, jutaan buruhnya akan membanjiri kawasan UE demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Hal ini bisa menimbulkan keresahan sosial-politik di kawasan itu.
Bagaimanapun, prioritas yang diberikan UE kepada negara-negara eks satelit Uni Soviet membuat rakyat Turki tersinggung. Mereka curiga belum diterimanya lamaran Turki lebih terkait dengan ras dan agamanya. Memang etnik Turki bukan ras Eropa dan umumnya anggota UE berlatar belakang budaya kekristenan. Sementara mayoritas populasi Turki beragama Islam.
Lalu, pasca-keruntuhan Uni Soviet—disusul bergabungnya negara-negara Eropa Timur ke pangkuan UE dan NATO—nilai strategis Turki merosot.
Pembawa perubahan
Dengan latar belakang ini, AKP pimpinan Erdogan berhasil menjadi partai penguasa sejak 2002 setelah mengubah posisi tradisional Turki dalam konteks perubahan di Eropa dan Rusia. Kendati mempertahankan sekularisme, simbol-simbol Islam dihidupkan kembali. Kini hijab bisa dikenakan di ruang publik.
Masjid-masjid ikonik yang dulu ditutup Attaturk, seperti Masjid Aya Sofia, difungsikan kembali. Sementara, di bawah Erdogan, Turki mengalami kemajuan ekonomi yang substantif. Industrialisasi berkembang yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Yang juga tak bisa diabaikan adalah karisma Erdogan, politisi yang cerdik dengan kemampuan orasi yang mumpuni. Sikapnya yang keras terhadap Barat telah juga mentransformasikan dirinya menjadi ”dewa” bagi kaum Muslim konservatif di perdesaan dan buruh di perkotaan.
Sebaliknya, dengan janji mengembalikan Turki ke tradisi Kemalisme, Kilicdaroglu terlihat sebagai pemimpin kedaluwarsa ketika pengaruh global Barat mulai merosot. Artinya, Kemalisme yang kaku tidak relevan lagi di tengah dunia yang berubah, termasuk munculnya beberapa negara Arab dan Iran sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru.
Dalam kampanye, Kilicdaroglu fokus mengeksploitasi masalah ekonomi domestik dan pengungsi Suriah. Memang isu-isu ini penting, tetapi belum bisa menjadi senjata ampuh untuk menghancurkan capaian Erdogan di bidang ekonomi dan politik yang telah mengubah Turki secara fundamental.
Sikapnya yang keras terhadap Barat telah juga mentransformasikan dirinya menjadi ’dewa’ bagi kaum Muslim konservatif di perdesaan dan buruh di perkotaan.
Janji Kilicdaroglu untuk tidak memveto lamaran Swedia menjadi anggota NATO demi menurunkan ketegangan dengan Barat ternyata tak memberi insentif elektoral kepadanya. Rakyat lebih menerima pandangan Erdogan yang melihat sikap permisif Swedia terhadap PKK sebagai penghinaan terhadap Turki.
Dukungan partai pro-Kurdi HDP memang menyumbang suara signifikan terhadap Kilicdaroglu, tetapi itu juga menjadi titik lemahnya karena isu Kurdi tidak populer di kalangan masyarakat Turki.
Kendati HDP hanya berjuang bagi otonomi masyarakat Kurdi, aksi-aksi teror PKK yang telah menewaskan hampir 50.000 warga sipil mematrikan citra buruk Kurdi di kalangan masyarakat Turki.
Kaum LGBT cukup menonjol di Turki. Sebagai seorang liberal, wajar jika Kilicdaroglu mengeksploitasinya untuk meraih suara mereka. Namun, isu ini kontraproduktif di mata Muslim konservatif. Alhasil, hasil pemilu Turki menggambarkan kekalahan Kemalisme dari Erdoganisme. Namun, pekerjaan berat menanti Erdogan di depan.
Smith Alhadar, Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)