Pancasila, Kelas Menengah, dan Liberalisme
Tantangan utama Pancasila di era kekinian adalah perubahan-perubahan besar dalam cara berpikir dan mengartikulasikannya dalam ranah konkret yang sangat didukung oleh pesatnya kemajuan teknologi komunikasi.
Pancasila diperkenalkan Soekarno kepada bangsa Indonesia dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI pada 1 Juni 1945.
Kemudian, perumusannya dilakukan melalui proses sidang-sidang Panitia 9 pada 22 Juni 1945 dan berpuncak pada penerimaan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, dengan rumusan sebagaimana kita kenal sekarang.
Nilai-nilai yang melandasi Pancasila merupakan nilai-nilai yang bersumber dari pengalaman hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam lingkup nasional maupun pengenalannya pada perkembangan dunia luar, seperti paham demokrasi, nomokrasi, republik, maupun paham welfare state.
Oleh karena itulah di dalam Pancasila kita mendapati aspek religiositas, sekaligus aspek rasionalitas, yang muaranya adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial.
Kalau dilihat dari dimensi ruang dan waktunya, saat Pancasila diperkenalkan oleh Soekarno, belum ada diskursus pengarusutamaan hak asasi manusia, otonomi daerah, kebebasan berekspresi, penghargaan kearifan-kearifan lokal, dan aspek lain yang menyentuh persoalan hak asasi manusia.
Baca juga : Buya Syafii dan Pancasila
Obsesi utama saat itu (tahun 1945) dan tahun-tahun berikutnya hingga awal 1970 adalah persatuan bangsa yang terus-menerus harus dikonsolidasikan. Artinya, semangat mengedepankan persatuan bangsa dengan negara sebagai pemeran utamanya tentu sangat kuat, sementara diskursus tentang hak asasi manusia dengan segala implikasinya belum menjadi utama.
Akan tetapi, memasuki milenium kedua, dimensi ruang dan waktunya sudah sangat berubah dari dimensi ruang dan waktu saat Pancasila dilahirkan tahun 1945. Dengan mendasarkan pada ajaran Emile Durkheim, sesungguhnya telah terjadi perubahan tatanan masyarakat Indonesia, yakni dari masyarakat tradisional yang tergambar pada masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan menuju ”masyarakat rasional” yang menunjuk pada masyarakat Indonesia dengan karakter: (a) larger group; (b) berkembang corak individualis; (c) nilai-nilai mulai berkembang (bahkan bisa bertentangan); (d) solidaritas tumbuh karena kebutuhan.
Kalau di era globalisasi tahun 1990 dan reformasi di Indonesia tahun 1997 muncul tuntutan penghormatan hak asasi manusia yang kemudian melahirkan corak berpikir yang berorientasi pada keamanan dan kesejahteraan individu (individual security and prosperity), di era pasca-globalisasi sekarang ini corak berpikir itu telah bergeser menuju kedaulatan individu (individual souvereignty).
Kemajuan jagat komunikasi berkat internet adalah pemicu utama munculnya corak berpikir dan sikap yang merefleksikan kedaulatan individu.
Ketika peradaban dunia sangat didominasi oleh teknologi internet, terjadilah perubahan- perubahan yang sangat pesat, bahkan mungkin tidak pernah dibayangkan oleh para pendiri bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1945.
Pada masa kini, manusia secara individu makin tidak mau diganggu kemerdekaannya untuk menikmati hidup. Dunia telah memasuki tatanan dalam lingkup metaverse, sebuah komunitas virtual tanpa batas yang saling terhubung, di mana orang bisa bertemu, bekerja, belajar. Bahkan mencari uang cukup dengan menggunakan aplikasi telepon pintar ataupun perangkat lain yang semakin efektif, efisien, tetapi dengan hasil maksimal.
Masyarakat akan semakin bercorak pikir individual, kalaupun ada semangat berkelompok. Itu terjadi karena kesamaan kebutuhan yang terfragmentasi dengan bermacam-macam alasan, misalnya kesamaan agama, kesamaan hobi, kesamaan profesi, visi politik, dan sejenisnya.
Internet telah menjadi pemicu perubahan peradaban dunia yang diramalkan akan bertahan dalam jangka waktu lama dan mengubah pola-pola kehidupan serta mendekonstruksi asumsi-asumsi dan ajaran-ajaran produk era empirisme (rasionalisme) yang telah mendominasi peradaban dunia sejak 1650 hingga saat ini.
Harus disadari bahwa ketidakpastian dunia seperti ini sebenarnya justru memberikan tantangan untuk maju.
Pesatnya pergerakan dunia saat ini membuat suasana ketidakpastian, dan terus ada perubahan. Oleh karena itu, bangsa Indonesia selayaknya menyadari dan terbuka terhadap ketidakpastian ini dan tidak melepaskan diri dari ketidakpastian, dengan bersikap fundamentalis dengan tidak terbuka terhadap perubahan.
Harus disadari bahwa ketidakpastian dunia seperti ini sebenarnya justru memberikan tantangan untuk maju. Dalam hal ini, peran kelas menengah di Indonesia menjadi penting, dan tampak sudah tumbuh kesadaran untuk terbuka terhadap perubahan yang membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Hal ini terbukti antara lain melalui respons mereka melalui media sosial, ketika muncul kasus penutupan salah satu tempat ibadah oleh Bupati Purwakarta, kasus Mario Dandy dan Rafael Alun, sampai dinamika rapat Menko Polhukam Mahfud MD dengan DPR terkait penyimpangan-penyimpangan oleh oknum di suatu kementerian, fenomena kondisi jalan dan pejabat daerah di Provinsi Lampung, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Dalam realitas, peran kelas menengah di banyak negara tidak bisa diremehkan untuk membawa kemajuan bangsa melalui perubahan-perubahan atas sikap fundamentalis yang tidak membawa pada perbaikan masyarakat.
Sebagai contoh, kelas menengah India yang telah berperan dalam membawa India pada perubahan-perubahan menuju kemajuan. Mereka akan mempertahankan India seperti sekarang sehingga mampu eksis di tengah bangsa-bangsa yang berpandangan modern, pluralis, dan rasional menghadapi tantangan global.
Pada masa kini, kelas menengah India tidak pernah membawa India menjadi negara Hindu warisan masa lalu. Chauvinisme Hindu India masa lalu mungkin dicoba dibangkitkan oleh sekelompok masyarakat tertentu, tetapi kelas menengah baru India sadar bahwa berbalik pada fanatisme agama berarti membawa India pada ancaman keruntuhan.
Belajar keunggulan liberalisme
Tantangan utama Pancasila di era kekinian adalah perubahan-perubahan besar dalam cara berpikir dan mengartikulasikannya dalam ranah konkret yang sangat didukung oleh pesatnya kemajuan teknologi komunikasi. Perubahan-perubahan besar itu menyentuh hak asasi manusia, otonomi daerah, kebebasan berekspresi, penghargaan kearifan-kearifan lokal, dan aspek keadilan.
Kemajuan teknologi komunikasi telah meningkatkan keberanian kelas menengah untuk menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan. Tak dapat disangkal, fenomena perubahan-perubahan besar itu terjadi karena atmosfer nilai-nilai dalam ideologi liberal yang telah merembes masuk dalam tatanan kehidupan masyarakat melalui instrumen teknologi internet.
Nilai-nilai dalam ideologi liberal mampu menembus zaman yang berubah karena mampu membuat penyesuaian- penyesuaian. Penganjur kapitalisme George Soros menyatakan, nilai-nilai liberalisme tidak dapat hidup terisolasi.
Kemajuan teknologi komunikasi telah meningkatkan keberanian kelas menengah untuk menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan.
Sebagai partisipan pasar bebas, liberalisme tidak saja harus memenuhi kepentingan sendiri, tetapi juga harus peduli terhadap masyarakat tempat hidup, dan ketika sampai pada keputusan kolektif, liberalisme harus mengedepankan kepentingan bersama. Pemaksaan kepentingan sendiri (seperti dalam laissez faire) dalam mekanisme pasar akan menimbulkan instabilitas global.
Intinya, pemikiran bercorak fundamentalisme pasar harus diubah, menjadi mekanisme pasar yang lebih bertanggung jawab secara sosial sebagai habitus baru.
Kini Rusia, China, dan Vietnam menjadi maju pesat seperti sekarang ini bukan karena fundamentalisme dalam ideologi Marxisme-komunisme.
Keberhasilan mereka justru karena mereka melakukan transformasi konsepsi-konsepsi mendasar pada nilai-nilai yang terjabarkan dalam kebijakan komunikasi warga dan kebijakan ekonomi-politiknya.
Belajar dari kegagalan Marxisme-komunisme, kini Rusia dan China menjadi negara yang diperhitungkan dalam kekuatan militer dan percaturan ekonomi internasional karena diadopsinya nilai-nilai baru dalam tata pemerintahan, politik dan ekonominya, yang diterapkan dengan sangat hati-hati.
Semua dilakukan dalam rangka menciptakan negara yang mampu menyejahterakan rakyatnya.
Oleh karena itu, sekalipun banyak kontradiksinya, ”keunggulan” liberalisme dalam beberapa hal perlu dipelajari, dipahami, dikritisi, sebagai bahan masukan dalam pembinaan ideologi Pancasila. Keberhasilan liberalisme menembus ruang dan waktu seharusnya bisa jadi pelajaran bagi kita tentang bagaimana seharusnya sebuah ideologi dikelola untuk mengantarkan kemajuan bangsa.
Ketika rakyat sudah banyak mendevosikan diri pada ideologi, maka ideologi harus mampu menjawab persoalan mendasar kehidupan manusia, seperti persoalan ekonomi, kemiskinan, dan keadilan sosial.
Sudah sangat ketinggalan zaman kalau pembinaan ideologi Pancasila hanya menempatkan ideologi sekadar sebagai penuntun tingkah laku warga negara Indonesia, apalagi penanaman itu selalu dilakukan berulang- ulang. Pengulangan terus-menerus (repetisi) seperti itu justru akan mengecilkan makna Pancasila sebagai ideologi.
Dalam kemajuan tatanan sosial sekarang, pembinaan ideologi Pancasila tidak mungkin lagi mengandaikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat paguyuban di segala lini.
Apabila Pancasila diharapkan dapat bertahan, pembinaan ideologi Pancasila harus mampu menggalang agenda komprehensif bidang-bidang ekonomi, kesejahteraan, dan keadilan sosial, sekalipun tidak perlu menjadikan bangsa Indonesia menjadi liberal.
FX Adji Samekto Deputi Pengkajian dan Materi BPIP Periode 2018-2022, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro