Bangsa-bangsa lain terus memijakkan pembangunan peradabannya dari buku. Sejak pendidikan dasar, anak-anak diakrabkan dengan buku. Sepertinya kita masih melihat proses seperti itu kurang berguna, bahkan sia-sia.
Oleh
SIDHARTA SUSILA
·2 menit baca
Sejumlah toko buku akan ditutup total akhir tahun ini karena terus merugi. Adakah ini tanda bahwa kita tidak lagi memijakkan kaki peradaban kita pada buku atau bacaan?
Rencana penutupan toko buku itu mengingatkan saya pada pengalaman merawat arsip. Awal Mei 2023 saya berjumpa dengan Pak Hend. Ia orang Belanda, doktor sejarah gereja reformasi. Kini ia bekerja pada satu lembaga penelitian kearsipan di Leiden. Telah bertahun-tahun Pak Hend mengumpulkan, merawat, dan mendigitalisasi arsip-arsip gereja. Mula-mula arsip gereja di Belanda. Akhirnya juga arsip gereja di Indonesia.
Ada kisah menarik saat Pak Hend mengembalikan disertasi-disertasi teologi di perpustakaan universitas di Yogyakarta. Ia melihat tumpukan majalah ilmiah kampus. Petugas perpustakaan mengatakan bahwa majalah-majalah itu akan dibuang karena sudah lama. Pak Hend terperanjat, lalu dimintanya majalah-majalah malang itu untuk didigitalisasi.
Pak Hend bercerita bahwa dari tulisan-tulisan ilmiah di majalah itu bisa diketahui aliran teologi mana yang banyak mewarnai para doktor teologi lulusan universitas itu. Dari tuturan Pak Hend, saya berpikir bahwa lulusan universitas itu menjadi pendeta, bisa dikenali teologi macam apa yang diajarkan kepada jemaatnya. Bisa dibayangkan juga pola kerohanian macam apa yang dihidupi dan dihayati jemaatnya.
Siang itu spontan saya ingat Christiaan Snouck Hurgronje, seorang sarjana Belanda bidang budaya oriental dan bahasa serta penasihat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia mahasiswa teologi kristen di Universitas Leiden pada 1874. Disertasi doktornya, Het Mekkaansche Feest (Perayaan Mekkah). Snouck Hurgronje fasih berbahasa Arab. Dengan pengetahuan budaya dan keilmuan Islam, ia memberi andil yang signifikan dalam kehidupan agama, sosial, dan politik di Aceh dan sekitarnya pada masa kolonial Belanda.
Setelah bertahun-tahun tekun memungut arsip-arsip kuno gereja Indonesia dan tulisan-tulisan ilmiah universitas di Indonesia, seperti Snouck Hurgronje, saat ini pun Pak Hend mampu menjelaskan dengan rinci dan panjang lebar tentang sejarah perkembangan gereja Kristen reformasi dan Katolik di Indonesia sejak tahun 1600-an. Kami hanya melongo mendengarkan penjelasan Pak Hend tentang jejak peradaban yang pernah terjadi di negeri ini, yang dipungut dari arsip-arsip kita.
Ketekunan dan kegigihan Pak Hend memungut dan mendigitalisasi arsip dan tulisan ilmiah semata-mata diabdikan demi menyelenggarakan sumber-sumber sejarah bagi siapa saja yang ingin memelajari sejarah kehidupan Kristen. Mengenali sejarah berarti juga mengenali suatu sejarah peradaban suatu bangsa.
Kisah Pak Hend di perpustakaan tadi menggambarkan kecenderungan kita terhadap karya tulis ilmiah dan terhadap buku. Kita masih harus berjuang membangun peradaban dari buku, dari sumber-sumber tertulis, baik yang terbaru maupun yang kuno.
Prinsip jujur dan sederhana
Saifur Rohman pada tulisannya, Setelah Toko Buku Tutup (Kompas, 26/5/2023), menawarkan gagasan alternatif agar penghargaan ilmiah kepada dosen juga dari buku-buku ilmiah yang ditulis. Ini ikhtiar agar pola berperadaban kita tetap dipijakkan pada buku, pada budaya literasi.
Ada syarat yang mesti dipenuhi untuk mewujudkannya. Kerumitan pendidikan kita salah satunya disebabkan kita tidak mampu jujur dan sederhana. Pilihan menjadikan penerbitan buku ilmiah sebagai penghargaan prestasi dan kepakaran, misalnya, kita harus pastikan bahwa tidak ada akal-akalan kongkalikong antara penulis, lembaga validasi publikasi buku, dan penerbit.
Akal-akalan kongkalikong dalam pengelolaan pendidikan akhirnya membuat pendidikan kita tidak lagi sederhana. Atmosfer pendidikan jenuh dengan kecurigaan. Kita sulit memercayai setiap pelaku dunia pendidikan kita. Ujungnya, guru dan dosen juga kesulitan memercayai murid dan mahasiswanya. Akibatnya, mereka suka memberi banyak tugas, aturan, dan tuntutan untuk memastikan bahwa anak didiknya melakukan tugas dengan jujur dan kerja keras. Wajarlah apabila tidak ada kata rileks dan menyenangkan dalam dinamika pendidikan kita hari ini.
Pada podcast Gita Wirjawan, Maudy Ayunda berbagi pengalaman studinya di Inggris. Salah satu pola perkuliahan yang dialami Maudy adalah berulang kali ia harus membaca buku dan membuat ulasan sebagai bahan diskusi bersama mahasiswa lain. Diskusi dipandu dosen pembimbing. Begitulah mahasiswa belajar dan memberdayakan diri serta mendapatkan nilai.
Ini menggambarkan bagaimana bangsa-bangsa lain terus memijakkan pembangunan peradabannya dari buku. Sejak pendidikan dasar, anak-anak diakrabkan dengan buku. Sepertinya kita masih melihat proses seperti itu kurang berguna, bahkan sia-sia. Sebab, jangan-jangan kita kurang percaya bahwa mahasiswa atau murid kita sungguh-sungguh telah membaca buku yang kita syaratkan. Sebab, jujur saja banyak guru dan dosen kita tak mampu tekun membaca buku.