Rumah Ibadah
Sesungguhnya sebagian besar masyarakat Indonesia adalah warga yang toleran dan mengakui keberagaman. Inilah sebenarnya modal sosial kita sebagai bangsa, yaitu rukun dan toleran.

Hingga kini masalah izin mendirikan rumah ibadah (gereja) belum tuntas juga. Fakta ini dapat ditemukan dalam berbagai pemberitaan di media ataupun temuan lembaga kajian seperti Setara Institute.
Yang memprihatinkan, dari ketua RT, bupati, sampai wali kota, terlibat dalam pembubaran ibadah yang sedang berlangsung ataupun penolakan terhadap pengajuan izin pendirian rumah ibadah (gereja).
Di samping itu muncul SKB Dua Menteri (2006) yang justru menimbulkan masalah. Kemudian aparat keamanan di lapangan tidak tegas bahkan terkesan memihak. Oleh karena itu, tidak heran kalau sebagian masyarakat menganggap negara tidak hadir, atau bahkan negara sebagai pelaku.
Dalam konteks seperti tulisan Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute, dalam rubrik Opini Kompas (Selasa, 16/5/2023) yang menyatakan, membangun rumah ibadah tidak perlu izin karena sudah menjadi hak setiap pemeluk agama yang dijamin konstitusi, menjadi sesuatu yang menarik karena berani.
Presiden Jokowi pun sebenarnya menegaskan bahwa beribadah sesuai dengan agama yang dianut dijamin konstitusi. Namun, tampaknya di lapangan masih saja terjadi penolakan izin pendirian rumah ibadah.
Sebaliknya diberitakan di harian ini, ada 32 biksu dari Thailand yang melakoni Tudhong—ritual jalan kaki ribuan kilometer dari Thailand menuju Borobudur, Jawa Tengah—disambut dengan ramah dan hangat oleh warga Indonesia dari berbagai pemeluk agama. Bahkan, sambutan dikatakan lebih meriah dibandingkan di negara-negara yang mereka lewati sebelumnya.
Mereka mengakui besarnya sikap toleransi warga Indonesia. Artinya, sesungguhnya sebagian besar masyarakat Indonesia adalah warga yang toleran dan mengakui keberagaman. Inilah sebenarnya modal sosial kita sebagai bangsa, yaitu rukun dan toleran.
Jadi, sekalipun jalan masih panjang, saya meyakini bahwa masalah rumah ibadah ini akan dapat diselesaikan pada waktunya.
Terima kasih untuk harian Kompas yang berani mengemukakan kebenaran demi mencerahkan kita semua.
BharotoJl Kelud Timur I, Semarang
Kebijakan mendorong daya beli masyarakat perlu diimbangi dengan menggalakkan pengelolaan sampah secara mandiri dari rumah, bahkan individu masing-masing. Apalagi produksi sampah paling tinggi memang sampah rumah tangga (SIPSN KLHK).
Sampah yang tidak terkelola dengan benar berpotensi menimbulkan gas rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O). Emisi CO2 berasal dari kegiatan pembakaran terbuka (open burning) sampah. CH4 dihasilkan dari proses anaerobik pada proses pembusukan sampah di TPA, sedangkan N20 dihasilkan dari proses biologis pada kegiatan pengomposan.
Dengan demikian, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar giat mengurangi sampah, mulai dari diri sendiri. Beberapa di antaranya dengan mengurangi pemakaian plastik sekali pakai, membawa peralatan makan dan minum dari rumah, menikmati makan di tempat dibandingkan dibungkus (take away), dan tidak berlebihan dalam porsi makan.
Bungkus yang dihasilkan setelah berbelanja daring juga mengakibatkan masalah baru sehingga diperlukan kreativitas untuk dapat mengelola sampah rumah tangga agar tidak menumpuk di TPA.
Dalam mengelola sampah, tidak seperti kota-kota besar Indonesia (Jakarta, Surabaya), kegiatan dikelola oleh pemerintah daerah. Perlu bantuan perusahaan rintisan teknologi bersih yang menjamur.
Kota/daerah lain perlu lebih aktif berinovasi TPS dan TPA.
Prajna Delfina DwayneJalan Cipaku, Jakarta Selatan
Halte Dukuh Atas
Sebelumnya, jika hendak ke Halte Matraman 2, penumpang transit di Halte Tosari. Namun, hari itu, Sabtu 20 Mei 2023, jika hendak ke Halte Matraman 2, mesti transit di Halte Dukuh Atas.
Tiba di Halte Dukuh Atas naik tangga cukup tinggi. Eskalator tidak berfungsi, sangat terasa buat pernapasan. Belum lagi mesti jalan jauh menyeberang, dengan koridor hanya cukup untuk dua orang berpapasan.
Tidak dapat dibayangkan jika kondisi saat jam kerja ataupun jam pulang kerja. Sangat kasihan untuk yang difabel, membawa anak-anak, ibu hamil ataupun lansia.
Mohon Pemprov DKI Jakarta dan manajemen Transjakarta menyediakan rute alternatif ke dua arah: Matraman 2 dari Halte Tosari.
Boyke NainggolanPerumnas Klender, Jakarta Timur

Ilustrasi
Untuk kedua kalinya, Presiden Joko Widodo di Hannover, Jerman, belum lama ini, menyebutkan bahwa Indonesia mampu menurunkan laju deforestasi secara signifikan 20 tahun terakhir.
Sejumlah organisasi nonpemerintah menilai komitmen Pemerintah Indonesia dalam menjaga lingkungan belum sesuai dengan kondisi di lapangan. Dengan membuka peluang investasi tanpa memperhatikan lingkungan, upaya Indonesia mencapai target emisi nol bersih diragukan (Kompas, 25/4/2023).
Benarkah laju deforestasi menurun selama 20 tahun terakhir? Mari kita ulik data dan analisis deforestasi di bawah ini.
Data resmi menunjukkan bahwa pada periode 2013-2014 deforestasi turun ke angka 0,4 juta ha per tahun. Periode sebelumnya pada angka 0,73 juta ha per tahun.
Angka deforestasi kemudian naik pada periode 2014- 2015 menjadi 1,09 juta ha per tahun, lalu turun menjadi 0,63 juta ha per tahun periode 2015-2016 dan turun kembali ke angka 0,48 juta ha per tahun periode 2016-2017. Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 persen pada periode 2019-2020, hingga berada pada angka 115.460 ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi 2018-2019 sebesar 462.460 ha.
Fakta menunjukkan bahwa deforestasi di Indonesia lebih dominan di hutan produksi, baik secara legal (perizinan) maupun ilegal (perambahan/pencurian kayu).
Dalam buku The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2018/2020/2022, rata-rata luas kawasan hutan produksi yang telah deforestasi di atas 69 persen dari total luas kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan (nonforested), mencapai lebih dari 30 juta hektar.
Secara matematis, hutan produksi yang masih mempunyai potensi kayu sudah sangat menurun luasnya.
Dari 68,80 juta ha, yang telah dibebani hak (dengan perizinan) 34,18 juta ha, yang tidak berhutan 22-24 juta ha, sementara yang masih berhutan (hutan primer) 16 juta ha.
Dengan aksesibilitas yang sangat rendah bagi hutan alam primer, khususnya hutan produksi yang tersisa, ditambah kebijakan moratorium hutan alam primer, secara otomatis pemerintah tanpa berbuat apa pun angka laju deforestasi pasti akan menurun. Hutan alam yang tersisa akan sulit dijangkau siapa pun. Deforestasi ilegal lambat tapi pasti akan hilang karena kayu yang dipungut secara ekonomis sudah tidak menguntungkan.
Yang dipersoalkan mestinya angka deforestasi neto. Sesuai perkembangan teknologi, perhitungan luas deforestasi sejak periode 2011-2012 merupakan hasil penghitungan deforestasi neto yang sudah mempertimbangkan kegiatan reforestasi. Sementara penghitungan pada periode sebelumnya masih menggunakan deforestasi bruto. Angka deforestasi bruto tahun 2019-2020 sebesar 119.100 ha, dan angka reforestasinya 3.600 ha. Sementara angka deforestasi bruto tahun 2018-2019 sebesar 465.500 ha, dan angka reforestasinya 3.000 ha.
Sayang, angka reforestasi sebagai pengurang deforestasi bruto ini tidak dijelaskan asal-usulnya dan bagaimana cara menghitungnya. Masyarakat luas perlu tahu agar pemahaman deforestasi di Indonesia semakin utuh dan tidak dilihat secara parsial.
Pramono Dwi SusetyoPensiunan KLHK, Villa Bogor Indah, Ciparigi, Bogor