Waktunya Investasi Ekonomi Hijau
Pembangunan berbasis ekonomi hijau menjadi satu dari enam strategi besar transformasi Indonesia. Strategi ekonomi hijau ini mencakup ekonomi rendah karbon, ”blue economy”, dan transisi energi.
Indonesia tak bisa lagi menggunakan daya tarik lama untuk menggaet investasi. Banyak investor global mulai melirik proyek infrastruktur hijau demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan pascapandemi.
Pembangunan berbasis ekonomi hijau menjadi satu dari enam strategi besar transformasi Indonesia. Strategi ekonomi hijau ini mencakup ekonomi rendah karbon, blue economy, dan transisi energi. Ekonomi hijau dinilai sebagai game changer untuk membalikkan kondisi perekonomian yang tertekan.
Transformasi menuju ekonomi hijau tak hanya untuk meningkatkan ekonomi dan mata pencarian jangka pendek, tetapi juga menciptakan kesejahteraan yang lebih panjang dan berkelanjutan. Hasil simulasi Bappenas, ekonomi hijau dapat menciptakan peluang kerja baru, terutama di sektor energi baru terbarukan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menuturkan, dari kegiatan energi baru terbarukan dan restorasi lahan gambut dapat menciptakan 103.000 pekerjaan setiap tahun. Satu pekerjaan per megawatt di sektor batubara setara dengan 10 pekerjaan per megawatt di sektor energi surya.
Komitmen mendukung ekonomi hijau di tengah krisis juga menjadi salah satu topik utama di Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2020, Juli lalu. Dalam laporan ekonomi lingkungan baru seri II, yang dirilis saat WEF 2020, disebutkan, kerusakan lingkungan berisiko menggerus separuh produk dometik bruto (PDB) global atau sekitar 44 triliun dollar AS.
”Indonesia akan melakukan shifting dari pendekatan konvesional untuk menciptakan lapangan kerja. Sudah saatnya ini harus dilakukan,” kata Suharso.
Urgensi membangun ekonomi hijau sekaligus merespons pergeseran minat investor global. Setelah pandemi Covid-19 melanda dunia, investor cenderung menghindari pembiayaan proyek-proyek yang dianggap mengganggu atau merusak lingkungan. Akibatnya, proyek yang dinilai tidak ramah lingkungan berpotensi semakin sulit mendapatkan pembiayaan.
Di Indonesia, investasi ekonomi hijau diarahkan ke proyek-proyek infrastruktur energi baru terbarukan. Sampai dengan 2035, pemerintah akan mengembangkan 38 gigawatt pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBio), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Urgensi membangun ekonomi hijau sekaligus merespons pergeseran minat investor global. Setelah pandemi Covid-19 melanda dunia, investor cenderung menghindari pembiayaan proyek-proyek yang dianggap mengganggu atau merusak lingkungan.
Baca juga: Permukaan Waduk Jadi Target Lokasi Pembangunan PLTS
Cita-cita membidik investasi hijau butuh komitmen kuat. Sayangnya, menurut Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, ada pergeseran prioritas bidang ekonomi lingkungan selama satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Aspek-aspek pembangunan hijau cenderung terabaikan ketika berhadapan dengan prioritas pertumbuhan ekonomi.
”Pemerintah memang telah menyatakan komitmennya mendukung pembangunan berkelanjutan. Namun, faktanya, ada kesenjangan antara strategi besar dan implementasi kebijakan,” kata Tata.
Keterbatasan anggaran
Keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja negara ataupun daerah (APBN/APBD) juga menjadi salah satu tantangan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Namun, pada saat yang sama, tantangan anggaran yang terbatas juga membuka peluang keterlibatan swasta.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), total kebutuhan investasi infrastruktur selama periode 2020-2024 mencapai Rp 2.058 triliun. Namun, di sisi lain, kemampuan APBN Kementerian PUPR 2020-2024 diproyeksikan hanya mampu memenuhi sepertiga dari total kebutuhan atau Rp 623 triliun.
Alhasil, ada kesenjangan pendanaan mencapai Rp 1.435 triliun. Salah satu solusi yang dikembangkan untuk mengatasi kesenjangan pendanaan itu dengan kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Baca juga: Investor Global Makin Pertimbangkan Lingkungan dan Hak Sosial
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, ada 25 proyek KPBU senilai Rp 278,35 triliun yang ditawarkan oleh Kementerian PUPR tahun 2021. Proyek KPBU itu, antara lain, adalah proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Ir H Djuanda dari Bendungan Jatiluhur, Jawa Barat, proyek Bendungan Merangin di Jambi, Bendungan Matenggeng di Jawa Tengah, dan perumahan Cisaranten di Bandung, Jawa Barat.
Selain KPBU, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menuturkan, keterbatasan anggaran kementerian juga diatasi dengan memberikan kesempatan bagi sektor swasta dalam proyek-proyek pemerintah. Sebagai contoh, Kemenhub memberi kesempatan pelaku usaha berkegiatan komersial di enam terminal penumpang tipe A.
Untuk menarik investor, Kemenhub juga mengembangkan skema baru terminal yang menggabungkan beberapa fungsi terminal. Terminal tidak saja sebagai tempat yang dilewati masyarakat saat beperjalanan, tetapi juga menjadi pusat kegiatan masyarakat untuk bisnis, gaya hidup, dan lainnya.
Optimalisasi terminal dalam memberi layanan bagi masyarakat tersebut diharapkan meningkatkan kegiatan ekonomi, terutama di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Para investor, dalam hal ini, dapat menggandeng UMKM lokal untuk bergabung di terminal.
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Konstruksi dan Infrastruktur Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Dandung Sri Harninto menuturkan, anggaran konstruksi tahun 2021 yang besar, yakni Rp 149,8 triliun, membutuhkan kesiapan dari badan-badan usaha konstruksi.
”Hal ini agar proyek-proyek tersebut dapat dikerjakan dengan baik, secara mandiri, dan menggunakan sumber sendiri,” kata Dandung.
Saat ini ada sekitar 140.000 badan usaha konstruksi dengan tenaga kerja terampil 600.000 lebih orang. Sumber daya ini diharapkan dapat menjadi modal memulihkan lagi sektor konstruksi pada tahun depan.
Baca juga: Investasi ST007 Dukung Ekonomi Hijau
Sementara itu, Ketua Bidang Properti dan Kawasan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sanny Iskandar berpendapat, ketersediaan infrastruktur akan mendukung aktivitas perekonomian di berbagai sektor.
Infrastruktur bernilai penting karena bermanfaat pula untuk kepentingan yang bersifat jangka panjang. Ketersediaan akses jalan, misalnya, akan ikut mengakselerasi pembangunan ekonomi, termasuk di pusat-pusat industri ataupun kawasan pariwisata.
Obligasi hijau
Di sektor pembiayaan, pemerintah dan Bank Indonesia, misalnya, juga mendorong munculnya produk-produk pembiayaan investasi hijau. Upaya ini penting mengingat potensi investasi hijau Indonesia sangat besar.
International Finance Corporation pada akhir 2020 menyebutkan, transisi penggunaan brown energy atau sumber energi yang menimbulkan polusi ke energi hijau berpotensi membawa investasi hijau di Indonesia mencapai 458 miliar dollar AS.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanto mengatakan, BI juga akan berpartisipasi untuk meningkatkan ekonomi hijau dan mitigasi terhadap ancaman perubahan iklim. BI telah mengambil kebijakan berwawasan lingkungan, antara lain di sisi kebijakan moneter melalui adopsi Sustainable and Responsible Investment (SRI) dalam pengelolaan devisa serta penggunaan instrumen berwawasan lingkungan obligasi hijau dan sukuk hijau dalam operasi moneter.
BI juga terus mendorong pembiayaan berwawasan lingkungan, antara lain dengan memberikan insentif kepada pembiayaan bagi properti dan kendaraan yang bermotor berwawasan lingkungan. ”Beberapa di antaranya berupa pelonggaran kebijakan rasio kredit atau pembiayaan terhadap nilai agunan (LTV) di sektor properti dan uang muka kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai,” katanya.
BI telah mengambil kebijakan berwawasan lingkungan, antara lain di sisi kebijakan moneter melalui adopsi Sustainable and Responsible Investment (SRI) dalam pengelolaan devisa serta penggunaan instrumen berwawasan lingkungan obligasi hijau dan sukuk hijau dalam operasi moneter.
Baca juga: IFC Beli Obligasi Hijau OCBC NISP Senilai 150 Juta Dollar AS
Sementara PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), salah satu Special Mission Vehicles (SMV) di bawah Kementerian Keuangan yang bergerak di bidang pembiayaan dan penyiapan proyek infrastruktur, berencana menerbitkan surat utang senilai Rp 4 triliun-Rp 5 triliun pada 2021. Jenis surat utang yang akan diterbitkan salah satunya obligasi hijau.
Direktur Keuangan dan Operasional PT SMI Darwin Trisna Djajawinata mengatakan, kebutuhan pembiayaan tahun 2021 diperkirakan Rp 9 triliun. Sekitar 40 persen kebutuhan pembiayaan itu akan bersumber dari penerbitan surat utang, yakni Rp 4 triliun-Rp 5 triliun. Rencana penerbitan surat utang bisa berubah tergantung dari kondisi terkini.
”Penerbitan surat utang tetap melihat situasi tahun depan. Namun, pada intinya, korporasi akan memanfaatkan momentum penurunan suku bunga acuan dan inflasi rendah,” ucapnya.
Sepanjang 2020, PT SMI menerbitkan surat utang senilai total Rp 4,8 triliun. Penerbitan surat utang dilakukan pada triwulan III-2020 sebesar Rp 1,5 triliun dan triwulan IV-2020 sebesar Rp 3,3 triliun. Penerbitan obligasi berkelanjutan tersebut memiliki jatuh tempo tiga tahun atau pada 2023.
Di tengah kondisi ekonomi yang tengah ”terjerat” pandemi Covid-19 dan perubahan iklim, investasi hijau untuk membangun ekonomi hijau sangat diperlukan. Investasi hijau ini diharapkan benar-benar bisa mewujud ke dalam sektor-sektor pembangunan yang berbasis pelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Langkah pemerintah dan aksi korporasi sangat dinanti.
Baca juga: Masa Kritis Investasi Belum Terlewati