Pembangunan jalan yang membelah hutan di Aceh menimbulkan harapan sekaligus kekhawatiran. Praktik pembangunan berkelanjutan menjadi tanda tanya besar.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Polemik rencana ekspor pasir laut belum reda ketika kabar kelanjutan pembangunan jalan menembus hutan lindung di Aceh diangkat media dua hari ini. Dampak lingkungan menyatukan dua isu itu.
Pemerintah Provinsi Aceh mengungkapkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan izin pemakaian hutan untuk pembangunan jalan tembus menghubungkan Jantho (Aceh Besar)-Lamno (Aceh Jaya) sehingga tahun depan proyek bisa dilanjutkan lagi untuk 7 kilometer ruas jalan (Kompas, 3 Juni 2023). Proyek ini disebut bagian dari pembangunan jalan Ladia Galaska sejak tahun 2002 yang memicu pro-kontra.
Ladia Galaska merupakan singkatan dari Lautan India (Meulaboh)-Gayo Alas (Takengon-Blangkajeren)-Selat Malaka (Peureulak). Proyek pembukaan jalan tembus itu membelah kawasan ekosistem Leuser dengan alasan utama membuka keterisolasian wilayah pedalaman Aceh. Panjang jalan itu disebut pemerintah 496,5 kilometer, yang berkembang menjadi lebih dari 1.000 km seiring pengembangan oleh pemerintah daerah.
Kali ini, organisasi yang mengadvokasi isu lingkungan Walhi, menyoroti izin lingkungan yang dikeluarkan KLHK pada April 2023, diterbitkan setelah hutan dibuka pemerintah daerah. Itu seperti melegalkan aktivitas ilegal yang justru dilakukan pemda.
Di sisi lain, pemda mantap menatap masa depan Jantho dan Lamno yang selama ini ”mati suri”. Aspek ekonomi menjadi dasar pijakan harapan seiring pembangunan jalan membelah hutan itu. Tak muncul kekhawatiran akibat hutan dibuka.
Sebagai gambaran, periode 2017-2021, Aceh kehilangan 71.552 hektar hutan. Bandingkan luas DKI Jakarta yang 66.150 ha. Deforestasi itu diungkap Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh tersebar di 19 kabupaten/kota di Aceh.
Memang, pembukaan masif kawasan hutan/konservasi untuk kepentingan lain bukan kali ini saja. Jejaknya dari era Hindia Belanda. Namun, sejak Indonesia merdeka hingga saat ini pun, konflik tenurial tiada habis, memakan korban jiwa.
Kita tak hendak menolak upaya negara membuka akses, apalagi memperbaiki kesejahteraan rakyat. Jelas kita dukung. Bahkan, turut mendorong agar diakselerasi, dengan catatan mengadopsi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Namun, data dan fakta menunjukkan, eksploitasi sumber daya alam selama ini sering kali mempertaruhkan masa depan. Sisi ekologi secara sadar atau tidak ditempatkan di bawah kepentingan ekonomi sesaat.
Banyak contoh pembangunan jalan menembus hutan diikuti kerentanan sosial berbuah konflik horizontal dan vertikal. Ini belum membicarakan peran, fungsi, dan daya dukung lingkungannya berikut nasib flora-faunanya. Kawasan konservasi seperti Taman Nasional Tesso Nilo (Riau) dirambah untuk perkebunan sawit setelah jalan membelah. Di Kalimantan, kanan-kiri jalan menembus Taman Nasional Kutai (Kaltim) pun dijejali permukiman, kios, kebun, hingga tambal ban (Kompas, 9 November 2014). Itu baru dua contoh.
Apa yang akan terjadi dengan Aceh ketika jalan dibangun menembus hutan? Seperti yang sudah-sudah, tanpa kejelasan mitigasi risiko pembelahan hutan, kerentanan sosial-ekologis telah menanti.