Membangun Indonesia dengan pendekatan ”blue economy” harus diawali dengan upaya pengurangan sindrom yang terjadi. Jangan sampai kita mengklaim berhasil tetapi kemiskinan masih membersamai nelayan dan masyarakat pesisir.
Oleh
YONVITNER
·3 menit baca
Hadirnya Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi embrio pembangunan Indonesia dengan pendekatan blue economy. Namun,konsep pembangunan berbasis sumber daya dari sektor perikanan dan kelautan ini sepertinya jatuh bangun untuk eksis secara utuh. Situasi ini dikenal dengan blue economy syndrom, yaitu situasi yang menunjukkan sikap enggan untuk seutuhnya membangun bangsa ini untuk mensejahterakan rakyat.
Setidaknya ada lima hal yang dapat dilihat sebagai bentuk sindrom majunya blue economy tersebut. Pertama, ketakutan pembiayaan untuk penguatan dan pembangunan sektor maritim. Hal paling sederhana kita lihat minimnya anggaran pembangunan sektor kelautan.
Sejak KKP berdiri, pembiayaan pembangunan perikanan kelautan tidak pernah lebih besar dari Rp 10 triliun. Begitu juga dalam anggaran pendapatan dan belanja negara kita belum mampu memberikan initial kepada pendanaan sektor maritim secara memadai. Berdasarkan realisasi, anggaran kelautan dan perikanan 2018-2021 terus turun di bawah Rp 6 triliun. Banyak anggaran disiapkan dari kementerian lain, tetapi tidak terlihat dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan ataupun infrastruktur yang memadai.
Kedua, ketakutan akan perubahan kelembagaan tata kelola sektor kelautan dan perikanan. Hingga kini Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi belum mampu melakukan sinkronisasi tata kelola program yang fungsional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi maritim, seperti industri pengolahan ikan, kebijakan masih ambiqu antara sektor kelautan dan perikanan dengan perindustrian dan usaha kecil dan menengah. Dengan demikian, industri pengolahan ikan tidak bisa dirancang lebih mapan, sehat, dan berkualitas. Bahkan, untuk pengembangan usaha juga tidak mudah karena belitan kelembagaan.
Begitu juga antara kelautan dan perindustrian yang mengalami dispute soal impor garam yang terjadi setiap tahun. Seharusnya dari hulu sampai hilir kebijakan garam bisa langsung dikelola KKP hingga pengembangan industri garam untuk bahan baku penolong industri serta kesejahteraan pembudidaya garam.
Sementara yang terjadi saat ini, garam sebagai bahan baku penolong selalu diimpor dengan dalih Indonesia tidak mampu menghasikan garam berkualitas dengan NaCl tinggi. Padahal, gap ini seharusnya menjadi kesempatan membangun investasi garam berbasis usaha rakyat. Sementara BUMN PT Garam menjadi fasilitator dalam mengawal fungsi ekonomi garam belum berhasil menyejahterakan petambak garam.
Ketiga, kebiasaan sikap yang suka melakukan klaim secara global tetapi komitmen rendah dan program aksi tidak ada. Hal yang paling sederhana hari ini kita lakukan adalah klaim terhadap komitmen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) 29 persen atau 31,89 persen dan jika mendapat bantuan, dapat ditingkatkan menjadj 41-43,2 persen. Sebagai perwujudan komitmen tersebut dibentuklah Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) karena kawasan pesisir dan mangrove dianggap potensial menjadi penyerap emisi karbon.
Ambiguitas terlihat pada kelembagaan, kewenangan BRGM tercerabut oleh undang-undang sektoral sehingga kemudian terjadi dispute dalam program aksi penanam mangrove. Banyak kegiatan seremoni yang dilakukan presiden sebagai inspirasi masyarakat menanam, tetapi tidak sedikit juga aktivitas yang dibiarkan merusak mangrove.
Akibatnya terjadi perbedaan praktik pemulihan ekosistem, perbedaan pendekatan bahkan saling tunjuk ketika di lapangan terjadi kegagalan. Akibatnya, pembiayaan menjadi tidak efisien, pemborosan karena pembiayaan habis untuk koordinasi yang dilakukan banyak lembaga. Sementara target capaian seperti sebuah lagu yang terus didendang, tetapi tidak jelas yang bertanggung jawab.
Sementara pada saat yang sama kelembagaan lain pada tingkat lapangan terus memberikan akses yang menyebabkan perusakan hutan mangrove. Sebut saja sektor pertambangan, yang izinnya banyak diberikan pemerintah daerah. Praktik ini bisa kita lihat di beberapa lokasi seperti di Bangka Belitung, di Balikpapan beberapa waktu lalu, serta Konawe.
Banyak kegiatan seremoni yang dilakukan presiden sebagai inspirasi masyarakat menanam, tetapi tidak sedikit juga aktivitas yang dibiarkan merusak mangrove.
Perusakan yang terus terjadi menjadikan indikasi lemah pengawasan dan aksi oleh masyarakat lokal. Belum lagi aksi tanam mangrove tanpa dipelihara sehingga tidak sedikit uang habis dan hasil tak tampak. Model ini menjadi sebuah sindrom yang jadi penyakit menahun yang harus diselesaikan.
Keempat, ketakutan mengadopsi ilmu pengetahuan dalam kebijakan menjadi salah satu indikasi penting terjadinya sindrom. Bahkan yang kemudian terjadi prosesnya di balik, yaitu ilmu pengetahuan diminta membungkus kebijakan yang dibuat. Padahal, seharusnya ilmu pengetahuan menjadi alas dari kebijakan.
Kehadiran iptek kini sering menjadi selimut kebijakan, bukan digodok dengan pertimbangan data yang baik dan berkualitas. Data stok ikan yang sudah lama masih digunakan untuk kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) dan alokasi kuota. Industri bioteknologi tidak tumbuh karena tidak ada pemahaman yang baik terhadap sektor bioteknologi kelautan. Akibatnya, sumber daya kita dimanfaat oleh negera lain dan kita tidak mendapat apa pun.
Kelima, ego sektoral yang makin menonjol karena terlalu banyak kementerian yang mengurusi dengan pagu masing-masing sehingga sering kementerian dan lembaga memiliki program yang tumpang tindih (redundant). Denyut politik menuju 2024 pun turut mewarnai kepercayaan diri bangsa Indonesia terhadap negara maritim. Cara pandang terhadap yang tidak kuat dan berbeda antarsektor mendorong lahirnya berbagai bentuk kesalahpamahan.
Di tengah meningkatnya cara pandang dunia kepada konsep maritim Indonesia, kini Indonesia malah mendengungkan konsep Nusantara. Utak-atik atas cara pandang juga akan memberikan persepsi yang berbeda terhadap komitmen global. Menjadikan Nusantara sebagai cara pandang hidup pembangunan tentu membalikkan semua usaha selama ini mulai dari poros maritim, haluan maritim, agro maritim yang menjadi ikon negara maritim Indonesia.
Perubahan menjadi Nusantara merupakan salah satu bentuk sindrom dari kegagalan paham negara maritim. Lambatnya kemajuan sektor perikanan dan kelautan yang terjadi selama ini karena sikap politik yang sering tidak tepat dengan menempatkan orang yang tidak paham maritim dalam memimpin kelembagaan maritim sehingga cara kerjanya masih bergulat pada pola business as usually, yaitu bekerja sekadar memenuhi Indeks Kinerja Utama (IKU).
Membangun Indonesia dengan pendekatan blue economy harus diawali dengan upaya pengurangan sindrom yang terjadi. Jangan sampai kemudian kita mengklaim berhasil, tetapi kemiskinan masih membersamai nelayan dan masyarakat pesisir. Sindrom dapat dihilangkan apabila kita kembali ke perencanaan pembangunan nasional secara utuh sebagai garis besar pembangunan nasional.